Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perjalanan yang Takkan Usai
MENU
About Us  

Perutku keroncongan, sepertinya ini sudah waktunya untuk aku makan. Semenjak aku memiliki penyakit Asam lambung, aku jadi mengetahui jadwal makanku. Sebelum memiliki penyakit ini, aku sering terlupa bahwa aku belum makan, tetapi perutku waktu itu biasa-biasa saja tidak sakit hingga lama-kelamaan aku memiliki penyakit asam lambung. Entah kenapa aku bersyukur memiliki penyakit asam lambung karena asam lambung bisa menjadi pengingatku untuk makan. Yah ​​​​ rasa sakitnya seperti nyawa yang sedang ditarik itu membuatku khilaf.

Kapan bus ini sampai ke tujuan? Perutku mulai sakit, batinku. Aku ambil camilan yang dijadikan snack gratis saat pertama masuk bus ini. Lumayan untuk mengganjal perutku sebentar.

Sudah lama bus ini terus berjalan, sebenarnya seberapa jauh antara pantai Parangtritis dengan toko oleh-oleh Yogyakarta ini? Menunggunya seperti setengah abad saja.

Aku tatap baliho-baliho pemilu, mereka ada di mana-mana! setiap jalan, pohon, bahkan rumah penuh dengan wajah para calon pemimpin. Sungguh, aku bosan melihat wajah mereka, wajah yang entah bekerja dengan baik atau tidak. Daripada pemilu itu, entah kenapa aku lebih menghawatirkan pohon yang ditancapkan paku untuk penggunaan promosi, semoga pohon itu tidak apa-apa dan sehat selalu.

Beberapa jam pun berlalu, akhirnya bus ini telah sampai ke toko oleh-oleh khas Yogyakarta. Awalnya saat kami baru datang tidak ramai. Namun, saat supir sedang memikirkan bus, bayangan bus-bus lain datang. Rupanya bus-bus itu berasal dari pondok pesantren karena penghuninya bersarung dan mengenakan peci hitam, khas anak santri. Semoga Aqila tidak kesengsem dengan para santri, karena tipe laki-laki idamannya adalah seorang santri yang suka mengenakan sarung dan peci.

“Ra, sepertinya kita harus menutup mata Aqila,” ucapku yang membuat kening Zura berkerut.

"Hah? Emangnya kenapa?" Mendengar hal itu membuatku menghela nafas panjang sambil menepuk jidatku. Terkadang, Zura tidak memperhatikan sekelilingnya hingga harus aku jelaskan terlebih dahulu.

“Coba lihat bus di sebelah kamu.” Zura melihat bus di sebelahnya lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arahku. Raut wajahnya berubah, rasa trauma tercetak jelas di wajahnya.

"Gawat! Ayo La!" Saat bus kami terparkir, Zura bersiap untuk melancarkan aksinya. Namun, nahas Aqila sudah melihat bus itu sebelum Zura melancarkan aksinya.

"Ra! Ada santri loh! Ayo cuci mata!" Zura sepertinya tidak mau lagi mendengar ocehan dari Aqila tentang para santri yang membuatnya kesengsem. Saat berada di sekolah pun Zura dijadikan pelampiasan ocehan Aqila tentang percintaannya yang tak ada habis-habisnya. Hal itu membuat Zura menghela nafas berat sepanjang Aqila mengoceh. Untunglah yang selalu menjadi target ocehan Aqila hanya Zura, aku dan Rini selamat.

“Astagfirullah Mba, tobat,” ucap Rini sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Anak-anak silakan turun dan cari oleh-oleh ya! Tapi uangnya jangan dihabiskan dulu karena masih ada destinasi berikutnya! Selamat berbelanja!" Pegawai berkata bus, lalu kami turun dari bus untuk berbelanja.

“Wah, ramai sekali padahal pas sebelum parkir kosong deh,” ucap Rini. Kini, toko oleh-oleh khas Yogyakarta itu bagai lautan manusia. Bagaimana caranya kami bisa mengarungi lautan itu? Kami terus menatap toko oleh-oleh itu.

“Tidak apa-apa! Kita kan mini-mini kita pasti bisa menerobos!” Hibur Aqila yang membuat aku, Zura, dan Rini bertekad untuk menerobos. Saat aku mencoba menerobos, badanku terdorong-dorong oleh ibu-ibu yang entah dari mana berasal, hingga aku akhirnya menyerah untuk mengarungi lautan manusia itu. Aku berjalan gontai, tubuhku terasa sakit akibat di dorong-dorong. Sepertinya Zura, Aqila, dan Rini berhasil menerobos.

Aku lihat pedagang cilok dan es jeruk. Segera aku pesan cilok dan es jeruk untuk menghilangkan suasana hati buruk di dalam jiwaku. Setelah memesan cilok dan es jeruk, aku cari tempat duduk dan kemudian memakannya. Menatap langit sembari memakan cilok dan meminum es jeruk, sungguh sangat nikmat. Ini akan menjadi terakhir kalinya aku jajan! Aku akan membelikan ibuku berbagai oleh-oleh! 

Huh, tetapi kini aku tak bisa membeli bakpia,” keluhku. Tak lama kemudian, aku mendengar suara yang familier dari arah belakang. Aku tengok untuk mengetahui siapa yang berada di belakangku. Ternyata, pemilik suara itu Biru. Mata kami sempat bertemu, tetapi ia seperti acuh tak acuh sembari melewatiku.

Sedih? Tentu saja! Siapa yang tidak sedih di saat teman masa kecil sekaligus orang yang disukai acuh tak acuh, sekedar sapa saja tidak terlontar olehnya. Suasana hatiku kembali memburuk karenanya. Rasa sedih, kecewa, dan kebingungan terus menghantuiku semenjak ia enggan untuk berbicara kepadaku.

Aku berharap apa pada manusia? Manusia adalah tempat sumber kecewa dan kesedihan. Seharusnya aku lebih mencintai Allah daripada ciptaan-Nya.

Tak lama kemudian, sebuah tangan menepuk pundakku. Segera aku melihat ke arah belakang untuk mengetahui siapa yang menepuk pundakku.

BA!” Zura berusaha mengagetkanku tetapi tidak berhasil dan membuatnya kecewa.

“Kamu sedang apa?” tanyaku yang membuat Zura menggaruk-garuk kepalanya,

“Aku udah selesai membeli oleh-oleh, kamu nggak mau beli oleh-oleh?” Mendengar hal itu aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku sudah trauma, tidak lagi-lagi aku menerobos. Apalagi di sana banyak orang, anemiaku pasti akan kambuh jika lama-lama berada di tempat keramaian.

“Di mana Aqila dan Rini?”

“Oh, mereka lagi berperang di sana.” Untunglah aku menyerah untuk masuk ke toko itu.

“Hei, apakah kamu pernah menyukai seseorang?” tanyaku dengan tiba-tiba yang membuat Zura terkejut dan kemudian tersenyum.

“Ada! Masa kamu gak tau?”

“Mana aku tau, memangnya siapa?”

“Yang di Korea! Oppa won-“ Segera aku tutup mulut Zura dengan tanganku dan membuatnya meronta-ronta. Seharusnya aku tidak menanyakan hal itu kepada Zura. Aku menyesal.

“Hai, kita udah selesai! Mau masuk ke bus?” tanya Rini. Aku segera melepas tanganku.

“Kamu ini, tanganmu bau cilok!” Zura menatapku tajam.

“Maaf, aku memang makan cilok tadi. Oh iya, di mana Aqila?”

“Aqila udah ke bus, yuk kita ke bus juga!”

 Kemudian, kami menuju bus. Banyak santri yang berlalu-lalang membuat tidak nyaman. Saat membuka pintu bus, terlihat mata Aqila berbinar-binar ke arah kami.

Lebih tepatnya ke arah Zura. Ketika kami sudah duduk di kursi masing-masing. Kepala Aqila muncul di atas kursi bus Zura yang membuat aku dan Zura terkejut bukan main. Tingkahnya seperti setan di film horor saja!

“Hei, kenapa kamu jumpscare kami?” tanya Zura yang membuat kejahilan Aqila menjadi-jadi.

Hihihihihihi- “ tawa ala kuntilanak berhasil Zura berhenti dengan cara menyumpal mulut Aqila menggunakan bakpia. Setelah selesai Aqila memakan sumpalan bakpia dari Zura, ia melakukan kebiasaannya yaitu bercerita setelah mencuci bersih matanya. Ternyata, sumpalan itu hanya berguna untuk beberapa detik saja.

"Zura! Tadi, aku lihat ada yang cogan tau di antara para santri-" Aqila sudah mulai bercerita, segera aku cek keadaan Zura. menatapnya kosong, menyentuh dinding bus sambil memakan bakpia rasa coklat. Kondisinya sungguh memprihatinkan.

Cerita Aqila berlangsung lama dan berhenti ketika bus kami siap memulai perjalanan kembali.

“Kamu gak papa Ra?” tanyaku yang kemudian dibalas dengan senyuman kecil dan raut wajah yang tampak kesal. Melihat hal itu pun aku tertawa-bahak. Rasanya kini aku tidak sedang berwisata melainkan sedang bersekolah seperti biasanya. Rasanya begitu menyenangkan dan membahagiakan.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
459      354     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Langkah yang Tak Diizinkan
169      139     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Langit Tak Selalu Biru
69      59     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Langkah Pulang
376      275     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Help Me Help You
1730      1025     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Fidelia
2073      894     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Kelana
649      470     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
Let Me be a Star for You During the Day
968      501     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Konfigurasi Hati
461      327     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.