Di bus, siswa laki-laki tidak henti-hentinya bernyanyi lagu Jawa yang berjudul “Rungkad”. Aku tidak masalah bila mereka menyanyi, dengan syarat suara mereka tidak membuat kepalaku sakit, dan mereka tidak memenuhi syarat itu. Kepalaku sakit bukan main akibat ulah mereka.
RUNGKAD
ENTEK ENTEK AN
KELINGAN KOE SING PALING TAK SAYANG
BONDOKU MELAYANG TEGO TENAN
TANGIS TANGISAN
Mereka seperti bukan bernyanyi melainkan berteriak melampiaskan semua perasaan yang mereka alami. Sebaiknya aku segera meminum obat pereda nyeri kepala karena bus ini sepertinya akan lama sampai ke rumah makan akibat macet.
Aku lihat keadaan Zura yang sedang mengadakan kedua tangannya. Apakah dia berdoa agar cepat sampai? Atau berdoa supaya siswa laki-laki duduk diam sembari bermain game? Apa pun itu, aku aminkan saja, mungkin Zura sedang berdoa yang baik-baik.
Beberapa menit kemudian, lagu Arjuna dari Dewa17 di putar, aku menghela nafas berat, sedangkan Zura mengucapkan hamdalah. Mendengar hal itu, keningku berkerut.
“Alhamdulillah, La doa aku diijabah!” ucap Zura sembari menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku kembali menghela nafas berat, ternyata Zura berdoa agar lagu Arjuna diputar. Aku hanya bisa berpasrah ketika di bagian tengah lagu. Aku menyesal mengaminkan doanya.
“AKU LAH ARJUNAAAAAAA! YANG MENCARI CINTAA.” Suara Zura menggelegar di gendang telingaku. Kaca di jendela bus pun bergetar hebat akibat lagu dan suara Zura. Aku hanya bisa berdoa semoga kacanya tidak trauma, karena aku sendiri pun trauma dengan kejadian ini.
Beberapa jam pun berlalu, akhirnya aku bisa bernafas lega. Raungan yang sangat merdu itu sudah tidak ada karena kelelahan dan ia berakhir tertidur pulas. Sunyi, aman, dan tenteram, hanya terdengar suara kunyahan dari mulutku yang sedang menikmati camilan yang aku bawa dari rumah.
Aku tatap jalanan yang teraspal rapi dan berhasil meningkatkanku pada jalanan Palembang yang disatir oleh Presiden ke 7 Indonesia. Aku jadi bertanya-tanya, di ke manakan ya uang untuk memperbaiki jalanan? Apakah uang itu tidak sengaja termakan dan kini menjadi penghuni di perut seseorang?
Ah sudah sampai! batinku. Segera aku bangunkan Zura. Tak lama kemudian, Zura mengerjap-ngerjap matanya. Saat kami turun dari bus, betapa terpukaunya kami ketika melihat pemandangan rumah makan yang terasa begitu asri. Suara tukang jualan es krim keliling membahana, ternyata tukang jualan es krim mencoba mencari kesempatan untuk meraup keuntungan dari kami. Yah, benar sih, pasalnya aku juga sempat tergoda mendengar rayuan dari lagu es krim. Aku kuat kan imanku dan segera masuk ke rumah makan. Untunglah aku yang pertama sampai, semua hidangan makanan dengan tema prasmanan tertera lengkap.
Setelah mengambil makanan, aku duduk di kursi bagian tengah yang kemudian Zura, Aqila, dan Rini ikut duduk disampingku. Beberapa menit kemudian, aku mulai menyesal duduk di bagian tengah.
DANDANE KEREN ABIS, GAYANE KAYA ARTIS
LURUNE GADIS SING MANIS, KAYA SELEBRITIS
NUMPAKE MOBIL SEDAN. KAYA ARTIS GEDEAN
KUPINGE TINDIK ANTINGAN, BLI KEITUNGAN
Ternyata biduan nyanyi di bagian tengah! Aku memang memakan makananku dengan tenang, tetapi lain halnya dengan telingaku, rasanya telingaku meronta-ronta dan terus memohon untuk segera pergi dari tempat ini. Lagu Jeger seakan menjadi kewajiban saat melakukan study tour . Benar-benar lagu keramat.
Saat berada di pertengahan lagu, biduan itu mengajak kami yang sedang makan untuk bergoyang menikmati alunan lagu. Untunglah aku tidak diajak, pasalnya biduan itu seperti memaksa. Terima kasih ya Allah, batinku.
Setelah selesai makan, kami melaksanakan salat jamak taqdim yang menggabungkan salat Zuhur dan Ashar. Ketika mengambil wudu, entah dari mana angin meliwatiku dan membuat tenang.
“Kamu sudah wudu?” tanya seorang siswi yang tidak aku kenal. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala dan tak lama kemudian dia tersenyum kecil.
“Maaf ya, boleh tunggu aku sebentar?” Siswi itu cengengesan sembari menunggu jawabanku.
“Boleh,” jawabku yang membuatnya bernafas lega. Kemudian, ia mengambil air wudu. Air yang jatuh dari wajahnya terasa berkilau terkena sinar matahari. Hingga, siswi itu selesai berwudu dan mengajakku untuk mengantre karena Musala rumah makan tidak cukup menampung banyaknya siswa dan guru pendamping.
Tak berselang lama, aku selesai melaksanakan salat jamak taqdim dan segera pergi ke bus. Ketika selangkah lagi aku menaiki bus, suara lagu es krim kembali menggodaku. Kali ini, aku gagal menahan godaan, dalam sekejap sebuah es krim kini telah aku genggam. Kejadiannya terasa begitu cepat! Aku naiki bus dan melahap habis es krim yang secara tidak sadar aku beli.
“Eh kamu beli es krim kok gak ngajak aku?” tanya Zura. Aku tatap mata Zura, air mataku menetes seperti gerimis.
“Aku tergoda membeli es krim Zura! Tadi kan aku udah beli cilok sama es jeruk juga! Bagaimana ini? Uangku kan untuk beli oleh-oleh!” Mendengar hal itu Zura menggeleng-gelengkan kepalanya.
“La, apakah keluargamu menyuruh untuk menghabiskan semua uang yang diberi untuk sekedar oleh-oleh?”
“Ngga, katanya mereka ingin titip makanan brem saja.”
“Nah itu, mereka hanya titip makanan brem saja dan kamu sudah beli kan? Sekarang, kamu pakai uang yang diberi untuk membeli sesuatu yang membuatmu senang, karena mereka pasti mengharapkan kamu bahagia dan menikmati study tour ini.” Mendengar perkataan Zura membuatku tersadar, selama ini aku selalu memikirkan ibu dan kakakku, tetapi aku tidak pernah memikirkan diri sendiri. Sepertinya aku terlalu keras kepada diriku sendiri.
Setelah ayahku dengan teganya meninggalkan kami bertiga untuk menikah dengan pacarnya. Aku mulai keras terhadap diriku sendiri, aku selalu menyalahkan diriku karena tidak bisa membantu perihal keuangan. Terus menyalahkan diri hingga tanpa tersadar aku memiliki gangguan kecemasan walau tidak terlalu parah. Kami bertiga hidup dalam keadaan di antara miskin dan sederhana. Aku tidak tahu menyebut keadaan itu seperti apa.
“Ayah! Ayah mau pergi?” tanyaku. Namun, ayah sama sekali tidak memedulikan dan pergi dari rumah sembari membawa tas yang berisikan baju.
“AYAHH! AYAH MAU KE MANA?” teriakku yang tak lama kemudian ibu memelukku dengan sangat erat.
“Ayah,” lirihku.
“Hei, kenapa tangisanmu semakin deras?” tanya Zura, segera aku usap linangan air mataku.
Ah! Kenapa aku jadi memikirkan pria biadab itu! batinku.
“T-tidak apa-apa, aku pergi buang sampah dulu ya!”
Setelah selesai membuang sampah aku berjalan-jalan sebentar, mendinginkan kepalaku. Tak lama kemudian, suara yang familier membuatku mencari sumber suara itu. Ternyata itu Biru dengan teman-temannya. Hatiku seperti dipermainkan. Katanya cinta pertama perempuan itu adalah ayah, tetapi cinta itu telah meninggalkanku. Sekarang, aku merasakan jatuh cinta dan entah kenapa cinta itu manis.
AKHH! KENAPA AKU JADI SEPERTI INI? Sebenarnya apa itu cinta? Kenapa jika cinta, ayah meninggalkanku? Kenapa rasa cinta ada yang kecut dan manis? batinku. Aku segera kembali ke bus, kepalaku mulai pusing.
Sesampainya di bus, Zura terheran melihatku yang terlihat begitu lunglai. Zura terlihat begitu khawatir. Namun, saat ini aku ingin tenang.
Aku lelah ya Allah, batinku. Hingga tak lama kemudian, aku terlelap.