“Pantai Parangtritis seakan membisikku untuk tinggal lebih lama di sini."
Aku sangat menantikan destinasi wisata ini. Untungnya kini jalanan tidak berkelok-kelok dan tidak membuatku merasa mual seperti sebelumnya. Kini, bukan lagi Jeger yang disetel, tetapi lagu kisinan 2 dan beberapa lagu Jawa sedih. Lagu-lagu itu direkomendasikan oleh siswa laki-laki. Entah ada masalah hidup apa mereka hingga memutuskan untuk terus merekomendasikan lagu Jawa sedih. Dugaanku mereka baru ditolak oleh seseorang hingga mereka galau dan bernyanyi dengan sangat keras saat bagian reff dari lagu kisinan dua.
BOLA BALI NGGO DOLANAN
BOLA-BALI DENGAN KAPUSAN
JANJI MANIS NALIKA AWAL PACARAN
DADI BADUT, TAK LAKONI
DADI PAYUNG WIS NGALAMI
KADHUNG ELOS, ORA MIKIR
CINTA TAK PASRAHNE GUSTI
Saat nada rendah pun mereka tabrak dengan nada tinggi saking emosionalnya. Aku ingin tertawa, tapi kasihan juga melihat mereka sepertinya sangat sakit.
Setelah karaoke dengan emosional beberapa di antara siswa laki-laki tertidur dan selebihnya main game. Zura di sebelahku tertawa terbahak-bahak melihat tingkah siswa laki-laki yang sepertinya bersedih saat bernyanyi, kini malah bermain game dan tertidur.
“Jangan begitu, nanti kualat loh Ra,” ucapku yang membuat Zura berusaha menahan tawanya.
“Iya-iya, maaf,” ucap Zura.
Aku terus menunggu bus ini sampai di pantai Parangtritis. Menunggu, menunggu, dan menunggu. Hingga, tanpa sadar aku terlelap dan bermimpi indah.
***
Beberapa jam kemudian, aku terbangun saat pegawai bus menyalakan mikrofon. Aku goyang-goyangkan tubuh Zura untuk segera bangun.
“Kita sampai di pantai Parangtritis, tidak diperkenankan untuk berenang di sana karena kita harus melanjutkan perjalanan. Terima kasih,” ucap pegawai itu yang membuat kami kecewa. Kami tidak bisa berenang di sana.
Aku melepas sepatuku dan menggantinya dengan sendal jepit. Akhirnya setelah sekian lama kakiku terperangkap di sebuah sepatu, kini bisa merasakan nikmatnya oksigen dan partikel-partikel lainnya yang tersebar di udara. Segera aku turun dari bus dan melihat pedagang-pedagang yang menawarkan makanan brem dan kepiting-kepiting kecil yang digoreng kemudian dibumbui. Saya sempat ingin membeli kepiting berukuran kecil, tetapi saya mengurungkan niat saya itu. Saya tidak tahu bagaimana cara memakan kepiting, apalagi kepiting kecil. Apa yang harus aku makan? Tak lama kemudian, semua siswa-siswi dan para guru berkumpul di depan tulisan “PARANGTRITIS” untuk berfoto bersama. Tampak barisan depan sudah penuh sehingga aku dan Zura pergi ke barisan paling belakang.
“Di sini aja, walaupun mukanya tak kelihatan tapi tangan kita akan kelihatan. Haha," ucap Zura sambil tertawa cengengesan. Aku melihat siapa saja yang berada di barisan paling belakang, banyak yang tidak aku kenal terutama laki-laki, kecuali dia, Biru Segara. Teman masa kecilku sekaligus orang yang aku suka.
Jantungku berdegup dengan kencang ketika melihatnya. Perasaan terkejut, senang, dan gugup bercampur aduk bagai gado-gado. Sudah lama aku tidak melihat Biru, ternyata ia masihlah sama, yaitu orang yang suka tertawa dan bercanda. Tetapi, sifatnya itu tidak berlaku padaku. Saat ia bertemu denganku tanpa sengaja di lorong sekolah, ia hanya menatapku sebentar sembari berjalan. Tak ada sapa yang dulu ia lontarkan kepadaku saat masih menginjak SD, tak ada candaan yang sering ia lakukan kepadaku saat masih berumur 3 tahun. Kenangan itu sudah berubah dan tidak bisa kembali lagi. Entah kenapa, sifatnya berubah kepadaku saat ia menginjak kelas 7 SMP. Mungkin ia membenciku, tetapi apa yang membuatnya membenciku? Aku tidak melakukan apa pun yang membuatnya kesal, mungkin.
“Kamu lihat apa?” tanya Zura yang membuatku menghela nafas berat dan tersenyum.
“Langit birunya indah ya?” Zura mengerutkan keningnya dan kemudian hanya mengangguk anggukkan kepalanya.
“SMPN 1 Laskar Bangsa! Jaya, jaya, jaya!” teriak semua orang. Drone melayang-layang di atas kami. Teriakkan semua orang membuatku kembali terfokus. Aku tidak ingin larut pada kisah percintaan yang rumit bagai rumus matematika, aku harus fokus untuk belajar!
Tak lama kemudian, kami segera menuju ke pantai Parangtritis. Suara ombak berdebur saat pecah di pantai. Aku senang bukan main, aku berlari mendekati pinggir pantai yang membuat Zura, Aqila, dan Rini pun ikut berlari. Angin rasanya begitu kencang menerpa wajahku, banyak sekali ombak yang terpecah-pecah. Aku bahagia! Aku sangat bahagia! Hampir saja aku melupakan tugas IPA untuk memfoto ombak pantai. Segera aku foto ombak pantai itu dengan handphoneku kemudian kembali menaruhnya di tas selempang kecil. Karena udaranya cukup hangat, aku lepas jaketku kemudian aku ikat di pinggang.
Aku lihat di sekitarku beberapa siswa laki-laki dan perempuan yang menyewa motor ATV. Aku hanya bisa berdoa semoga tidak ada orang yang tertabrak akibat mereka.
“Hai La! Mau aku foto?” tanya Nita, teman sekelasku. Kamera favoritnya seakan sudah siap mengabadikanku. Aku jawab dengan anggukan kepala sembari tersenyum.
“Aku diajak dong!” ucap Zura yang membuat Nita tertawa kecil.
“Boleh, boleh.” Aku dan Zura berpose dengan aba-aba kami berhasil dipotret dan disimpan di kamera favorit Nita.
“Zura! Sendalmu aku buang ya kalo gak kamu pake!” teriak Rini yang membuat Zura ketar-ketir. Ia segera berlari menghampiri Rini.
“Ayo, giliran kamu sendiri,” ucap Nita sembari tersenyum manis. Aku pun hanya mengiyakan saja.
“satu, dua, tiga!” Aba-aba dari Nita membuatku bersiap. Semilir angin membuat pasmina cokelatku seakan melambai-lambai ke arah kamera. Semoga fotoku tidak aib, kalau aib pasti fotoku akan menjadi kado ulang tahunku nanti.
“Mau lihat hasilnya?” tanya Nita.
“Nanti saja deh, aku takut fotonya aib,” ucapku yang membuat Nita tertawa terbahak-bahak.
“Yaudah, aku ke sana ya, dadah!” Nita melambai-lambaikan tangannya ke arahku, aku hanya bisa tersenyum kecil.
“Dadah.”
Aku kembali melihat ke arah sekitarku, semua orang tertawa dan tersenyum, kini bukan hanya pantai Parangtritis saja yang indah, tetapi mereka dengan senyumannya juga indah.
“Anak-anak, waktunya kita kembali dan melanjutkan perjalanan,” ucap pegawai bus. Aku sedih karena harus meninggalkan pantai yang memesona ini. Pasir pantai yang hangat dan halus ini pasti akan aku rindukan.
Semilir angin berembus kencang, suara ombak semakin bergemuruh. Pantai Parangtritis seakan juga tak ingin melepaskanku dan seolah berbisik untuk tinggal lebih lama di sini. Tetapi, aku harus pergi dan melanjutkan perjalanan study tour.
Aku segera mencuci kaki yang penuh dengan pasir di WC dan kemudian membayar 2 ribu. Aku sedikit tak rela mengeluarkan uang 2 ribu hanya untuk mencuci kaki, tapi mau bagaimana lagi yang namanya bisnis memang begitu.
Saat sudah duduk di kursi bus, para pedagang makanan brem berkeliaran ke sana-kemari di bus. Mereka menawarkan makanan brem 10 ribu dapat 3 bungkus brem. Aku membeli makanan brem itu untuk jaga-jaga, apabila di tempat oleh-oleh Yogyakarta kehabisan makanan brem karena ibuku menitip makanan brem, katanya itu adalah makanan kesukaannya.
Tak lama kemudian, bus berangkat menuju destinasi berikutnya dan lagu Jawa sedih kembali diputar yang membuat menghela nafas panjang, sedangkan Zura kembali tertawa-bahak.
“Perempuan mana yang menyakitimu Nak,” ucap Zura yang kemudian kembali tertawa terbahak-bahak. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat perilaku penghuni bus ini.