Bagian 1 : Laila Ayu
”Kami memulai perjalanan dengan menyenangkan dan kami tidak bisa pulang”
Menatap langit senja yang selalu indah dan tak pernah muak saat melihatnya. Saat malam nanti aku akan pergi untuk study tour, awalnya aku berasumsi bahwa study tour hanya bersenang-senang-senang saja, tetapi ternyata ada tugas juga. Entah itu aku harus memfoto ombak pantai Parangtritis untuk mengetahui jenis gelombang apa yang terjadi di udara pantai tersebut, kemudian berbicara bahasa Inggris di hadapan bule, belum lagi membuat laporan study tour. Memikirkannya saja membuat kepalaku sakit bukan main, tetapi tidak ada pilihan lain selain menjalaninya. Ibu yang melihatku menatap langit dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Nak, jangan bengong, ayo wudu bentar lagi salat Magrib,” ucap ibu yang membuatku menggaruk tengkuk walau tidak terasa gatal.
“Iya Bu.” Ibu kemudian tersenyum dan pergi ke dalam rumah. Aku kembali menatap langit dan segera meninggalkan halaman depan rumah.
Melaksanakan salat Magrib dengan khusyuk, kemudian makan malam bersama ibu. Meski tidak bisa berkumpul secara lengkap, tapi aku bahagia. Tak lama kemudian, saya bersiap-siap untuk berangkat study tour.
Perasaan aneh yang aku rasakan karena berangkat ke sekolah tetapi di malam hari. Ibu menyalakan motor yang sudah bolak-balik servis dan sampai saat ini mampu bertahan.
Hawa malam seakan menusuk tulangku, lampu-lampu jalan ikut mengantarku pergi, suara jangkrik dan katak sedang beradu mencari sang juara di tengah terangnya rembulan. Hingga tak lama kemudian, aku telah sampai di sekolahku.
Aku menyalami ibu dan segera masuk ke dalam sekolah. Entah kenapa sekolahku tiba-tiba terasa sangat mencekam saat itu. Siswa-siswi angkatanku terlihat lesu dan ada pula yang sepertinya tidak terlalu peduli dengan study tour ini. Aku masuk ke dalam kelas yang terdapat tulisan "bus 1" di jendela kelas itu. Setelah masuk, aku sapa teman-teman yang kukenal.
“Kamu sudah minum obat anti mabuk kendaraan?” tanya Zura, teman dekatku. Untunglah ada dirinya yang bisa mengingatkanku untuk minum obat saat perjalanan nanti.
“Sudah, tapi yang versi sirop,” jawabku yang membuat kening Zura berkerut.
“Mengapa kamu nggak meminum tablet Yang?”
“Kamu tahu kan, aku benci obat pahit.” Zura menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat tingkahku yang seperti anak kecil.
“Kamu ini seperti anak kecil saja, yah semoga obat sirop itu dapat bertahan lama.”
Kemudian, salah satu guru datang dan memeriksa absen serta perlengkapan kami. Jantungku semakin tidak karuan karena sebentar lagi aku akan menaiki bus dan pergi sangat jauh. Ini adalah pertama kalinya kehidupannya selalu berada di lingkungan rumah. Sebagai anak yang terlahir dari keluarga yang antara sederhana dan miskin, saya sedikit bahagia karena bisa berjalan-jalan dengan uang yang sudah ditabung untuk uang sakuku.
“Silakan salat Isya dulu, minta perlindungan kepada Allah,” ucap guru, kemudian kami salat berjamaah di Musala sekolah. Khusyuk dan hening, hanya terdengar racauan katak yang sepertinya berada di kolam dekat Musala sekolah. Setelah selesai salat Isya, kami menuju bus dan kemudian melenggang pergi dari sekolah. Aku lihat ibu yang masih menunggu keberangkatanku. Aku mengira ibu sudah pergi, ternyata belum. Aku hanya bisa melihatnya saja, tidak aku sapa, karena ia pasti tidak mendengarku.
Beberapa menit kemudian bus berangkat. Aku duduk di sebelah Zura, sebelumnya kami sudah sepakat bahwa Zura akan duduk di samping jendela, dan aku di sebelahnya. Kursi kami berada di depan, dan di hadapan kami terdapat kursi untuk guru. Tak lupa, doa aku bacakan, memohon perlindungan kepada Yang Maha Kuasa.
“Selamat datang di bus kami, bus terpercaya dan terbaik. Kita akan pergi ke Yogyakarta dan Semarang-“ Perkataan itu terpotong karena aku sudah tak kuasa menahan rasa kantuk dan tanpa tersadar aku telah berada di alam mimpi. Tak lama kemudian, lagu Jeger di jam 2 pagi membuatku terbangun. Siapa sih yang rekomendasi lagu ini di pagi buta? batinku.
Tidurku terganggu akibat lagu Jeger. Kalaulah aku mengetahui dalang yang merekomendasikan lagu ini, selama perjalanan akan aku suruh dia memakai headset dengan menyetel lagu Jeger 24 jam non-stop. Akibat lagu itu, kepalaku terasa sakit karena tiba-tiba terbangun dan baru tertidur sebentar.
“Kita beristirahat di rest area, silakan keluar jika ingin ke WC atau menikmati semilir angin di luar,” ucap pegawai bus itu. Aku keluar dari bus dan segera ke WC, untunglah WC ini tidak bayar. Setelah ke WC aku duduk di kursi depan sebuah toko yang masih tertutup rapat. Aku tatap langit yang masih gelap gulita, dinginnya malam membuatku menggigil. Aku tak tahu kini berada di mana, tetapi aku yakin ini bukanlah kotaku. Baru saja aku meninggalkan tempat ku dilahirkan tetapi entah kenapa rindu sudah mulai menggerogotiku.
“Mau makan? Di sana ada mi kuah,” tanya Zura yang membuatku menghela nafas panjang.
“Gila kamu, pagi-pagi gini masa makan mi?” Mendengar hal itu Zura tertawa dan menepuk-nepuk pundakku.
“Bercanda, jangan lupa makan wafer yang kamu bawa, nanti perutmu sakit kalau tidak di isi.” Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Entah kenapa Zura kini berubah menjadi ibuku.
“Ngomong-ngomong Aqila sama Rini ke mana?” tanyaku. Aqila dan Rini juga merupakan teman dekatku di kelas. Kebetulan mereka juga bus 1 sama sepertiku.
“Mereka sedang beli mi.”
Perut mereka memang tahan banting, jadi itu hal yang biasa. Saat di sekolah pun mereka hanya memakan mi kalau tidak ya makanan pedas, seperti keripik kaca pedas, bakso pedas, dan pangsit super pedas. Tetapi, jika mereka sudah mencapai batasnya, biasanya mereka akan dilarikan ke RS. Waktu itu, Rini dulu yang dilarikan ke RS dan katanya ia harus menjalani operasi Amandel. Tak lama kemudian, giliran Aqila yang dilarikan ke RS dan ia menderita Gastritis. Sungguh, sebaiknya tidak aku tiru. Aku ingin menjaga kesehatanku demi masa depan dan bisa dengan bebas mencari uang untuk ibu tanpa perlu bolak-balik ke rumah sakit atau puskesmas.
Jika Zura menasihati mereka, dijamin akan dibalas dengan ribuan alasan sembari cengengesan. ‘Memakan mi sudah menjadi kebiasaan, agak susah untuk meninggalkannya’ Itu adalah salah satu alasan dari ribuan alasan lainnya. Zura pun menyerah. Sungguh, memakan mi sudah menjadi candu bagi mereka, seperti merokok saja.
“Nah itu mereka!” Zura melambaikan tangan ke arah mereka. Aqila dan Rini berlari dengan tergopoh sembari membawa mi.
“Kenapa kamu bawa boneka?” tanya Zura yang membuat Aqila cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya.
“Biar ada temannya,” jawab Aqila yang membuat Rini menatap sinis Aqila.
“Jahat banget aku gak dianggep,” ucap Rini, mendengar hal itu Aqila menjulurkan lidahnya.
“Sudah, cepat dimakan nanti kalau tidak cepat, kita tinggal saja kalian di sini,” ucap Zura dengan sigap mereka menghabiskan mi, mereka terlihat seperti orang yang sudah tidak makan 3 hari saking lahapnya. Tak lama kemudian, mi mereka tandas. Berselang beberapa menit, kami kembali menaiki bus dan melanjutkan perjalanan.
***
Aku tertidur saat menuju rumah makan. Tak lama kemudian, rasa mual membangunkanku. Jalanan yang berkelok-kelok, parfum bus, dan lagu Jeger yang tidak henti-henti dikumandangkan, itulah pemicu rasa mualku. Aku lihat ke arah Zura yang masih tertidur pulas. Tak ingin mengganggunya aku tahan rasa mualku dan berharap semoga bus ini cepat sampai ke rumah makan.
Beberapa jam kemudian, bus masih belum sampai. Kini, bukan hanya rasa mual tetapi juga kepala yang terasa sangat berat. Lagu Jeger akhirnya di matikan dan berganti ke radio. Suara radio yang khas membuatku sedikit tenang dan kemudian kembali tertidur. Aku abaikan rasa sakit yang masih meronta-ronta di tubuhku. Aku juga butuh tidur! Hingga, Zura membangunkanku dari mimpi yang indah.
“La bangun, udah sampai. Mau ikut kita mandi?” tanya Zura. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala lemas. Tubuhku tidak bertenaga bagai raga kehilangan jiwa.
“Kenapa? Asam lambungmu kumat? Anemia?”
“Tidak, aku tidak apa-apa, kalian dulu saja mandinya. Aku menyusul.”
“Lemas begitu malah bilang tidak apa-apa, ya sudah kita dulu, dimakan wafernya siapa tahu asam lambungmu kumat.” Zura, Aqila, dan Rini melenggang pergi dari bus. Kepalaku berdenyut, aku lihat jam di ponselku, ternyata sudah jam empat. Semua siswi sudah beranjak dari tempat duduknya untuk mandi dan menyisakan siswa laki-laki. Menyadari hal itu, aku turun dari bus dan menghirup udara pagi di sana.
Melangkah gontai menuju ke tepi jalan, ternyata kendaraan sudah mulai beroperasi walaupun masih jam empat. Kendaraan lalu-lalang, semilir angin seakan menampar kerudung abu-abuku. Segera aku bulatkan tekadku untuk mandi dan kemudian melaksanakan salat subuh berjamaah. Aku kembali ke bus untuk mengambil keperluan mandi. Namun, tasku begitu berat untuk aku seret dari rak atas bus. Hingga, salah satu siswa laki-laki membantuku, racauan seperti bunyi peluit membahana di bus yang membuatku risi dan segera pergi dari bus.
Antrean WC begitu panjang, tak punya pilihan lain selain sabar dan menunggu bergiliran untuk mandi. Setelah selesai mandi, aku segera menuju bus untuk menaruh peralatan mandi dan mengambil mukena untuk melaksanakan salat. Tempat musala tidak terlalu luas sehingga mau tak mau harus bergiliran.
Udara pagi yang dingin dan sehabis salat Subuh membuat sejuk hati dan pikiran. Aku kembali ke bus kemudian terlelap. Tak lama kemudian, Zura membangunkanku.
“Kamu sudah mandi?” tanya Zura heran karena aku terlihat mengenakan pakaian yang berbeda saat berangkat.
“Iya, sudah, tetapi di WC musala.” Zura kemudian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku sedang halangan, kalian salat sana,” ucap Zura.
“Oke, kamu sudah salat La?” tanya Aqila dan aku jawab dengan anggukan kepala. Kemudian, Aqila dan Rini melenggang pergi menuju musala.
Jendela bus menampilkan rintik air mata sang awan. Udara kini menjadi lebih dingin dari sebelumnya, cepat-cepat aku ambil jaket di rak atas bus, dengan sekuat tenaga aku seret tasku. Siswa laki-laki yang tadi membantuku, kini berancang-ancang untuk membantuku lagi.
“Tidak, aku bisa sendiri,” ucapku yang membuat laki-laki itu hanya bisa menatapku. Memang tas ini tak terlalu berat, tetapi untuk penderita anemia seperti aku, rasanya 2 kali lipat dari berat sebelumnya. Hingga, Akhirnya aku bisa mengeluarkan tasku dari rak penyimpanan menyebalkan itu. Memang, seharusnya aku simpan saja di bagasi, tetapi di tas ini terdapat barang berhargaku yang aku takutkan akan hilang jika ditaruh di bagasi. Aku sebagai orang miskin tak mampu membeli handphone yang baru, apalagi kalau uang yang hilang, aku tak bisa membeli oleh-oleh untuk keluargaku nanti. Aku pakai jaketku kemudian mengembalikan tas ke rak atas bus.
“Apakah kamu mengenal laki-laki yang tadi ingin menolongmu?” tanya Zura, kemudian aku jawab dengan menggeleng-gelengkan kepala.
“Dia sepertinya suka padamu,” ucap Zura yang membuatku bergidik ngeri.
“Tidak, sepertinya dia hanya kasihan kepadaku, lagi pula orang gila mana yang suka sama cewe yang penyakitan seperti aku.”
“Eits, jangan berbicara seperti itu La. Gak baik.” Mendengar hal itu aku menghela nafas panjang. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu. Mungkin, ini cara Allah untuk membersihkan dosa-dosaku yang telah menumpuk dan cobaan untuk seberapa sabar aku dalam menghadapi penyakit ini.
“Bagaimana kerja kelompok untuk bahasa inggris?” tanyaku yang membuat Zura menghela nafas berat.
“Nanti kita bicarakan saat sudah di candi Prambanan.” Tak lama kemudian, Aqila dan Rini datang dengan terburu-buru.
“Ada apa?” tanya Zura.
“Ayo, kelas lain udah pada menyerbu rumah makan,” ucap Aqila yang terburu-buru memasukkan mukena ke dalam tas kecilnya.
“Loh? Laki-laki di belakang masih ada,” ucapku sembari menengok ke belakang yang ternyata sudah tidak ada para manusia penggemar sepak bola dan game itu.
“Tadi mereka barusan keluar. Ayo cepat kita ke sana!”
***
Sarapan dengan konsep prasmanan itu membuat Antrean begitu panjang. Semua kursi penuh! Aku mengira bahwa sarapan akan dibagikan satu persatu yang biasa dibungkus oleh kardus putih, ternyata prasmanan. Aku takut jika seseorang dengan perut lapar akan begitu rakus melahap makanan hingga kami berempat tidak kebagian. Seperti yang aku pikirkan, saat aku ingin mengambil makanan, nasi tersisa sedikit yang sepertinya cukup untuk 6 orang lagi, ayam bakar tersisa 5, dan yang tersisa hannyalah tempe dan tahu yang masih banyak. Memang ya, remaja saat ini banyak yang karnivora. Tetapi, beda halnya dengan teman laki-laki sekelasku, tampaknya dia omnivora, pemakan segala dan dia sempat membuat orang-orang ketar-ketir.
Setelah berperang melawan kerasnya rantai makanan. Kami mencari tempat duduk dan hanya tersisa sebuah pondok, segera kami tempati pondok itu agar tidak ditempati oleh orang lain. Aku makan dengan lahap dan tidak memedulikan temanku yang protes akibat ayamnya cukup keras. Aku terheran, mengapa sarapan pagi menu minumnya adalah es teh manis. Semoga aku tidak kenapa-kenapa akibat meminum es di pagi hari, apalagi minumannya itu teh, sehat-sehat lambungku, batinku. Saat aku minum sedikit, rasa kecewa memenuhi hatiku. Ternyata es teh manis ini diberi gula sedikit, rasanya aneh seperti antara manis dan tawar.
Setelah selesai makan, kami melenggang pergi dari pondok untuk kembali ke bus. Saat menuju bus, kami terkejut bukan main. Entah dari mana para penjual muncul ke permukaan. Sebelum kami mengantre untuk mengambil sarapan, tidak ada yang jualan di sini, benar-benar misterius. Walau sangat misterius, siswi pada kalap melihat gelang, gantungan kunci, dan gantungan handphone manik-manik. Aku juga hampir kalap, tetapi aku teringat bahwa uang sakuku sedikit dan alhasil aku tidak membeli apa pun.
Selepas teman-temanku membeli, kami segera ke bus untuk melanjutkan perjalanan. Saat duduk, aku melihat jendela dan kemudian kejutan bukan hal utama. Ada pelangi! Segera, aku memberitahukan Zura, Aqila, dan Rini. Kami berempat memfoto pelangi itu. Sudah lama aku tidak melihatnya. Terakhir kali, aku melihatnya saat masih kecil. Sungguh indah. Pemandangan itu akan kami tinggalkan demi melanjutkan perjalanan selanjutnya.