Hari ini Papa keluar dari Rumah Sakit. Kak Redho yang janji mau menjemput. Aku bisa tenang di kantor.
“Nay, ayuk maksi.” Sasi usil menowel bahuku.
“Hmmm iya, bentar aku save dulu.” Aku segera menyimpan file.
“Nay, aku kayak liat Praja tadi di loby deh. Pake baju formal begitu. Apa dia jadi ngantor disini?” Gerakanku mengublek tas mencari dompet kecil terhenti.
“Apa?” Sejak ke RS hari sabtu itu, aku tak dapat kabar apapun darinya. “Aku malah belum tahu apa-apa.”
Dering telepon mengagetkanku.
Praja calling…
Waw. Panjang umur sekali dia.
“Halo,”
“Hai, Aya. Udah makan siang?” Aku menatap Sasi tak percaya. Sasi balas menatapku penuh tanya.
“Belum,” jawabku pelan.
“Kebetulan. Aku baru mau turun ke lantai kantormu.”
“Lho, Kakak dimana?”
“Ini hari pertamaku di lantai enam belas.” Waw. Berita ini. “Aku turun ke lantai enam ya, tunggu aku.” Telepon terputus.
“Dia di lantai enam belas, Sas.” Kataku, lebih kepada diri sendiri.
Sasi membekap mulutnya cepat.
>.<
“Mau makan apa?” Praja menoleh ke kanan kiri. Berjajar gerai memang membuat bingung.
“Kakak mau pesan apa? Aku sudah titip Sasi soto betawi.” Aku menunjuk Sasi yang menuju gerai soto betawi. Sementara kami sudah duduk manis. Guna mengamankan tempat makan. Berhubung jam makan siang, memang kantin gedung ramai sekali. Ditambah lagi ini tanggal nanggung. Jadi untuk mengamankan dompet, harusnya banyak yang maksi disini.
“Apa rekomendasimu, Aya?” Praja menatapku tepat di manik mata. Membuatku kaget, dan menelan ludah tanpa sadar. Praja tak memakai blazer, hanya memakai kemeja garis biru dan dasi merah. Aku yakin, banyak yang mengamatinya sekarang.
“Em, nasi babat udah ya Kak? Kalo gitu, nasi uduk nya juga enak,” saranku. Praja bangkit.
“Oke, Aya titip apa?”
Aku menggeleng. “Sudah dipesankan Sasi, Kak.” Praja berlalu dengan senyum kecilnya. Haduh, please deh jantung, gengsi dikit napa sih, Praja ini kok.
“Kan.” Seseorang menjawil bahuku. Saat aku menoleh, aku menemukan Siska, anak marketing lantai lima. Ia memamerkan senyum ingin tahu. “Siapa, Kan?” Ekor matanya melirik Praja yang tengah mengantri pesan nasi uduk.
“Teman,” jawabku seadanya. Siska ini terkenal cantiknya, banyak yang mesti patah hati dengannya. Karena dia terkenal pemilih.
“Masa?” ujarnya cepat. Bola matanya melebar. Seolah tak percaya omonganku.
“Iya, masa bohong.”
“Kenalin dong.” Idenya sungguh luar biasa. Tanpa ba bi bu, ia duduk di sampingku. Padahal itu kursi Sasi yang kuamankan.
Aku mencari keberadaan Sasi. Tampaknya ia masih berkutat dengan pesanan jus jambunya. Sementara Praja bergerak kembali ke meja. Siska tersenyum sumringah.
“Halo, aku Siska, temannya Kanaya.” Siska mengulurkan tangan pada Praja. Yang baru saja menempelkan pantatnya di kursi plastik.
Praja menatapku bingung. Tapi tetap menyambut tangan Siska. “Praja,” ucapnya singkat.
“Baru lihat. Baru ya, Kak?”
“Iya, baru hari ini.” Dan mereka mulai terlibat obrolan.
>.<
“Heh, ngelamun aja.” Lusi menowel bahuku, sembari menyodorkan kentang goreng pesananku. Membenahi celemeknya, kemudian duduk di hadapanku. “Kenapa?” Jemari lentiknya mulai memencet-mencet layar ponselnya. Matanya ke sana kemari. Antara wajahku dan ponselnya.
Sepulang kantor, aku mampir kafe Lusi. Pikiranku agak kusut. Pekerjaan kantor sedang full full nya. Ditambah Praja yang kini makin mudah kujumpai.
Tanganku mengaduk mocchacino hangat milikku. “Praja mulai ngantor di lantai enam belas.”
Kini wajahkulah spotlight Lusi. Ia meletakkan ponselnya. Seolah tak penting lagi sekarang. “Apa? Sejak kapan?” Matanya menyelidik.
“Senin kemarin. Aku… entahlah.”
Entahlah itu benar-benar entahlah. Pusing memang memikirkan semua yang terjadi padaku. Tepatnya, yang Praja lakukan pada hatiku. Anggaplah aku tak pernah mengakui perasaanku padanya. Ia tak pernah tahu bagaimana haru birunya perasaanku. Tetap saja, ini memalukan. Aku sudah nangis darah duluan, saat Praja cerita akan menikahi Bella.
Mungkin tak adil, aku menjauhinya. Karena perasaanku padanya. Bukan salahnya juga kalau aku menyukainya sejak masih berseragam biru putih. Dan bahkan belum mengakuinya sampai sekarang. Menyedihkan.
“Bukannya dia nggak jadi nikahin Bella?” Senyum bulan sabit Lusi muncul.
“Terus?”
“Saatnya mengakui perasaanmu, Naya. Ini saatnya. Tak lain, tak bukan. Ayolah.” Lusi menyemangatiku yang tengah lesu ini. Tak bisa berpikir sekarang.
Tak ada yang salah dengan omongan lusi. Benar malahan. Tapi aku sendiri belum yakin dengan perasaanku. Tiba-tiba bunyi dering telepon mengagetkanku.
Alfian calling…
“Sapa ituuuu?” Lusi melirik layar ponselku. Apa aku sudah cerita tentang Alfian pada Lusi? Entahlah…
Aku mengangkat telepon dibawah pengawasan mata Lusi. “Halo?”
“Halo, Kanaya.” Suara khas Alfian terdengar. “Lagi dimana?” mungkin dia bertanya karena latar belakang suaraku adalah alunan music jazz kesukaan Lusi.
Aku melirik Lusi, yang ternyata sudah beranjak, dipanggil Lola, kasirnya. “Di kafe temanku, Lusi.”
“Lusi? Teman kuliahmu?”
Well… dia ingat…
“Kamu ingat, Al?”
“Hmm yang jurusan komunikasi itu? rambutnya sedikit keriting sebahu?”
Jelas ingatan Alfian tak main-main. Tapi tentu saja, karena temanku hanya sedikit, Lusi yang paling sering mengunjungiku di kantor BEM.
“Iya benar sekali. Aku kaget, kamu ingat benar, Al?”
Alfian terkekeh, “Tentu aku ingat. Dimana kafenya?”
“Dekat kantorku. Namanya Lost Found.”
“Oke, boleh aku susul? Kebetulan aku di jalan. Rifa sedang di Bandung sama Mama. Jadi bingung nyari teman.”
Really? Masa Alfian nyari teman?
“Datanglah, Al,” putusku.
>.<