“Jadi, siapa Alfian itu, Kanaya?” Pertanyaan Mama, membuatku membeku ditempat. Tak jadi melanjutkan kakiku yang akan menaiki tangga. Mama menatapku penuh selidik. Aku berbelok ke dapur, minum air putih. Mama duduk dihadapanku. Masih menyilangkan tangan di dada.
Barusan Alfian mengantarku pulang, setelah Rifa merengek ingin mengajakku makan es krim. Sore tadi, mereka menjemput di kantor. Untungnya tadi pagi aku bareng Sasi. Jadi aku tak meninggalkan mobil di kantor.
Kebetulan Mama ada di teras saat kami datang. Jadilah Alfian dan Rifa turun dan berkenalan dengan Mama.
“Teman kuliah dulu, Ma. Kemarin kebetulan ketemu di Cimory.”
Mata Mama memicing. Lalu memainkan sendok teh madunya. “Kok Mama lihat dia sering merhatiin kamu?”
“Merhatiin gimana, Ma?”
“Ya, kayak flirting gitu, Mama cuma kasih warning sama kamu.”
“Warning?” jelas aku terbelalak. Baru kali ini Mama was was begini.
“Masih banyak yang single, Kan.” Kata Mama dalam.
“Ma, apaa sih, kita cuma teman. Anaknya tadi sore ngerengek minta ketemu aku. Kita cuma makan es krim. Itu aja.”
“Kenapa harus kamu, Kan? Kenapa engga Ibunya aja?”
Aku menghela nafas. “Ma, Rifa engga punya Ibu lagi.”
“Astaga!” Mama menutup mulutnya refleks.
“Saat melahirkan Rifa, Ibunya meninggal.” Dan Mama tampak bersalah sekarang.
“Kapan-kapan ajaklah kemari. Mama bikinkan brownies double coklat buatnya.” Mama mengerling.
>..<
Alfian : Ha? Serius?
Kanaya : Duarius
Alfian : Rifa pasti gembira sekali
Kanaya : Go on
Alfian : soon, thanks Kan, xoxoxo
Kanaya : what xoxoxo?
Alfian : :D
“Siapa? Duren ya?” Sasi melirikku dari mejanya.
Aku menimpuknya dengan potongan kertas.
“Ih, bener kan, awas CLBK lho, Kan,” Sasi terkikih senang.
CLBK apanya. Kami hanya tergosipkan.
Praja calling…
Kenapa dia telepon?
“Halo, Aya.” Nadanya masih seperti biasa. Dia bahkan tak tahu aku menangisinya.
“Iya, Kak?”
“Di kantor?”
“Iya,”
“Aku di lobby gedung kantormu.” So?
“Iya, ada apa, Kak?” Aku berusaha bicara sedingin mungkin.
“Bisa ketemu sebentar?”
Aku melihat jam dinding kantor. Masih jam tiga.
“Maaf, Kak, aku masih banyak pekerjaan.”
“Oh, baiklah. Maaf ya.” Aku memutus telepon begitu saja. Mungkin yang seharusnya dari dulu aku lakukan. Menjauh darinya.
“Praja?” Sasi menoleh padaku. Aku hanya mengangguk. “Good,” Sasi memberi jempol nya padaku.
Good for me, I wish.
>.<
Kupikir dengan menolak bertemu dengan Praja sekali, akan membuatnya mengerti, bahwa aku tak ingin bertemu muka dengannya. Nyatanya salah. Malamnya, aku mendengar suaranya tertawa bersama Mama, saat memasuki ruang tengah. Dia membawa piring kecil berisi brownies andalan Mama ditangannya.
“Hai, Aya.” Ia menyapaku, tanpa tahu aku dongkol melihatnya tampak menikmati ngobrol dengan Mama.
“Hei, ini yang ditunggu baru dateng.” Mama menyambutku dengan lambaian tangannya. Tentu maksudnya salim. “Kok telat pulangnya?”
“Macet, Ma.” Alasan sepanjang masa.
“Itu lho ditunggu Praja dari maghrib. Sampe maghriban sama Papa segala.” Mama mengerling pada Praja. Orangnya senyam senyum aja.
“Papa pulang?” Seingatku, Papa bilang pulang dari dinas ke Makassar akhir minggu.
“Iya, tadi sore pulang, kumat darah tingginya.”
“Duh, gimana sih, pola makannya Papa pasti sebabnya.” Aku sering sekali mengingatkan Papa soal penyakitnya itu, tapi Papa tetaplah Papa yang kadang seenaknya sendiri.
“Yauda, Mama tengokin dulu ya ke atas, itu Praja ditemenin.” Mama menepuk bahuku. Lalu melenggang kearah tangga.
Aku meletakkan tasku diatas meja pantry, mencuci tangan. Dan –apa bole buat- menghampiri Praja, yang tampak asik menonton channel national geographic. Yang kulihat, dua panda berlarian, kemudian bertabrakan dan bergulingan.
“Kok engga kabarin mau ke rumah?” basa-basiku. Aku menjaga jarak aman. Satu space kursi melompong diantara kami.
Ia tersenyum tipis. “Sengaja. Aku merasa, kamu menjauhiku.”
See? Seketara itu?
Aku tertawa sumbang. “Perasaan dari mana itu?”
“Benarkah itu?” Kini ia memiringkan badannya ke arahku. Menatapku dengan intens. Tampak berusaha memperoleh jawaban dariku.
Belum sampai aku berkata apapun. Kami dikejutkan dengan teriakan Mama. Kontan kami naik ke lantai atas. Papa pingsan. Dengan sigap, Praja memanggul Papa. Membawa ke mobil Praja yang terparkir diluar pagar. Mama masih sempat misuh soal Erlan yang entah ada dimana jam segini, sebelum aku menyeretnya masuk mobil Praja.
>.<
Papa divonis stroke ringan oleh dokter. Karena tekanan darah tinggi ditambah kolesterol yang menanjak. Mama hanya bisa pasrah, saat mendengarkan keterangan dokter. Aku berusaha menguatkan dengan elusan di lengannya.
Mama berkeras menunggui Papa sampai sadar. Akhirnya kami sepakat menunggui setelah Papa masuk ruangan.
Cukup besar untuk ruangan VIP. Satu set sofa dengan meja kecil dan satu single bed tambahan. Aku bisa menemani Mama disini.
“Terima kasih untuk bantuannya, Kak.” Aku mengantarkan Praja sampai loby rumah sakit.
“Mau dibantu bawa perlengkapan dari rumah?”
“Nanti Erlan yang bawa, tadi aku udah telepon. Kak Redho juga bentar lagi kesini.” Praja mengangguk-angguk.
“Mau makan dulu?” tawarnya lagi, seraya melihat kearah jam tangannya. Sudah jam sepuluh malam ternyata.
“Nanti dibawakan makan Kak Redho kok, tenang saja, Kak.”
“Kalau ada yang mau dibantu, katakan saja ya,”
“Iya, makasih ya Kak,” Terlepas dari kasus dengan Bella, aku sangat menghargai bantuannya. Sudah terbayang kalau tadi tak ada Praja. Pasti repot sekali.
Tak disangka, ia menepuk rambutku pelan, “Jaga kesehatan ya.” Aku hanya mengangguk.
Tolong, jangan terlalu baik padaku…
>.<