Suara siaran berita melatar belakangi sabtu pagiku. Ditambah derai air sungai buatan di taman belakang. Mama sibuk membuat kue, jadwalnya setiap hari sabtu. Aku masih duduk santai di sofa ruang tengah, sambil memperhatikan tivi.
“Apa sih kurangnya Bima, Nay? Kenapa kamu engga mau coba pertimbangkan dia?” Aku sudah benar-benar sebal dengan Mama yang ingin tahunya, sampai bikin kesel ke ubun-ubun ini.
Bima adalah masa lalu, pacarku jaman kuliah semester awal sampai hampir tiga tahun. Sebelum ia memutuskanku dengan sadisnya. Hanya karena aku dituduh lebih dekat dengan Okan.
Tentu saja aku menangis. Tapi tak seberapa. Sungguh. Setelahnya aku mengalami masa bebas yang menyenangkan. Tak ada lagi yang mengatur-aturku seperti saat bersama Bima.
Lalu, tanpa diduga, kami bertemu di Mall beberapa bulan lalu. Setelah ia meminta nomorku lagi, dia terus menghubungi. Sampai membuatku risih. Dan kebetulan saat itu, aku ke Mall dengan Mama, tentu saja menjadikan Mama pendorong nomer wahid aku harus balikan dengan Bima.
Bima yang dulu kurus kering itu, masih terlihat oke dengan kemeja dan dasinya sekarang. Dan dengan bangganya mengatakan saat ini menjabat sebagai Asisten Manajer SDM di sebuah perusahaan besar. Tentu Mama langsung setuju, saat aku mengatakan Bima minta balikan.
Masalahnya, Mama tak tahu bagaimana protektifnya Bima.
“Udahlah, Ma. Kenapa bahas Bima lagi, sih? Engga bosen apa?” Aku mendegus juga. Kenapa weekend yang cerah ini juga masih dihinggapi dengan pertanyaan soal Bima? Mengesalkan.
Aku mencoba peruntungan mengganti-ganti channel, tapi tak kutemukan yang pas di hatiku. Cailah, nyari channel tivi aja pake harus pas dihati segala.
Mama meletakkan piring diatas meja kaca. Wangi kue tercium. “Nih, Mama bikin strawberry short cake.” Giliran kini Mama duduk disampingku dan memotong kue dengan potongan strawberry diatasnya. Aku menelan ludah. Mama memang harusnya punya bakery.
“Enak tuh, Ma,”
“Nih.” Mama mengangsurkan piring kecil dan garpu kecil disampingnya. Wah de best sekali Mamaku ini.
“Makasi Maaa.” Segera saja kue lembut nan enak itu masuk mulutku. Berjuta rasanya.
“Maaaa, tau kaosku yang warna silver engga?” Erlan turun dengan handuk dibahu. Tanpa kaos apapun. Adik satuku itu walaupun sudah berusia dua puluh tahun, tapi tetap tak peduli dengan etiket berpakaian.
Mama mendelik. “Ya ampun! Pakai kaos lain dulu kenapa sih, Lan? Kenapa sama kaos silver itu?”
Tak peduli dengan pelototan Mama, malah dengan santainya, Erlan ikut duduk di sofa bersama kami. Mencomot kueku.
“Itu penting, Ma. Kaos yang dikasih Risma.” Risma? Pacarnya yang centil itu? Aku baru beberapa kali bertemu dengannya. Lagaknya kecantikan. Bikin eneg.
“Kayaknya masih di laundry room. Bik Tami belum setrika yang kemarin. Memang harus banget itu kaos dipake tiap hari?” Tanya Mama dengan muka bingung.
Nah, bener juga. Kayaknya hampir tiap hari dia pake itu kaos.
“Bukan gitu, Ma. Tapi Risma bisa ngambek kalo sampe engga aku pake.”
Heh, pacar posesif yang lain.
Mama bangkit ke belakang, sepertinya ke laundry room.
“Engga pergi, Kak?” Erlan memandangiku ingin tahu.
“Engga, capek. Kemarin lembur sampai jam sepuluh.”
“Siapa yang anter semalem?” Senyum licik Erlan muncul.
“Pak Bos. Kebetulan ketemu di loby. Kenapa sih?”
“Ganteng. Masih muda ya?” Tentu aja Erlan bisa melihatnya, karena Pak Ghaisan berkeras mengantarkanku sampai depan gerbang rumah.
“Bos baru itu. Kenapa sih?”
“Engga apa-apa, Kak. Kukira pacar Kakak.” Erlan kabur begitu mengatakannya.
Pacar dari hongkong.
~~
Harusnya aku bisa tidur siang di hari sabtu ini, tapi nyatanya, Mama malah menyuruhku ke rumah Kak Redho, membawakan kue buatan Mama. Yasudah, aku putuskan mandi sebelum keluar rumah, tiba-tiba saja ingin mampir kafenya Lusi, sahabatku. Sudah lebih dari sebulan aku tak bertemu dengannya.
Lusi : Jadi kesini?
Kanaya : Otw, mampir Kak redho dulu.
Lusi : Oks
Jarak dari rumah ke rumah Kak Redho tak jauh, hanya beberapa blok. Ini perluasan dari perumahan. Rumah Kak Redho tak besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Tipe 90 kalau tak salah, masih ada sisa tanah, dibuatkan taman kecil dibelakang rumah.
Ada tamu. Ada SUV merah di parkir di depan rumahnya. Laki-laki. Ada sepatu kets laki-laki di teras depan.
“Ass-“
“Halo, Aya.” Aku terkesiap. Mataku pasti sudah melebar kemana-mana. Tak menduga bisa menjumpai manusia yang satu ini.
“Kak Praja?” Tentu aku mengenalinya. Hanya saja, rautnya tampak lelah. Dan tentu saja ia lebih dewasa dari terakhir kali aku melihatnya. Beberapa tahun yang lalu.
Ia melangkah kehadapanku. Ia masih tinggi menjulang. Mengulurkan tangan. “Apa kabar?” senyumnya masih sama hangatnya.
Aku membalas uluran tangannya. “Baik, Kak. Katanya Kakak ke UK?” Itu kabar yang terakhir kudengar dari Kak Redho.
“Baru pulang minggu ini, masuk Nay, bawa apa itu?” Kak Redho muncul begitu saja, membuat momen itu hilang. Aku mengangsurkan kue dari Mama.
“Makan kue, Kak.” Aku berusaha tersenyum untuknya.
~~