Suasana canggung membelit Nilam saat harus memegang besi keras di sebelah bokongnya agar tidak terjatuh. Sebelah tangannya memegang ujung jaket Kak Rendra yang duduk di jok depannya. Suara peraduan antara besi, ban tipis, dan aspal kadang berderit-derit, terutama saat mereka melewati gundukan atau polisi tidur. Sepanjang jalan, orang-orang menyempatkan diri melihat ke arah mereka sambil tersipu-sipu. Wajah gadis berkulit kuning langsat itu pasti sudah memerah sejak tadi, apalagi pipinya juga terasa panas, tetapi tak bisa ia tutupi. Bagaimana tidak, siapa yang tak aneh melihat sepasang siswa dan siswi berseragam di malam Minggu berboncengan naik sepeda.
Iya, SEPEDA!
Nilam tak habis pikir, bagaimana bisa Kak Rendra naik sepeda ke sekolah di tengah anak-anak lain yang naik sepeda motor. Apalagi, sepedanya jenis yang biasa dipakai oleh mbah-mbah di desa. Kalau tidak salah, namanya sepeda onthel—sepeda dengan ban tipis dan jok tinggi. Ya ampun! Apa dia tak takut diejek teman-temannya? Atau mungkin, dia malah bangga karena terlihat klasik dan unik? Ah, Nilam tak tahu dan tak berani bertanya juga. Yang jelas, yang dia inginkan saat ini adalah turun dan berjalan sendiri atau menutupi wajahnya dengan sesuatu.
“Kak, anu. Saya turun di sini aja. Udah dekat,” pinta Nilam tak dapat membayangkan bagaimana respon orang yang dikenal jika melihatnya berboncengan seperti ini.
“Sampai rumah aja. Tadi saya sudah diamanahkan untuk antar kamu pulang,” sahut Kak Rendra dengan suara samar yang tertiup angin. “Di depan, belok kiri atau kanan?” tanyanya.
“Lurus, Kak,” jawab Nilam dengan suara tercekat. Uh, kenapa, sih, Kak Rendra bersikeras? Ia tak enak juga menolak bantuannya, tetapi situasi ini membuatnya ingin menutup muka. Jangankan dengannya yang naik sepeda, waktu diantar Kak Orion naik motor saja, ia sudah berdebar tak terhingga.
Tiba di gerbang perumahan, lagi-lagi Nilam meminta turun, tetapi Kak Rendra tak mengindahkan. Dalam hati Nilam berdoa, semoga tak bertemu keluarga atau orang yang dikenalnya. Angin malam yang berembus membuatnya mual karena berpadu dengan keringat dingin. Degup jantungnya seperti irama drum yang dipukul pemain musik rock.
“Itu rumah saya, Kak,” ucap Nilam seperti deja vu saat diantar Kak Orion tempo hari. Bedanya, saat ini perasaannya benar-benar campur aduk dan ngeri tak terperi.
“Oke,” sahut Kak Rendra singkat.
Nilam terus menunduk, menutupi wajah sekadarnya dengan rambut. Begitu sepeda berhenti, ia langsung melompat turun dan tanpa sadar, roknya tersangkut. Ia berteriak dan membuat Kak Rendra segera turun dan membantunya melepaskan kaitan yang menempel di roknya. Di saat yang sama, tampak Naura dan Kak Ratna berboncengan motor dan berhenti tepat di depan mereka. Ya ampun, rasanya Nilam ingin menenggelamkan diri saja.
“Lam, lo baru pulang? Kok, naik sepeda sama Kak …,” Naura menyipitkan mata pada Kak Rendra yang masih sibuk mengutak-atik roknya yang tersangkut, “Kak Rendra?”
“Wah, siapa, tuh, Lam?” tanya Kak Ratna sambil mengedipkan sebelah mata.
“Ah, iya, Ra. Kok, kamu baru sampe? Terus Kak Ratna, kok, bisa bareng Naura?” Nilam mengalihkan pembicaraan. Keringat sebesar biji jagung kini menyeruak dari balik pori-pori.
“Iya, tadi makan dulu sama yang lain. Terus ketemu Kak Ratna di depan,” sahut Naura masih dengan ekspresi penuh tanda tanya.
“Sudah selesai! Sudah lepas roknya!” ujar Kak Rendra. Nilam buru-buru menjauh dari sepeda itu dan mendapati tangan Kak Rendra belepotan oli.
“M–makasih banyak Kak Rendra,” cicit Nilam seperti tikus terjepit. Ah, situasi apa ini? Kenapa dia terjebak di tengah kakak kelas yang mengantarnya dengan sepeda onthel, sahabat yang menatapnya penuh tanda tanya, serta kakak kandung yang senyum-senyum sambil mengedipkan sebelah mata. Ia tak bisa diam saja. Sepatah dua patah kata mungkin bisa mencairkan suasana. “A–anu, Kak Rendra. Ini Kak Ratna, kakak saya. Kalau yang ini Naura, teman saya yang ikut daftar jadi pengurus OSIS juga,” lanjutnya kaku.
“Oh, iya. Salam kenal, saya Rendra. Tadi karena pulang kemalaman, saya dapat tugas untuk antar Talitha pulang,” jelasnya tanpa diminta. Ia beralih pada Nilam yang kini berdiri tegak seperti patung. “Maaf, rok kamu jadi kotor. Nanti saya ganti.”
“Eh, eh! Nggak usah, Kak!” sergah Nilam cepat. “Saya banyak rok sekolah, kok. Waktu itu dapat dari sekolah dan banyak bekas punya Kak Ratna juga.”
“Iya, Kak, nggak usah. Nilam udah banyak roknya,” sambung Naura. Matanya tertuju pada sepeda onthel bergantian dengan Kak Rendra.
“Nggak apa-apa. Saya harus tanggung jawab karena sudah merusak roknya,” ucap cowok bertubuh kekar itu tegas. “Kalau begitu, saya pamit dulu.”
Kak Rendra mengendarai sepedanya semakin lama semakin menjauh. Kini tinggal Nilam yang berdiri kaku dikelilingi dua orang yang siap memberondongnya dengan pertanyaan.
“Kok, lo bisa pulang bareng Kak Rendra?”
“Dia siapa? Kok, naik sepeda onthel gitu?”
“Kalian boncengan sepanjang jalan?”
“Ah, romantis banget. Udah kayak orang zaman dulu yang lagi pacaran!”
“Kak Rendra disuruh siapa antar lo pulang?”
Kepala Nilam seketika berputar. Ia menutup telinga dan memejamkan mata, menenangkan diri sementara. Tak jelas siapa yang bertanya karena setiap kata seolah berlomba-lomba masuk ke indera pendengarannya. Meskipun begitu, Kak Ratna dan Naura masih terus mencecarnya.
“Tunggu dulu, satu-satu!” pekik Nilam tertahan.
Kak Ratna dan Naura terdiam dan melongo. Nilam menjilat bibir, khawatir membuat mereka marah. Gawat, bisa-bisanya ia kelepasan seperti itu.
“Maaf, aku nggak dengar pertanyaannya. Bisa tolong diulang?”
***
Nilam menumpukan kepala di atas tangan, sementara matanya fokus menatap papan tulis yang penuh dengan rumus dan angka. Di depan papan putih itu, Pak Randi mengguratkan spidol dan menggambar kuadran sambil menjelaskan tentang vektor. Posisi tubuhnya yang membelakangi siswa membuat Nilam tak dapat melihat dengan jelas yang sedang ditulis, tetapi ia menajamkan telinga agar tetap dapat mendengar penjelasannya.
Sesaat Nilam tersentak saat sebuah kertas berada di depannya. Ia melirik Naura yang mengedipkan mata sambil berbisik, “Baca!”
Mengalihkan perhatian dari pelajaran, ia membuka kertas yang dilipat itu.
“Entar ke mall dulu, yuk. Kita beli perlengkapan buat ke Puncak hari Jumat.”
Nilam terperangah. Apa Naura dari tadi sibuk memikirkan tentang LDKS yang akan diadakan dua hari lagi? Pantas saja dari tadi dia terlihat sibuk menulis daftar barang dan apa-apa yang harus dibawa untuk pelatihan kepemimpinan nanti. Geleng-geleng kepala, Nilam menuliskan balasan di bawah kalimat yang ditulis Naura dan mengembalikan kertas itu lagi padanya.
“Kan, nanti baru dikasih tau barang bawaannya.”
“Iya! Makanya abis itu kita belanja! Biar waktunya nggak mepet!” bisik Naura tegas.
Nilam mengambil lagi kertas yang tadi sudah berada di depan Naura dan menulis, “Apa nggak kesorean? Entar pulangnya kemaleman gimana?”
“Nggak apa-apa! Nanti jadi OSIS juga bakal pulang malam! Latihan!” desak Naura dengan suara pelan. “Lagian, nanti mepet banget kalo belum belanja dari sekarang!”
“Hei!” bentak Pak Randi tiba-tiba, membuat Nilam terkesiap. Terlebih Naura yang tersentak karena sejak tadi menoleh ke arah Nilam. “Coba, kamu yang duduk di depan, yang dari tadi bisik-bisik! Sebutkan beda besaran skalar dengan besaran vektor!”
Saling berpandangan dengan Naura, Nilam menerka siapa yang sebenarnya disuruh Pak Randi. Sahabatnya itu malah menyikutnya, menyuruhnya menjawab pertanyaan guru itu. Namun, Pak Randi dengan tegas menyuruhnya sendiri yang menjawab.
“Saya, Pak?” gumam Naura menunjuk dirinya sendiri.
“Iya, kamu! Dari tadi bisik-bisik nggak perhatiin!”
Semua pandangan kini terarah pada Naura yang menjilat bibir. Ia menunduk dan membalik halaman buku yang terbuka asal. Sesaat kemudian ia menggaruk kepala sambil menggeleng-geleng. Suaranya lirih saat menjawab, “Ehm … kalau besaran skalar itu … ehm ….”
“Sudah, sudah! Kamu dari tadi nggak memperhatikan, kan? Sibuk sendiri dari tadi!” omel Pak Randi. Kini pandangan matanya berpindah pada Nilam. “Coba kamu yang di sebelahnya!”
“Eh?” pekik Nilam tak sadar. Sebenarnya, tadi Pak Randi sudah menjelaskan tentang ini di awal jam pelajaran. Beruntung tadi ia masih menyimak sebelum tiba kertas dari Naura. “Kalau besaran skalar itu … besaran fisika yang hanya memiliki nilai. Tapi kalau vektor, besarannya punya nilai dan arah.”
Pak Randi mengangguk. “Nah, iya! Betul itu. Siapa nama kamu?”
“Talitha Nilam, Pak.”
“Kalau kamu, yang nggak bisa jawab?” Guru itu beralih pada Naura sambil melotot.
“Naura, Pak,” sahut Naura lirih.
“Iya, kamu, Naura! Nanti setelah kelas selesai, kamu ke kantor saya dan ambil soal tambahan! Besok harus dikumpulkan!”
Mata Naura membola. “Yah, Pak. Nanti sore ada pertemuan untuk persiapan LDKS, Pak,” protesnya.
“Kamu pikir saya peduli? Makanya perhatiin di jam pelajaran, biar nggak dapat hukuman!” bentak guru itu. “Lagian, organisasi itu boleh, tapi jangan sampai mengacaukan tugas kalian yang utama, yaitu belajar! Ngerti?”
Dengan bibir mencebik, Naura akhirnya berkata pelan, “Iya, Pak.”
“Ya sudah. Saya sudah catat nama kamu! Kalau sampai kamu nggak ambil soal dan mengumpulkan, saya akan laporkan ke pembina OSIS.”
“Yah, jangan, Pak!” pekik Naura mengiba. “Nanti saya kerjain, deh, Pak.”
“Pokoknya saya mau terima soal dan jawaban itu besok pagi sebelum jam pelajaran dimulai!”
Naura menunduk lesu. Tangannya meremas-remas kertas yang tadi digunakan untuk berkirim pesan menjadi bola abstrak padat. Pak Randi melanjutkan penjelasan tetapi dia tetap saja tidak memperhatikan.
Nilam merasa tak enak melihat sahabatnya muram. Ia mengusap bahunya sambil berbisik sangat lirih. “Sabar, Ra.”
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10