Kesepakatan tiga bulan yang lalu itu menjadi awal dari perubahan status Griss di sekolah. Sebelum sering menempel pada Juna—atau Juna yang sering menempel padanya—Griss cuma butiran debu yang hanya akan dicari untuk menggenapi kelompok dalam kelas. Griss bukan antisosial, kok, dia hanya tidak berani membaur dengan orang-orang di sekitarnya. Takut ditolak karena nggak sefrekuensi adalah alasan utama, alasan selanjutnya karena Griss selalu merasa minder dengan bentuk tubuhnya.
Badan segede gajah, ya kali mau main sama belalang sembah?
Teman-teman Griss khususnya, dan warga Nusa Indah umumnya, jarang yang memiliki tubuh besar atau gendut. Paling-paling cuma tiga atau empat. Sialnya, Griss adalah salah satu dari tiga atau empat itu. Meski tidak ada yang mengejek fisiknya secara terang-terangan, tatapan orang-orang yang jika disuarakan akan berbunyi, "Buset ... itu badan apa kasur lipat?" tak jarang membuat Griss merasa tidak nyaman. Apalagi, Wina—temannya—memiliki bodi sekece cewek Korea. Griss selalu merasa dibanding-bandingkan. Rasanya sangat menyebalkan.
"Ngelamun aja lo.”
Cewek itu nyaris terjungkal dari kursi saat Wina menepuk bahunya dari belakang. Kelas sedang ramai karena ada guru yang berhalangan hadir dan tidak ada tugas yang dititipkan kepada guru piket. Pokoknya super sejahtera buat kelas XI IPS 2.
Wina meletakkan sebotol air mineral berslogan “yang ada manis-manisnya” dan dua bungkus keripik singkong yang sempat viral karena jadi kesukaan salah satu member boy group Korea Selatan. Dia baru kembali setelah beberapa menit sebelumnya meminta izin pada ketua kelas untuk pergi ke toilet, sekalian melipir ke kantin, tentu saja.
Lalu, tanpa meminta izin kepada pemiliknya, Griss membuka satu keripik singkong dan mulai menyantapnya. Rasa gurih yang menyerbu lidah membuat bibirnya melengkung ke atas tanpa sadar.
"Jajan gue ...." Wina berdecak, tapi kemudian, cewek berambut sebahu itu ikut mencomot keripik singkong yang berada di tangan Griss. "Ganti rugi ceban, ya."
"Ogah." Griss lanjut makan, makin menikmati bunyi kriuk-kriuk yang mulutnya hasilkan. Griss suka makanan asin, gurih apalagi. Kalau tahu Wina akan mampir ke kantin, Griss pasti akan titip.
"BTW, Griss, gue ketemu sama Kak Nin," ucap Wina. Cewek kurus itu tidak sadar bahwa apa yang barusan diucapkannya menghilangkan nafsu makan Griss. Ralat, bukan menghilangkan, hanya mengurangi karena sejatinya Griss tidak pernah kehilangan nafsu makannya.
Griss memelankan kunyahannya. Perhatiannya terpusat pada Wina yang hendak memulai sebuah cerita.
"Terus?" tanyanya.
Wina menghela napas cukup panjang. "Dia nanyain lo."
"Gue?" Mata Griss seperti akan lepas dari tempatnya. "Kenapa gue?"
"Katanya mau ngasih peringatan biar lo nggak deket-deket Kak Juna lagi. Kalau lo nekat suka sama Kak Juna, Kak Nin bakal terang-terangan ngelabrak lo."
Sudah gue duga. Sebelah tangan Griss meremas rok seragamnya yang sebentar lagi harus diganti karena sudah tidak muat. Ini pasti karena kejadian di lift itu.
"Kasih paham aja lah, Griss. Kak Nin nggak akan ngebiarin lo hidup tenang sebelum dia tahu hubungan lo sama Kak Juna itu seperti apa."
Tidak seperti Nindi yang menganggap Griss tidak tahu diri karena mendekati Juna, Wina tahu hubungan konyol yang membuat Juna dan Griss jadi—terpaksa—dekat. Wina juga tahu kalau Griss tidak memiliki perasaan romantis untuk Juna seperti yang dikatakan Nindi di kantin tadi.
Wina menepuk-nepuk bahu Griss penuh empati. "Mau gue temenin ngomong?"
Buru-buru Griss menggeleng. Cewek itu mengambil tumbler dari dalam tasnya dan meminum airnya dengan tergesa. "Nggak usah, Win. Bakal ribet. Gue bakal bantu naikin BB Juna dan latihan buat mata pelajaran Bu Dewi secepatnya. Setelah itu, semuanya selesai. Gue nggak ada hubungan lagi sama Juna dan teman-teman band-nya," ucap Griss mantap.
Namun, respons yang dia dapatkan dari Wina, tidak sesuai ekspektasinya.
"Yakin lo?"
^^^
Griss menggeram kesal. Dia benci Juna. Bukan benar-benar cinta, tapi benci dalam artian sebenarnya. Griss benci sifat Juna yang suka seenaknya. Seperti saat ini.
"Gue harus bilang berapa kali, sih? Gue nggak mau makan bareng lo di kantin!"
"Kenapa, sih?" Juna memicingkan matanya. Dia sudah sering mendengarkan kalimat Griss yang satu itu, tapi tidak pernah mengerti alasannya. "Kita, kan, teman."
Teman pala lo! Griss mencoba untuk tidak kesal berlebihan. Kalau tidak, dia bisa jadi tontonan. Meski kelas sudah sepi, di koridor masih banyak orang berlalu-lalang. Dan, menjadi tontonan gratis karena hal yang sifatnya bukan prestasi adalah satu hal yang tidak pernah Griss inginkan.
Melihat Griss diam di kursinya, Juna, yang awalnya hanya berdiri di ambang pintu, memutuskan untuk masuk. Cowok yang lengan kemejanya digulung sesiku itu duduk di salah satu meja barisan depan.
"Kasih gue alasan yang jelas, baru akan gue pertimbangkan kita mau makan di mana."
Juna menumpu kedua tangan di atas meja. Rambut hitam lebatnya yang mirip bintang iklan sampo tersibak angin.
Griss memutar bola mata. Dasar kekanakkan! "Ya lo pikir aja sendiri, Jun. Lo sadar punya banyak penggemar, kan? Gue belum mau jadi Grizzly Geprek karena digencet penggemar lo. Ngerti?"
Berbicara soal penggemar, sebenarnya Griss amat-sangat-malas membahasnya. Selain membuat besar kepala, ekor juga bisa tumbuh di bagian belakang tubuh Juna. Keyakinan itu dibuktikan langsung oleh Juna yang kini memasang wajah tengil andalannya.
Namun, Griss tidak bisa menampik fakta. Ya ... memangnya siapa, sih, yang nggak kenal sama Juna dan band-nya? Siswa lintas sekolah saja sering terdengar mengelu-elukan nama mereka. Dan, semua orang juga mengakui kemampuan mereka. Juna dan Mali sebagai gitaris dan bassist, Dewangga dan Melodi sebagai vokalis, Jayan sang keyboardist, dan Hazel sang cajonist.
Selain bakat, yang membuat Juna dan Chill Zone digilai hampir seluruh warga Nusa Indah adalah visual membernya yang di atas rata-rata. Kalau bagi sebagian orang tampan dan cantik itu relatif, bagi mereka hal itu menjadi mutlak—termasuk Juna yang meski memiliki perawakan ramping, tapi tetap terlihat charming. Entah bagaimana menyebutnya.
Sudah jelas, bukan, mengapa Griss selalu merasa tertekan setiap bersama Juna? Yap! Karena penggemar Juna tidak rela idolanya akrab dengan seorang cewek gendut sepertinya.
Juna terkikik mendengar penjelasan Griss. Antara senang dan mau terbang, ekor imajinernya mungkin sudah memanjang, dan kepalanya membesar seukuran bola dunia. Juna berpindah tempat, jadi duduk di sebelah Griss. Disentuhnya kening cewek itu karena gemas.
"Ckckck ... lucunya .... Gue berasa jadi idol K-Pop kalau begini." Tawa Juna mengudara, tapi tidak dengan Griss yang memasang wajah cemberut.
"Apanya yang lucu? Nyusahin gue, tahu!"
Alis Juna dinaik-turunkan sengaja. "Yakin nyusahin? Justru, lo itu beruntung bisa berteman sama gue, Grizzly. Gue ganteng, gue baik, gue berbakat, lo nggak perlu antre tujuh meter buat dapetin tanda tangan gue," ucapnya berbangga, mirip sales panci Ibu Kota.
"Sori, tapi gue nggak minat. Lo nggak seganteng Lee Taeyong."
Juna makin ngakak. Sekarang dia tahu kenapa Griss selalu ingin makan di luar. "Tapi, Grizzly, gue bener-bener nggak bisa keluar hari ini. Gue kudu kumpul sama anak-anak. Mau ngulik lagu."
"Ya udah. Makan aja sendiri."
Bahu Juna mengedik. "Ya gue, sih, nggak makan juga nggak masalah. Tapi lo bakal kena masalah kalau Mami tahu dan lo gagal dalam praktik besok."
Griss mati kutu. Apa Juna sedang mencoba menekannya sekarang?
"Mami bilang, kelas lo ada penilaian besok pagi," ucap Juna. "Sekarang terserah lo aja, deh. Mau ikut gue makan di kantin atau ... gue nggak mau ngajarin lo main basket sore ini?"
Sial. Sepertinya Griss akan menjadi Grizzly Geprek sungguhan. Apalagi tadi Juna bilang, dia akan makan sambil mengulik lagu bersama teman-teman band-nya di kantin. Apa yang harus Griss lakukan? Menyiram lelehan keju ke tubuhnya agar menjadi Grizzly Geprek Keju setelah digencet Chills—sebutan untuk penggemar Chill Zone? Sepertinya bukan ide yang bagus.