Loading...
Logo TinLit
Read Story - Maju Terus Pantang Kurus
MENU
About Us  

Tiga bulan sebelumnya

Griss berlari terseok-seok. Sesekali tangannya menyeka peluh sebesar biji jagung yang bercucuran di pelipisnya. Lehernya terasa lengket oleh keringat. Rambut sepunggungnya yang diikat juga sudah sangat lepek. Padahal Griss baru berlari setengah putaran saja. 

Cewek itu menumpukan kedua tangannya di atas lutut. Badannya membungkuk. Lalu terbatuk-batuk. 

"Bu, saya nyerah. Capek banget." Griss melambaikan tangannya pada Bu Dewi, guru olahraganya yang berjaga di pinggir lapangan. Sambil menghalau sinar matahari pukul sembilan yang cukup menyengat menggunakan tangannya, cewek gembul itu berjalan keluar lintasan. Badannya terhuyung-huyung sebelum didudukkan di atas rerumputan yang terpangkas rapi. 

Tak berselang lama, Bu Dewi datang dengan peluitnya. Di sebelah tangannya terdapat sebuah botol air mineral yang slogannya Griss hafal di luar kepala. 

"Kamu lagi, kamu lagi. Nih, minum dulu." Guru yang wajahnya terlihat lebih muda daripada umurnya itu mengulurkan air mineral kepada Griss, membiarkan salah satu anak didiknya itu minum dengan rakus.

"Terima kasih banyak, Bu," ucap Griss. Seutas senyum tercetak di bibirnya yang pucat. 

Di lapangan, anak-anak kelas XI IPS 2 masih berusaha menyelesaikan putaran demi putaran yang Bu Dewi perintahkan. Mereka mulai terlihat kelelahan, tapi tidak ada satu pun yang menyerah. Kecuali Griss. Cewek tembem itu nyengir, menyadari kepayahannya dalam berolahraga. 

"Bu Dewi, praktik lari ini sampai berapa pertemuan, ya? Kayaknya kita sering banget praktik lari—"

"Dan kamu selalu gagal."

Bibir Griss mengatup. Kalimat Bu Dewi sukses membungkamnya.

"Lari keliling lapangan bukan untuk penilaian, tapi pemanasan. Dan, kamu nggak pernah menyelesaikan bahkan satu putaran. Padahal, kita bakal ada penilaian di pertemuan berikutnya." Tangan Bu Dewi terlipat di depan dada, gestur khasnya ketika serius. Mata sipitnya makin terlihat runcing di bagian ujung saat menatap Griss. 

Griss jadi ngeri sendiri. Meski tidak memarahi muridnya dengan terang-terangan seperti yang kerap dilakukan guru-guru killer, tatapan tajam Bu Dewi jelas bukan pertanda baik.

"Maaf, Bu, apa saya boleh minta tugas tertulis saja?" Griss bertanya takut-takut. Suara yang keluar dari tenggorokannya bahkan tidak lebih keras dari cicitan tikus.

Bu Dewi tidak langsung menjawab. Hingga semua anak XI IPS 2 menyelesaikan putaran mereka, guru tegas itu masih menggantungkan pertanyaan Griss. Bolak-balik Griss menggigit bibir, takut gurunya itu marah. Cewek itu pun berjanji pada dirinya sendiri untuk mendatangi ruangan Bu Dewi setelah bel pulang berbunyi.

Dia harus minta maaf, sekalian minta tugas pengganti karena Griss tidak akan memperoleh nilai yang baik saat praktik nanti. Olahraga dan Griss memang tidak cocok. Sangat tidak cocok malah.

^^^

Tepat setelah bel pulang berbunyi, Griss bergegas turun ke lantai dasar, tempat di mana ruangan Dewi berada. Dia sengaja keluar tepat ketika bel pulang berbunyi agar belum banyak orang yang mengantre di depan lift. Kalau sudah banyak orang, kan, Griss pasti kalah gesit. Tubuhnya itu berat, belum lagi beban yang berasal dari ransel hijaunya.

"Permisi." Cewek itu mengetuk pintu ruang guru yang terbuka setengah. Seseorang—yang Griss ketahui sebagai guru Bahasa Indonesia—mempersilakannya masuk dan bertanya siapa yang Griss cari. Griss bertanya di mana Bu Dewi, setelah diberi tahu kalau guru yang ia cari sedang pergi ke kantin lantai 2, rasanya Griss mau pingsan.

Nusa Indah memiliki dua kantin. Satu terletak di lantai bawah, biasanya digunakan oleh anak-anak kelas sepuluh dan sebelas. Sedangkan kantin yang kedua letaknya di lantai dua. Untuk sampai di sana artinya Griss harus kembali menggunakan lift, atau jika tidak memungkinkan dia harus meniti tangga yang kemiringannya tidak friendly untuk orang-orang dengan berat badan berlebih sepertinya. 

Sempat terpikirkan oleh Griss untuk pulang ke rumah saja, tapi pulang sama dengan mengingkari janjinya. Griss kan sudah berjanji akan meminta maaf kepada Bu Dewi dan akan meminta tugas pengganti. Maka, meski harus menaiki satu per satu anak tangga, Griss memutuskan untuk tetap mencari Bu Dewi.

"Bu Dewi ...." panggil Griss begitu tiba di kantin lantai dua. Peluh sebesar biji jagung menetes dari pelipisnya. Kulitnya jadi seputih porselen karena kelelahan dan ... dia belum makan siang.

Griss langsung duduk di depan Bu Dewi yang sedang bersiap untuk menyantap makan siangnya. Tidak sopan, memang, tapi Griss beneran bisa pingsan kalau tubuhnya tidak segera diistirahatkan.

"Ada apa, Griss?" tanya Bu Dewi keheranan. Wanita itu meletakkan kembali sendoknya, tidak jadi menyuap.

Griss tersenyum canggung, dia sudah akan mengatakan maksud dan tujuannya, tapi sial, perutnya yang tidak tahu malu itu justru berbunyi.

"Ups! Maaf, Bu."

Hal itu mengundang gelak tawa dari seorang siswa yang kehadirannya baru Griss sadari. Dia duduk berhadapan dengan Bu Dewi, persis di sebelahnya, menyanding sekotak makan siang berisi macam-macam menu, tapi sepertinya sama sekali belum tersentuh, bahkan sendoknya masih dibungkus plastik.

"Wah, kayaknya kamu lapar tuh. Mau makan bareng saya sama Juna, nggak? Saya nggak tanggung jawab kalau kamu pingsan soalnya."

Seharusnya Griss menolak, tapi perutnya yang kurang asem itu kembali berbunyi. Menyengir salah tingkah, Griss akhirnya menerima sekotak makan siang pemberian Bu Dewi dengan amat-sangat-tidak-tahu-malu. Catat dan garis bawahi!

Sedetik kemudian, ketiganya tampak melupakan kejanggalan yang terjadi—kehadiran Griss di tengah-tengah Bu Dewi dan anaknya. Mereka fokus menikmati makan siang yang sempat tertunda. Setelah kotak makan siang—yang tampak familier di mata Griss—itu kosong, semua pun kompak mengucap alhamdulillah.

Ini benar-benar aneh. Makan bersama guru olahraga yang terkenal tegas benar-benar tidak pernah ada di pikiran Griss, apalagi dipeluk tiba-tiba!

"Eh, eh ... kenapa ini, Bu?" tanya Griss waktu Bu Dewi menghambur untuk memeluknya. Bukannya dilepas, Bu Dewi malah makin mengeratkan rengkuhannya.

"Terima kasih banyak," katanya, yang membuat Griss mengeritingkan keningnya.

Pelukan dilepas, Griss kembali bisa bernapas meski belum sepenuhnya lega. Tiba-tiba dia jadi cemas.

"Kok, tiba-tiba Ibu bilang makasih? Kan, seharusnya saya yang berterima kasih untuk ... makan siang ini."

Bak mendapat hadiah seratus juta rupiah, Bu Dewi nyaris menitikan air mata saat berkata, "Berkat kamu, anak bandel ini jadi mau makan. Dia sudah nggak makan nasi tiga hari, Griss. Bayangin! Karena itu ... saya berterima kasih kepada kamu."

Kening Griss masih berkerut saat dia menoleh ke sisi kanan. Seorang cowok berbadan tripleks memasang wajah kesal dengan tangan—yang hanya terdiri dari tulang dan kulit—terlipat di depan perutnya yang agak membuncit.

"Dia ... nggak makan nasi tiga hari?" tanya Griss.

Bu Dewi mengangguk. "Juna punya gangguan makan. Belum dicek ke medis memang, tapi dari kecil dia nggak bisa makan kalau nggak ditemani. Tapi biasanya, kalau ditemani pun, Juna nggak pernah makan selahap ini. Ini pasti karena kamu."

Griss kembali terhimpit karena Bu Dewi memeluknya lagi. Memang bukan pertama kali Griss mendengar laporan, orang jadi ikut lapar saat melihatnya makan. Itu memang prestasi non akademiknya, kan? Entah Griss harus berbangga atau merasa terhina.

Bu Dewi kembali ke tempat duduknya dengan wajah sumringah. Kemudian, kembali ke mode guru tegas seperti biasa.

"Jadi, kenapa kamu mencari saya?" tanya Bu Dewi.

Griss menghela napas sebelum mengucapkan maksud kedatangannya. "Jadi, begini ... saya mau minta tugas pengganti atau ... remedy. Soalnya saya yakin, saya akan gagal pada praktik minggu depan." Cewek gendut itu menghela napas. Menyerah sebelum mencoba sama sekali bukan gayanya, tapi untuk mata pelajaran olahraga ... Griss tidak sanggup. "Awalnya cuma itu yang mau saya katakan, tapi setelah Ibu memberi saya sekotak makan siang, saya juga harus berterima kasih." Griss mengakhiri kalimatnya dengan senyuman, tapi sepertinya Griss belum mau berhenti bicara. Kotak makan siang dengan desain bunga-bunga itu tampak familier di matanya, dan itu mengganggu Griss karena meski familier, dia tidak mengingat apa-apa. "Omong-omong, ini katering, ya, Bu?" Dia pun memutuskan untuk bertanya.

"Oh, iya. Saya pesan di Katering Mama Indira. Kenapa?"

Katering Mama Indira? Pantas saja Griss merasa tidak asing. Cewek itu mengangguk-angguk setelah ber-oh panjang. "Nggak papa, Bu. Saya cuma merasa familier sama desain kemasan dan rasa masakannya."

"Oh, iya. Katering ini emang terkenal di kalangan guru-guru sini. Kamu tahu juga?" 

Senyum terkulum di bibir Griss yang terlihat lebih berwarna setelah makan. "Jelas tahu. Kan, Mama Indira mama saya," ucapnya berbangga, yang dibalas Bu Dewi dengan pekikkan tak percaya.

"Jadi yang masak makanan seenak ini itu ibu kamu?"

Griss mengangguk tiga kali. "Ke-kenapa, Bu ...." Dia menatap guru olahraganya dengan horor.

Tiba-tiba mata Bu Dewi berpendar. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita buat kesepakatan saja?" 

"Kesepakatan?"

"Mari kita buat kesepakatan bersama. Saya akan jadi klien tetap kamu dan ibumu, jika kamu bersedia menemani Juna makan setiap hari. Lalu, Juna akan membantu kamu berlatih untuk praktek olahraga, minimal seminggu tiga kali, sampai kamu bisa. Bagaimana?"

Griss menggigit pipi bagian dalamnya. Tawaran Bu Dewi menggiurkan, tapi menjadi teman makan Juna bukan hal yang menguntungkan mengingat kepopuleran cowok itu. Griss menimang karena ragu. Terima atau tolak, ya?

"Benefit kalau lo mau sepakat sama Mami, gue kasih album K-Pop."

"Deal."

Entah mendapat dorongan dari mana, Griss menjabat tangan Juna erat-erat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
458      368     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
Je te Vois
1799      923     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Menanti Kepulangan
79      73     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Kembali ke diri kakak yang dulu
1999      1191     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
2817      649     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
The Final Promise
398      99     0     
Romance
The Final Promise menceritakan kisah Ardan dan Raya, pasangan yang berjuang menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Raya, yang tengah berjuang dengan penyakit terminal, harus menerima kenyataan bahwa waktunya bersama Ardan sangat terbatas. Meski begitu, mereka berdua berusaha menciptakan kenangan indah yang tak terlupakan, berjuang bersama di tengah keterbatasan waktu. Namun, takdir membawa Ardan ...
Pasal 17: Tentang Kita
157      73     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Bisikan yang Hilang
87      78     3     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Me vs Skripsi
3090      1297     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
May I be Happy?
1197      621     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...