Siang begitu terik. Orang-orang menggulung lengan kemejanya sampai siku, mengelap keringat yang menetes di jidat menggunakan tisu, atau mengeluh karena tidak kebagian kipas angin atau AC ruangan tidak dingin. Minuman dingin di kantin lantai dua bahkan nyaris habis diserbu anak-anak kehausan. Namun, berbeda dengan kebanyakan orang, yang terjadi pada Griss justru berkebalikan.
Tangan Griss dingin, wajahnya sedikit pucat, tubuhnya bahkan sedikit bergetar. Entah karena gigil atau ketakutan. Dia baru saja memasuki pintu kantin bersama Juna yang berjalan dengan gayanya—petantang-petenteng—di depannya. Griss terpaksa mengikuti Juna ke tempat itu demi keamanan nilai olahraganya. Tahu sendiri, kan, Juna baru saja memberinya dua opsi yang sama-sama tidak bisa dipilih. Dasar cowok kurang gizi!
Kantin lantai dua memang sedang tidak terlalu ramai. Sebagian besar warga Nusa Indah yang biasa memenuhi kantin sedang berkumpul di tribun lapangan indoor untuk menonton latihan tim basket sekolah yang akan segera berkompetisi. Seharusnya Griss tidak sepanik ini. Seharusnya Griss tidak setakut ini. Dia tidak akan jadi santap siang Chills, kan?
Tanpa sadar, tatapan Griss menyapu semua sudut kantin. Dia tidak menemukan Nindi dengan tatapan elangnya di tempat itu. Namun, kelegaan tetap bukan menjadi miliknya selama masih ada Chills dan member Chill Zone di sana. Griss selalu merasa kepalanya akan dilubangi.
"Jangan bengong, Grizzly." Juna tiba-tiba saja berhenti, lalu berbalik menghadap Griss dan mengetuk dahi cewek itu dengan telunjuknya. Tersekat dua meja dari tempatnya berdiri, teman-teman band-nya sudah berkumpul. Dagu Juna mengedik ke meja itu sambil berkata, "Ayo ke sana." Cowok itu menggamit lengan Griss yang kaku.
"Jun ...." Langkah Griss terasa berat. Selama tiga bulan ini, dia hanya makan bersama Juna. Membayangkan akan makan siang bersama anak-anak berbakat yang good looking dan punya banyak penggemar seperti member Chill Zone—selain Juna—membuat Griss menelan ludahnya susah payah karena kerongkongannya yang mendadak kering. Bisakah? Bisakah Griss makan dengan normal tanpa merasa grogi dan insecure?
"Temen-temen gue bukan kanibal. Nggak usah takut gitu, sih!"
Juna terus menggamit lengan Griss hingga keduanya tiba di meja sebelah vending machine. Hazel, Mali, Jayan, dan Dewangga melambaikan tangannya, menyambut kedatangan Juna. Sementara Melodi dan satu cewek lain yang duduk di sebelahnya hanya tersenyum tipis.
"Sori telat. Gue bujuk Grizzly dulu biar mau gabung. Jangan dipelototin. Nanti kabur." Juna tergelak dengan ucapannya sendiri. Selanjutnya, dia melepas tangannya dari lengan Griss, menarik kursi untuknya sendiri dan untuk Griss. "Duduk gih."
Griss bergeming. Kepalanya menunduk. Matanya menatap ujung sepatunya yang sudah kucel karena lupa dicuci. Cewek itu mati kutu. Di kanannya ada Juna, tidak masalah jika Griss duduk di sana, mereka sudah akrab. Sayangnya, Griss tetap tidak bisa langsung duduk setelah sadar bahwa yang mengisi kursi di sebelah kirinya adalah Jayan.
Jayan Lazuardi. Most handsome boy in Nusa Indah. Keyboardist andal Chill Zone. Julukannya si Tangan Emas. Penampakannya jangan ditanya. Berbeda dengan Juna yang terus tumbuh tinggi tapi badannya nggak mau melar, Jayan punya tubuh tinggi yang atletis. Tak jarang, cewek-cewek yang mengidolakannya berfantasi, bahwa mungkin di balik seragam Nusa Indah yang rapi meng-cover tubuhnya, tersimpan kotak-kotak mirip roti. Jayan juga punya paras yang sangat rupawan, ditambah lesung pipi berbentuk bulan sabit yang akan mencuat setiap dia tersenyum.
Sangat menawan.
Griss buru-buru mengenyahkan hal-hal tidak penting yang hinggap di kepalanya. Dia segera duduk setelah Juna memanggil namanya untuk kali ketiga. Santai aja, santai aja. Temen-temen Juna bukan kanibal. Griss merapal kalimat itu dalam hatinya. Menjadikannya mantra.
^^^
"Jangan berhenti. Lo satu putaran aja belum kelar!"
Juna mengusap wajahnya yang dibanjiri keringat. Kaos putih berlogo klub sepak bola kesukaannya melekat di tubuhnya yang setengah basah. Napasnya sedikit tersendat-sendat. Juna baru saja menyelesaikan putarannya yang ketiga ketika langit berubah jingga.
Cowok jangkung itu berdecak cukup keras ketika Teman Makannya melambaikan tangan, tanda menyerah, padahal Griss belum menyelesaikan putaran pertamanya. Cewek itu terus tertinggal di belakang saat Juna mengajaknya untuk berlari bersisian. Malas jelas menjadi faktor pertama, faktor kedua dan setelahnya, Griss itu terlalu pesimis, menganggap olahraga adalah hal yang tidak akan pernah bisa dilakukan oleh orang bertubuh gempal. Padahal, olahraga sumo dan gulat didominasi oleh orang-orang bertubuh besar. Dua hal itu masih termasuk cabang olahraga, kan?
"Grizzly ... cepat!" teriaknya sekali lagi. Kali ini berhasil membuat Griss kembali melajukan kakinya, meski masih dalam tempo yang sangat lambat, mirip seperti jalan biasa.
Sore ini, seperti janjinya pada Griss, Juna akan membantu Griss bermain basket. Tidak sepenuhnya bermain, sih, hanya membantu melakukan gerakan-gerakan yang biasa dilakukan saat penilaian. Maka, di sinilah mereka sekarang. Di lapangan basket dekat kompleks Juna yang, kebetulan, sedang sepi. Ah, bukan sebuah kebetulan. Juna sengaja mengusir anak-anak SD yang sedang bermain tadi dengan iming-iming dua lembar ceban. Griss tidak suka latihannya disaksikan orang lain, dan Juna paham akan itu.
"Cuma seputaran aja, jangan malas. Lo harus pemanasan soalnya, meski kita mau latihan menembak bola ke keranjang doang."
Griss akhirnya menyelesaikan satu putarannya. Keringat sebesar biji jagung menetes di pelipis dan tengkuknya. Bibir cewek itu mengerucut. Sebenarnya, dia tidak berniat latihan sama sekali hari ini. Otaknya masih dipenuhi kejadian saat makan siang di kantin beberapa jam yang lalu. Memang, tidak ada kejadian yang begitu berarti saat itu, tapi tetap saja, bagi Griss, makan bersama anak-anak populer di sekolahnya itu ... aneh.
Cewek itu berdiri tak jauh dari Juna saat Juna mulai berperan menjadi pelatihnya. Cowok itu memasang muka serius ketika mempraktikkan cara mendrible bola yang benar, pivot, hingga shooting. Griss mencoba memperhatikan dengan serius, meski tak jarang pikirannya terdistraksi hal lain. Tak terasa, dua jam pun berlalu.
"Capek banget," keluh Griss. Dia menyelonjorkan kaki berbalut celana training hitamnya. Sepatu olahraga bernomor empat puluhnya sudah dilepas.
Juna menyusul setelahnya. Ikut menyelonjorkan kakinya yang panjang. Tangannya mengibas-ngibas di depan wajahnya yang berkeringat.
"Mending capek-capek dahulu, dapat nilai kemudian. Daripada malas-malasan terus, hasilnya zonk mulu?"
Napas Griss terhela cukup panjang. Diliriknya Juna yang juga tengah menatapnya. "Lo bisa ngomong gitu karena lo bukan gue. Dengan badan gue yang seperti ini, olahraga itu semacam jadi beban."
Juna mengangguk-angguk seolah paham, tapi ekspresinya begitu tengil hingga Griss memilih mengabaikan cowok itu.
"Tapi, Grizzly, bukannya lo harus olahraga biar tetap sehat?"
"Dan lo harus makan biar bisa tetap hidup."
Mendengar jawaban itu, Juna tergelak. "Sialan lo."
"Lo juga."
Lalu keduanya tertawa bersama, menikmati bulatan oranye di langit yang hendak kembali ke peraduannya. Sisa senja dan perut yang mulai lapar membuat Griss mengira matahari dan bola basket di dekat kakinya memiliki rasa yang manis seperti jeruk.