Cahaya menyala tiba-tiba.
Pekat yang sebelumnya membungkus seluruh kesadarannya pecah oleh gemetar biru keperakan dari sebuah panel digital. Matanya menyipit, masih asing dengan cahaya dunia. Suasana sunyi, tapi tak benar-benar diam—ada suara dengung halus, seperti napas mesin tua yang terus bekerja meski dunia sudah melupakannya.
Ia terbaring. Dingin. Punggungnya menyentuh permukaan logam yang kasar dan sedikit lembap. Pandangannya membentur kubah sempit, lengkung seperti cangkang telur yang retak. Aroma besi terbakar dan debu tua menempel di udara.
Lalu, suara itu datang.
“Status: Terbangun. Lokasi: 7 derajat 49 menit Lintang Selatan, 112 derajat 0 menit Bujur Timur.”
“Koordinat: Kediri, Bumi.”
“Selamat datang kembali, Subjek ALFA-0.”
“Misi Anda: Temukan alasan kamu dikirim kembali.”
Nada suara itu netral. Tidak laki-laki, tidak perempuan. Tidak manusia, tapi juga tidak sepenuhnya mesin. Suara yang terasa... terlalu tahu.
“Siapa aku?”
Suara itu bertanya lirih—atau mungkin hanya gumaman pikirannya sendiri. Tidak ada jawaban. Hanya dengung dan layar berkedip yang pelan-pelan mati, meninggalkan gelap dan keheningan.
Ia mencoba bangkit. Tubuhnya lemah, kaku, seperti baru belajar menjadi manusia. Setiap otot terasa seperti tali yang baru dipasang kembali. Lututnya gemetar saat menyentuh tanah. Ia merangkak keluar dari kapsul sempit itu—benda asing setengah tertanam dalam tanah merah kecoklatan, seperti meteor jatuh dari langit, hanya saja tidak ada api, tidak ada keramaian. Hanya sunyi.
Langit senja menyambutnya. Merah tua. Matahari menggantung malas di ufuk barat, dan dari kejauhan terdengar kokok ayam terlambat atau suara anak kecil bermain. Suara dunia nyata.
Ia berdiri, menatap sekeliling: sawah basah, pohon pisang, dan jalan kecil berdebu. Tak ada bangunan logam, tak ada kota canggih seperti yang samar-samar masih terpantul di balik pikirannya yang retak. Tak ada kapal ruang angkasa. Tak ada... masa depan.
Hanya sebuah kampung.
Kediri, katanya.
“Aku... dikirim ke sini?”
Angin lewat membawa bau tanah basah dan asap dapur kayu bakar. Semuanya begitu nyata, begitu manusiawi. Dan dia, yang tidak tahu siapa dirinya, harus berpura-pura menjadi bagian dari itu.
“Data ingatan: rusak.”
“Pemulihan memori tertunda hingga sistem stabil.”
“Saran: Berbaurlah. Adaptasi. Awasi anomali.”
“Prioritas misi: Temukan alasan kamu dikirim kembali.”
Ia mengangguk pelan, meski tak yakin pada siapa. Langkah pertamanya gemetar, tapi nyata. Jalan tanah di depannya menanti. Kampung kecil ini, dunia yang katanya biasa, kini menjadi titik nol. Titik di mana ia harus memulai segalanya kembali.
Dan tanpa tahu nama sendiri, ia melangkah ke dunia yang perlahan akan mengingatkannya siapa dia.