Prolog
"Inclusive is not only a tagline. It is a long game marathon."
- Sarah Aurelia Saragih, Puteri Indonesia Riau 2025, Top 16 Puteri Indonesia 2025.
To: eccanthya.namira@gmail.com
Fr: kenirzaalfiandi@gmail.com
Echa, I don't exactly know your real feelings ketika menerima surel ini. Aku hanya ingin menyampaikan kegelisahanku belakangan ini, terkait kondisi mentalmu yang seringkali mendadak drop, jujur, I can't help you to handle it anymore. Aku rasa pun, aku nggak perlu minta maaf untuk itu, perihal aku yang nggak bisa survived bergaul denganmu, tentu bukan kesalahan kan? Terlepas dari hilangnya kesadaranmu ketika kena panic attack, yang berujung relapse, buatku bukanlah sebuah pembenaran untuk kamu bisa berbuat atau berkata apa saja. Semua hal tetap punya batas. Aku harap kamu bisa paham terkait keputusanku meninggalkan lingkaran pertemanan kita. Aku hanya ingin menyelamatkan diri.
Sebagai seorang penyintas gangguan ketidakstabilan kondisi psikologis, menerima pesan semacam itu tentu bagaikan tamparan keras yang mau tidak mau sakitnya akan terus membayangi untuk beberapa lama.
Yang terlintas di benakku saat itu hanyalah anggapan bahwa pertemanan kami sudah berakhir untuk selamanya. Pertemanan yang dipenuhi ego dan rasa ke-aku-an, yang sama sekali tidak berlandaskan ketulusan, apalagi penerimaan terhadap diri satu sama lain sebagai individu yang masih dalam tahap proses pendewasaan, penyembuhan, dan pemulihan.
Cerita ini tidak hanya mengisahkan tentang aku yang mengidap limitasi psikologis bernama gangguan bipolar, atau Ken yang egois yang bisa saja dilahirkan ke dunia tanpa adanya rasa empati. Bukan. Ini tentang kita semua. Pembaharuan lingkungan ke arah yang mendukung inklusivitas memang sudah selayaknya menjadi tugas untuk dipikul bersama sebagai suatu urgensi sosial.
Ceritaku ini hanya setitik contoh konkret akan menyeruaknya krisis empati dan maraknya keangkuhan yang tercipta di kalangan individu sebaya.Khususnya terhadap segelintir orang dengan limitasi psikologis. Seperti aku.
Aku, yang padahal hanya butuh sepatah-dua patah kata penyemangat demi bisa menyambung hidup, atau paling jauhnya, rangkulan hangat dari mereka-mereka yang menamakan dirinya sebagai teman.
Ini bukan tentang ketergantungan atau dependensi terhadap validasi dari pihak eskternal. Tapi, bukannya hakikat hidup memang untuk menciptakan dan menghuni ruang aman secara kolektif, ya?
Semoga, orang-orang seperti Ken hanya sedang lupa bahwa apapun yang dimilikinya saat ini, kesehatan, kestabilan psikologis, dan yang lainnya itu, hanyalah pemberian dari Sang Maha Segala. Pemberian yang seharusnya diberikan kembali secara lebih luas kepada sekitar sebagai suatu berkat.
Seharusnya, orang-orang seperti Ken, sebagai pihak yang melabeli dirinya 'normal', bisa membantu kami-kami yang kesulitan mencari ruang aman untuk bisa pulih dan melangkah maju. Bukan malah menyudutkan, menjauh, dan meninggalkan.
"As women we must be brave enough to break the barriers."
- Firsta Yufi Amarta Putri, Puteri Indonesia 2025, Miss Supranational Indonesia 2025.