Loading...
Logo TinLit
Read Story - Unexpectedly Survived
MENU
About Us  

"Women are born bold. We are born strong and with the ability to do anything we set our hearts to.” - Louise Kalista Wilson Iskandar, Puteri Indonesia Sumatera Barat 2020, 3rd Runner Up Puteri Indonesia 2020

 

 

Why Self-love?

      Awalnya, aku yang digariskan untuk lahir dan dibesarkan sebagai seorang anak tunggal, selalu merasa haus akan kasih sayang, krisis perhatian, kerap mengeluhkan sepi maupun kesendirian, dan hal-hal lain yang aku rasa tidak berhasil aku dapat melalui kehadiran manusia lain di sekitarku, yang lantas pada akhirnya menimbulkan kekecewaan yang besar.

      Sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak dan mengenal bahwa di dunia ini ada sekelompok orang 'bergelar' teman, aku berpikir bahwa selamanya sampai kapanpun aku tidak ingin dan tidak boleh sendirian, aku harus selalu menjadi salah satu bagian dari 'mereka' untuk melakukan banyak hal bersama-sama. Karena jika tanpa 'mereka', aku menganggap diriku hanyalah sebongkah kayu tua yang usang dimakan zaman, yang tidak tahu harus apa dan untuk apa kegunaannya.

      Mereka berlari, aku pun demikian. Mereka melompat, aku pun mengikuti. Mereka terjatuh, aku? Mau tidak mau harus aku jawab iya. Aku selalu ingin menjadi sama dengan teman-temanku dan merasa rendah diri jika harus menjadi berbeda.

      Aku melanjutkan jenjang sekolah formalku di salah satu sekolah tingkat dasar terfavorit di kotaku pada masanya, dan kurasa sampai sekarang pun masih sama. Satu yang membekas dan terus terngiang dari jenjang itu adalah ketika aku terpaksa untuk memilih jalan berbeda dengan teman-teman lainnya di sana. Ketika aku mendapati salah seorang teman yang terkena kasus perundungan oleh teman-temanku yang lainnya, yang biasanya selalu aku ikuti tingkah-polahnya. Namun saat itu, yang ada aku justru memilih untuk tidak mengikutinya. Iya, aku menentangnya. 

      Entah kenapa, jauh di dasar hatiku yang selama ini tumbuh dengan dibersamai rasa sepi dan berbalut kesendirian, membuatku juga tumbuh dengan pemikiran inklusif, bahwa setiap individu di muka bumi memiliki hak yang sama untuk bisa hidup dengan tenang, nyaman, memiliki relasi yang luas, dan berteman banyak tanpa harus ada pihak yang merasa terintimidasi.

      Meski pada saat itu, sebagai siswi SD, pemikiranku belum sekompleks sekarang untuk menganalisis alasan dibalik tindakanku sendiri, tapi satu yang aku tahu, aku tidak akan membiarkan temanku merasakan kesedihan yang sama dengan apa yang aku alami ketika sedang sendiri dan kesepian.

      Meski dengan menentang perundungan tersebut, membuatku terpaksa menjadi orang yang menjadi korban perundungan juga orang sekelompok orang yang sama di kemudian hari, tapi entah kenapa hati kecilku tidak menyesal. Aku merasa bahwa aku sudah melakukan hal benar di usia yang masih terbilang sangat belia. 

      Sejenak aku berpikir bahwa meskipun menjadi berbeda dan tidak seirama dengan teman-teman yang perilakunya kurang tepat itu, aku justru malah bisa membantu temanku yang lain yang tentu lebih membutuhkan keberadaanku.

      Kadang aku pun dibuat bingung, mengapa aku versi masa kecil sudah memiliki kompleksitas pola pemikiran yang serumit itu. Tapi di saat yang sama, Ibuku menuturkan pula bahwa, "Dalam amanah yang diturunkan-Nya, Tuhan tidak akan pernah salah memilih pundak."

      Semenjak saat itu, aku tidak takut lagi menjadi berbeda. Aku bahkan bisa berdiri di atas kakiku sendiri, bisa memutuskan mainan apa yang ingin aku mainkan tanpa harus menggantungkan pilihan pada kesukaan ataupun hobi orang lain. Aku bangga terhadap diriku dan dengan rasa bangga itu pun cinta akan diri sendiri terasa mulai tumbuh.

      Pada mulanya, sebagian besar orang berpikir bahwa mencintai adalah sebanyak-banyaknya diberikan pada pihak di luar diri sendiri, bahwa apabila dicurahkan seorang diri sejatinya hanya akan bermuara pada egoisme yang semakin lama semakin memuncak.

      Padahal, faktanya tidak demikian.

      Rasa cinta terhadap diri sendiri atau self-love justru berbanding lurus dengan munculnya rasa percaya diri seseorang, yang nantinya akan melahirkan jiwa-jiwa baru dengan pemikiran rasional yang lebih condong ke arah optimisme ketimbang pesimisme atau hal-hal berbau kecemasan yang lainnya.

      Ilustrasi tersebut ibarat sebuah lingkaran tanpa tepi. Keberanian yang dimiliki seseorang akan menghadirkan rasa bangga terhadap dirinya. Rasa bangga tersebut bila dipupuk terus menerus akan membuat seseorang bisa menyadari bahwa dirinya berharga dan layak dicintai. Rasa cinta yang ada, pada dasarnya berbanding lurus dengan munculnya rasa percaya diri, yang lambat laun akan membentuk karakter seseorang menjadi sosok tangguh yang selalu optimis pada hidup dan kehidupannya. Dengan optimisme yang besar, seseorang tentu menjadi lebih mudah untuk berani mengambil keputusan besar tanpa harus setitikpun merasa ragu. 

      

Start with Self-love

      Sejak masih balita hingga beranjak tumbuh menjadi anak-anak, aku dikenal oleh orang terdekat sebagai sosok yang periang, selalu bahagia, murah senyum, dan hampir tidak pernah menangis mengeluarkan air mata.

      Orang tuaku mengakui bahwa mereka memang mendidik dengan cara yang tegas dan keras agar aku tumbuh menjadi pribadi yang disiplin, beretika, dan berintegritas tinggi. Tidak jarang aku dinasehati dengan suara keras, yang mungkin justru malah terkesan seperti bentakan dengan nada yang cukup tinggi, yang pada akhirnya membuat sebagian besar orang di sekitarku menilai bahwa aku memang sekuat dan setangguh itu. Sebab aku sama sekali tidak pernah menangis, meski harus menghadapi berkali-kali situasi menegangkan semacam itu di hadapan orang tuaku.

      Aku yang dulu, memang sangat mudah mencairkan suasana kembali. Seketika suasana yang mencekam bisa berbalik menjadi hangat, penuh senyuman, dan diselimuti tawa kembali. 

      Namun, aku mulai merasakan adanya kejanggalan pada diri ini di akhir masa menempuh awal jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Beragam gejala aneh mulai berdatangan silih berganti, tanpa jeda, dengan variasi berbeda setiap momentnya. Sering aku menangis tanpa sebab hanya untuk sekadar meluapkan kegelisahan yang entah disebabkan oleh apa. Pada saat itu, akupun tidak memahaminya. Sebab satu-satunya yang aku ketahui dari diriku adalah merasakan takut, cemas, dan was-was yang teramat sangat.

      Sebagai seseorang dengan usia yang terbilang masih sangat belia, ditambah dengan latar belakangku sebagai anak yang tumbuh besar tanpa kehadiran sosok saudara kandung, dengan kedua orang tua yang disibukkan oleh pekerjaan masing-masing selama enam hari dalam seminggu, membuatku mau tidak mau terbentuk menjadi individu yang segala sesuatunya terbiasa dipendam sendiri tanpa sedikitpun mampu berbagi perasaan atau sekadar mencurahkan apa yang sedang terlintas dalam benak. Maka ketika kegelisahan itu muncul pun, tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali menangis. Bahkan untuk meminta pertolongan pun, nyatanya memang mulut ini terlalu kelu untuk melontarkan kata.

      Sampai akhirnya, orang tuaku yang lama-kelamaan juga merasakan kejanggalan serupa setelah melihatku menangis dengan intensitas yang lebih tinggi pada hampir setiap sore menjelang malam. Pada saat itu, kekhawatiran mulai timbul di pikiran mereka. Dengan nanar, mereka menatapku dan mulai menyadari bahwa memang ada sesuatu yang salah dalam diriku yang tidak dialami oleh remaja lain yang seusia denganku saat itu.

      Lingkungan keluarga terdekatku seperti Ibu, Om, dan Tante memang berprofesi sebagai tenaga kesehatan. Tidak heran jika mereka bisa langsung berpikir cekatan dan peka terhadap kondisi psikologisku yang berubah menjanggal. Mereka lantas segera membawaku untuk memperoleh penanganan dari seorang psikiater atau spesialis ahli kedokteran jiwa di salah satu penyedia layanan kesehatan di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

      Di situ, perjalanan kehidupanku yang sebenar-benarnya dimulai. Entah vonisan apa yang diberikan oleh psikiater tersebut sebab usiaku saat itu masih dianggap terlalu kecil untuk bisa memahami dan menerima kondisiku sendiri sehingga tidak ada seorang pun yang berkenan memberikan informasi kepadaku.

      Meskipun di sisi lain, mulai hari itu aku dipaksa rutin untuk mengonsumsi sejumlah obat-obatan, tapi yang jelas sebenarnya diri sendiri pun memang tidak berupaya lebih keras untuk mencari tahu perihal apa yang terjadi. Jujur, aku sangat tidak siap dengan apapun jawaban yang akan diperoleh nantinya. Maka berpura-pura tidak tahu dan tidak mau tahu, rasanya merupakan opsi terbaik saat itu.

      Terhitung semenjak ketidakstabilan kondisi psikologisku, aktivitas sehari-hari yang semula kujalani tanpa masalah, sesaat berubah menjadi tidak normal. Aku mendadak kehilangan minat dan dorongan untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk sekadar mengambil segelas air. Kegelisahan dan rasa cemas yang semula hanya hadir sesekali, menjadi bertambah intensitasnya. Secara pribadi pun aku menjadi hilang rasa percaya diri untuk menjalani keseharian tanpa pendampingan khusus meskipun masih di dalam rumah.

      Apalagi untuk hadir dan mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah, rasanya sangat tidak memungkingkan mengingat ketakutan dan paranoidku yang semakin menjadi. Karenanya, sampai saat ini, masih tertulis jelas dengan bolpoin tinta hitam di Buku Laporan Hasil Belajar milikku sewaktu SMP dulu. Bahwa ketidakhadiranku di kelas satu adalah sebanyak 45 hari.

      Tapi, mau bagaimanapun, aku tetap mencintai diriku. Aku tetap menghargai bahwa di saat-saat sulit seperti saat itu, sejatinya aku masih tetap berusaha untuk hadir ke sekolah. Aku masih berusaha keras untuk mengerjakan setiap tugas maupun pekerjaan rumah yang diinstruksikan oleh bapak/ibu guru. Terlepas pada akhirnya aku bisa berhasil menyelesaikannya atau sebaliknya, setidaknya aku sudah mencoba melakukan yang paling maksimal yang bisa diupayakan.

      Percayalah, aku bukan seperti anak malas kebanyakan yang justru senang jika mendapat kesempatan untuk bolos sekolah. Yang ada, justru aku benar-benar ingin segera keluar dari situasi aneh itu. Seberapa keraspun aku harus berusaha, sesulit apapun perjuangannya, sebanyak apapun hal yang harus aku korbankan, akan tetap aku tempuh jalannya, yang penting aku bisa kembali menemukan dan menjadi diriku yang lama, yang penuh keceriaan dan seutuh-utuhnya pembawa kegembiraan.

      Kini, aku menyadari bahwa kekuatanku saat itu ternyata bersumber dari situ, dari cukupnya rasa cinta yang bisa terus aku berikan terhadap diriku sendiri meski di saat-saat paling terpuruk dalam garis panjang kehidupan.

      Setiap orang, termasuk aku, hanya perlu menemukan titik untuk kemudian bisa mulai mencintai diri masing-masing. Titik yang pastinya akan berbeda antara satu sama lainnya, yang akan memberi kekuatan sedemikian besarnya.

 

Power of Self-love

      Berbekal kekuatan dan tekad yang begitu kuat, yang tentunya dilandasi oleh besarnya rasa cinta terhadap diri sendiri, pada akhirnya berhasil mengantarkanku meraih pencapaian yang sama sekali tidak pernah disangka-sangka.

      Sebelumnya aku tidak pernah berpikir apalagi berharap banyak untuk menyandang predikat sebagai juara kelas. Mengingat kondisiku yang pada saat itu mulai dihadapkan dengan sebuah limitasi yang sama sekali tidak sepele, rasanya aku enggan untuk meminta terlalu jauh.

      Setelah absen sebanyak 45 hari hanya di semester pertama, sudah cukup bagiku untuk merasa tahu diri, bahwa kapasitas maupun kapabilitasku memang sebatas itu saja tanpa perlu berekspektasi terlalu tinggi.

      Namun, siapa sangka?

      Setelah semester pertama berlalu, kemajuan kondisi psikologisku naik pesat. Aku benar-benar merasakan yang namanya bangun setelah jatuh, bangkit pasca terpuruk. Percayakah bahwa pada semester kedua, aku berhasil meraih peringkat dua besar juara kelas dan dialihkan untuk menjadi bagian dari kelas unggulan di tahun akademik selanjutnya?

      Jika tidak percaya, maka sama. Akupun sulit untuk mempercayainya.

      Pada titik itu, aku merasakan syukur yang amat dalam. Aku berterima kasih pada Sang Maha Segala karena telah membuktikan keadilan dan kuasa-Nya langsung di depan mataku. Bahwa seutuh-utuhnya insan manusia adalah yang tidak memilih menyerah, melainkan yang tetap memilih untuk terus berjuang dan bertahan, hingga tangis kita saat itu lambat-laun berubah menjadi senyuman manis.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
562      419     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Tic Tac Toe
474      377     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Fidelia
2157      940     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Fusion Taste
163      150     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Taruhan
62      59     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Melihat Tanpamu
165      129     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
Metanoia
54      46     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Kainga
1438      820     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
265      169     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Simfoni Rindu Zindy
795      566     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...