Entah sudah berapa hari, Digma selalu melewatkan sarapannya. Ia hanya mandi dan memakai seragam dengan terburu-buru. Jaket bomber hitamnya ia pakai asal saat menaiki motor. Yang ada dipikirannya kini hanya Fara. Ia melajukan motornya dengan kecepatan penuh ke rumah sakit. Ia harus tau bagaimana keadaan gadis itu sejak malam penculikan kemarin.
Begitu sampai di depan kamar rawat inap Fara, Digma menarik napas panjang. Jantungnya berdebar tak karuan. Keringat dingin membasahi dahi meskipun ruangan rumah sakit dingin oleh AC. Perlahan cowok itu membuka pintu kamar.
*Brakk!*
Sekeranjang buah yang Digma beli di tengah jalan hampir terlempar dari tangannya ketika sebuah tangan kuat muncul begitu saja dari samping.
"Lo!" suara berat itu nyaring. Mata Rey melotot penuh amarah. Mukanya merah padam. Kepalan tangannya sudah siap melayang ke wajah Digma.
"Kurang ajar lo! Lo bener-bener bikin adik gue celaka! Gara-gara lo, Fara...!"
"Bang Rey, udah!" suara itu datang dari ranjang. Lembut namun penuh ketegasan. Fara, yang duduk bersandar dengan perban di tangannya, menatap kakaknya dengan pandangan lelah namun memaksa. "Ambilin baju ganti gue di mobil, sekarang!"
Rey masih menatap tajam Digma. Rahangnya mengeras, namun akhirnya ia berdecak dan melengos pergi keluar ruangan. Pintu tertutup, menyisakan keheningan.
Digma berdiri kaku beberapa detik. Lalu ia maju perlahan, menaruh keranjang buah di meja kecil. Ia menghela napas berat.
"Fara ...," gumamnya, lalu duduk di kursi sebelah ranjang. Jemarinya ragu menyentuh tangan Fara yang dibalut perban putih. Namun akhirnya ia menggenggamnya dengan hati-hati.
"Maaf ya ... semua ini gara-gara gue. Kalau lo ngejauh dan nggak bantuin gue, lo nggak bakal kena imbasnya. Lo nggak bakal jadi incaran Gery."
Fara terdiam sejenak. Namun senyum kecil muncul di wajahnya.
"Dih apaan sih. Lo yang nyelametin gue waktu itu, lo inget? Lo yang lari paling depan buat cari bantuan. Kalau bukan lo, bisa aja gue kehilangan lebih banyak darah karena tangan gue."
"Tapi tetep aja, Ra..." Digma nurunin kepala. Suaranya pelan, serak. "Lo harusnya nggak masuk rumah sakit cuma karena deket sama gue."
Fara meletakkan tangannya di atas tangan Digma, meski masih terasa nyeri. Matanya hangat, lembut, namun menyorot kuat.
"Gue yang mutusin buat bantuin lo. Dan gue nggak nyesel, Dig. Gue nggak mau hidup dalam penyesalan lagi."
Digma nyaris kehilangan kata-kata. Dunia di sekitarnya terasa melambat. Di antara bunyi infus yang jatuh setetes demi setetes dan langkah kaki perawat di luar, hanya detak jantungnya yang bergema keras.
Waktu terus berdetak. Saat jarum jam menunjuk pukul 06.50, Digma berdiri pelan.
"Gue pamit ya, Ra, bentar lagi bel masuk. Tapi..." Ia merogoh kantong jaket, lalu mengeluarkan sebuah ponsel putih. Layarnya retak di ujung, namun masih menyala dengan baik. "Ini... hp lo. Jatuh kemarin pas lo di culik. Abang gojeknya nelpon gue mau ngembaliin nih hp."
Fara tersenyum kecil. "Makasih, Dig. Hati-hati ya."
"Lo juga cepet sembuh. Tuh udah gue beliin buah, walaupun sebenernya gue tau lo lebih suka seblak daripada buah."
Mereka berdua tertawa kecil. Dan ketika Digma melangkah keluar, hatinya dipenuhi oleh perasaan yang tak dapat dijelaskan. Campuran perasaan hangat, bersalah, dan ... sesuatu yang lebih dalam daripada itu.
***
Di koridor sekolah, Digma melangkah cepat. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat matanya menangkap Gery dan gengnya mengerubungi seorang anak cowok yang kepalanya sudah tertunduk dan matanya menahan tangis. Tas anak itu dilempar kasar dan sepatunya sudah dilepas secara paksa.
"Heh," tegur Digma pelan namun nadanya tajam.
Gery berhenti. Semua anak buahnya ikut menoleh. Ada keheningan beberapa detik yang mencekam.
"Mau apa lo?" tanya Gery sinis. Namun ada kegugupan dalam suaranya.
Digma melangkah pelan ke arah mereka. Sorot matanya tajam. Posturnya tegap. Ia tak banyak bersuara. Hanya berdiri di depan anak yang dirundung, lalu memunguti barang-barangnya satu per satu.
"Udahan, Ger. Lo nggak capek?"
Gery mengatupkan rahang. Kini ia tahu siapa Digma. Bukan pecundang yang biasa ia bully, namun atlet taekwondo yang berhasil mengalahkan teman temannya se Nirvana Zone.
"Gue nggak takut sama lo...," gumamnya pelan.
"Nggak takut tapi lo kabur duluan kemarin?"
Gery memalingkan muka tak acuh.
"Karena Fara minta untuk nggak memperpanjang masalah kemarin, gue bakal maafin lo. Tapi kalo lo coba-coba nyakitin Fara lagi, lo habis sama gue."
Gery mundur selangkah, lalu berteriak frustasi, "Sialan!" sebelum akhirnya pergi sambil diikuti ketiga anak buahnya yang sejak tadi hanya diam ketakutan.
Setelah kepergian Gery, anak yang dirundung itu nyaris menangis. "Makasih, Kak ... makasih banget ...."
Beberapa siswa di lorong yang melihat kejadian itu terngaga. Beberapa anak sibuk berbisik. Masih tidak menyangka seorang Digma, anak langganan perundungan Gery sekarang membuat Gery pergi menjauh terlebih dahulu.
Digma hanya mengangguk dan tersenyum kecil, lalu melangkah masuk ke kelas.
Kini di kelas, ia menjadi lebih tenang. Cowok itu menjadi lebih fokus untuk memperhatikan pelajaran setelah Abian siuman dan kesehatannya berangsur membaik.
Tapi kedamaian itu tidak berlangsung lama. Saat pelajaran kedua baru dimulai, seorang guru mengetuk pintu kelas.
"Digma, ikut saya. Kamu dipanggil kepala sekolah."
Seketika ruangan berubah menjadi hening. Tatapan semua orang tertuju pada Digma, beberapa penasaran, beberapa khawatir.
Di ruang kepala sekolah, suasana lebih dingin dari dinginnya suhu AC. Digma duduk sendiri di sofa kulit dwngan tangan menggenggam lutut. Napasnya berat. Hingga tiba-tiba pintu terbuka.
Bukan kepala sekolah, namun ketua yayasanlah yang muncul dari balik pintu.
Heri datang dan langsung duduk dengan pelan di hadapan Digma. Wajahnya datar, namun sorot matanya tajam seperti belati.
"Bapak dengar, kamu mencelakai beberapa orang tadi malam. Benar?" tanyanya lirih tapi mengancam.
Digma menahan diri. "Apakah Gery yang memberitahu Bapak?"
"Tidak penting saya tau dari siapa bukan?"
Digma tersenyum sinis. "Dia menculik seorang wanita, Pak. Siswi sini juga." cowok itu mulai menjelaskan. "Dan saya berusaha menolongnya. Namun pisau yang Gery pegang malah mengenai tangan Fara dan ia hampir kehabisan darah karena ulah anak bapak."
Pak Heri berdiri. Kedua tangannya mengepal.
"Dia hanya tersulut emosi karena kebohongan kamu."
"Tapi itu tetap kejahatan, Pak."
"Lebih jahat kamu yang mencoba mencelakai banyak orang di tempat itu."
"Tempat itu? Bapak tau kan Nirvana Zone itu tempat apa?"
"Lebih baik kamu diam sekarang." Pak Heri mendekat. Sorotnya menembus. "Mulai besok, kamu dikeluarkan dari sekolah ini. Bapak harap kamu dapat pergi dengan tenang dan tidak menyebarkan rumor apapun."