Pukul 6 pagi, sekolah masih sepi. Saat udara dingin masih terasa, Digma sudah tiba di sekolah. Sebenarnya sejak semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkan ucapan Atha. Namun hal itu tak mengurungkan niatnya untuk membuktikan lebih awal ucapan cowok itu. Digma melangkah cepat nyaris berlari menuju ruang pemantauan CCTV. raut wajahnya sangat serius. Jaket hitamnya sedikit berkibar saat dia menabrak beberapa siswa yang baru datang.
"Eh, hati-hati, Bro!" seru salah satu anak.
Digma tak cuh. Ia sedang tak punya waktu lebih untuk sekedar basa-basi. Begitu sampai di depan pintu ruang pemantauan, dia mengintip ke dalam. Petugas CCTV sekolah, Pak Arman, lagi asyik duduk sambil meminum secangkir kopi. Namun tak lama kemudian, pria itu berdiri dan menuju toilet.
Sebuah kesempatan.
Dengan cekatan, Digma masuk. Tangannya langsung cekatan membuka file rekaman hari kamis kemarin. Sete;ah mencoba membuka beberapa file dengan nomor acak, ia pun menemukan gambar yang sama yang menunjukan lapangan utama. Matanya bergerak cepat membaca timeline rekaman. Namun ...
Tidak ditemukan.
Digma mengernyit. Jari-jarinya mengetik ulang perintah pencarian. Tetap nihil. Hanya ada satu rekaman dari pukul 12 malam hingga jam 6 pagi. Sisanya hilang entah ke mana.
"Gila..." Digma mengerang pelan, rahangnya mengeras. Dia tahu pasti ini bukan sebuah kebetulan.
Tangannya mengepal di meja. Satu-satunya bukti yang bisa cowok itu pakai untuk menjatuhkan Gery—lenyap. Dan cowok itu tahu persis siapa dalangnya.
"Benar kata lo,Tha, mereka udah hapus rekaman itu..." gumamnya dengan mata dipenuhi api amarah.
Digma keluar dari ruangan itu dengan langkah tegap, penuh emosi. Ia terus berjalan tanpa memedulikan lorong-lorong sekolah yang kini sudah mulai ramai berdatangan para siswa. Tujuannya kini hanya satu, warung pojok Bu Eya.
Dari kejauhan, cowok itu sudah dapat melihat Gery dan gengnya. Gery sedang duduk santai di bangku panjang dengan rokok terselip di bibirnya. Sementara Alex, Reksa, dan Deta masih sibuk mengobrol. Beberapa anak nakal lain juga sudah nangkring di sana, sibuk minum kopi dan melempar lelucon garing.
Tanpa basa-basi, Digma langsung menarik kerah Gery, memaksa cowok itu berdiri. Membuat beberapa anak buah Gery di belakang mereka berseru kaget dan hendak menyerang Digma balik. Mereka semua terkejut, baru kali ini ada yang berani menyentuh kerah sang penguasa sekolah.
"Anjing lo!" seru Alex mendelik bersiap maju.
Namun Gery mengangkat tangan, memberi kode agar Alex menahan serangannya.
Dagu Gery terangkat tinggi, matanya menatap Digma tajam.
"Kenapa? Lo udah berani sama gue?" tanya Gery, nada bicaranya tetap santai, namun sangat dingin.
Digma mendengus, rahangnya mengeras. "Sampai kapan lo mau jadi anak papi? Kenapa lo selalu sembunyi di belakang bokap lo?"
Gery mengangkat sebelah alis. Masih mencerna ucapan cowok itu.
"Ternyata selama ini lo tuh cuma pecundang!"
Gery tertawa sinis. "Ngga salah denger?" Gery semakin mendekatkan wajahnya. "Perlu gue hajar berapa kali sampai lo mau sujud di kaki gue sekarang?"
Kalimat itu mengundang emosi Digma yang sejak tadi memang sudah di ujung. Ia segera mengepalkan tangannya dan mulai melayangkan tinjuan hingga sebuah sosok muncul dari kejauhan. Fara.
Gadis itu berdiri tak jauh dari mereka. Matanya membulat panik. Dia menggelengkan kepala, berusaha menghentikan pukulan Digma.
Digma menggertak rahangnya kuat. Fara benar. Kalau dia ninju Gery sekarang, semuanya misinya akan berantakan. Gery akan tahu dia jago bela diri. Dan lebih parahnya lagi, bisa-bisa Gery mulai curiga dengan tujuan sebenarnya cowok itu ada di sekolah ini.
Perlahan, Digma melepaskan kerah Gery. Cowok itu mundur satu langkah, matanya masih menatap tajam.
Melihat Digma yang mulai melemah, Alex dan Reksa maju untuk membalas perbuatan Digma.
"Bangsat, lo kira bisa seenaknya main tarik-tarik ketua kita?!"
Mereka hampir maju, hingga tiba-tiba...
"HEI! APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!"
Suara lantang itu datang dari seorang guru yang baru muncul dari arah parkiran.
Digma menarik napas lega. Dia selamat. Setidaknya untuk sekarang.
Dengan sedikit celah, Fara datang dan langsung menarik lengan cowok itu. "Ayo ikut gue!"
Tak ada perlawanan, Digma pun mengikuti Fara masuk ke sekolah, melewati lorong-lorong yang mulai ramai, sampai mereka akhirnya sampai di balkon lantai dua.
Digma bersandar di pagar balkon, menatap kosong ke lapangan sekolah di bawah. Napasnya masih berat, pikirannya masih kacau.
"Jangan bilang... lo gagal dapetin rekamannya?" tanya Fara pelan.
Digma belum mau menjawab. Namun dari ekspresinya, gadis itu sudah tahu jawabannya.
Fara menghela napas panjang, lalu menatap Digma dengan ekspresi kesal. "Tapi tadi itu gila banget Dig!? Lo hampir mukul Gery! Lo pikir kalo lo nonjok dia terus semua bakal kelar?"
Digma masih terdiam.
"Lo tuh ceroboh banget, Dig. Lo tau kan kalo kalian sampai berantem tadi dan Gery sadar lo jago bela diri, dia pasti bakal mulai curiga sama lo. Bisa-bisa dia tau tujuan lo yang sebenernya ada di sini!"
Digma masih membisu. Rahangnya mengeras, matanya berkaca-kaca menahan emosi.
Fara yang tadinya masih ingin berdebat, akhirnya tersadar. Digma bukan marah. Cowok itu hanya sedang kecewa. Menahan kesedihannya.
Dari awal, semua yang cowok itu lakuin cuma buat satu tujuan: menjatuhkan Gery dan membalaskan dendam Abian. Namun sekarang, bukti satu-satunya gagal ia dapatkan. Lagi-lagi, Gery menang.
Fara perlahan melangkah lebih dekat. Tangannya terangkat, lalu dengan lembut, cewek itu mengelus pundak Digma.
"Sorry ... tapi tenang, lo bakal baik-baik aja, Dig," bisiknya pelan. "Lo pasti bisa nemuin bukti lain. Gue janji, gue bakal bantu lo, oke?"
Digma perlahan mendongak, menatap Fara dengan mata yang dipenuhi kesedihan. Tanpa diduga, ia maju ... dan memeluk Fara.
Fara membeku. Jantungnya berdetak kencang. Kehangatan tubuh Digma terasa nyata, membuat gadis itu kehilangan kata-kata. Jari-jarinya mengepal di samping tubuhnya, bingung hendak merespon apa.
Tapi, anehnya ... gadis itu tak menolak dan membiarkan tubuhnya tetap dipeluk.
Hingga tanpa sepengetahuan mereka, dari lantai bawah, seseorang memperhatikan sejak tadi. Cowok itu menyeringai. Senyum jahatnya muncul sebelum akhirnya dia berbalik dan pergi.