Kami mulai menghabiskan lebih banyak waktu di luar apartemen Mayadi. Bukan ke tempat-tempat yang ramai, hanya ke taman kota yang sepi, atau tepi danau di pinggir kota. Di sana, di bawah langit yang luas, aku merasa sedikit lebih lega. Mayadi selalu membawa gitarnya, memetik melodi yang menenangkan, dan aku akan menulis. Bukan lagi tentang Adit, atau "dialog" kami, tapi tentang perasaanku sendiri, tentang duka yang masih ada, dan tentang harapan yang perlahan tumbuh.
"Kau tahu, Lil," kata Mayadi suatu sore, saat kami duduk di tepi danau, memandangi pantulan awan di permukaan air. "Ayah Adit pernah menceritakan sesuatu padaku."
Aku menegang. Ayah Adit. Orang tua yang juga ikut dalam "drama" besar itu. "Apa?" bisikku, berusaha menjaga suaraku tetap datar.
"Dia bilang, Adit itu punya kebiasaan menulis surat untuk orang-orang yang penting baginya," Mayadi memulai, suaranya pelan. "Tapi dia jarang sekali mengirimkannya. Dia menyimpan semuanya di kamar, mungkin karena terlalu takut atau terlalu pemalu untuk mengungkapkannya secara langsung."
Aku menatap Mayadi, rasa penasaran menggelitik. "Surat apa?"
"Surat tentang perasaannya. Tentang impiannya. Tentang penyesalannya," jelas Mayadi. "Ayah Adit bilang, dia pernah menemukan beberapa surat itu, dan itu membuat dia sadar betapa Adit sebenarnya tertekan. Salah satunya... surat untukmu. Dan satu lagi untuk Maya."
Hatiku mencelos. Surat untuk Maya. Pasti itu tentang kehamilan itu. Tapi... surat untukku? Apa isinya? Apakah itu berisi permintaan maaf atas semua kebohongan? Atau mungkin, penjelasan tentang mengapa dia melakukan semua itu? Pikiran tentang "rahasia yang lebih menyakitkan daripada kehilangan itu sendiri" kembali terngiang. Aku menatap Mayadi. "Bagaimana dengan surat-surat itu? Apakah Ayah Adit... menyimpannya?"
Mayadi menggeleng. "Tidak. Ayah Adit bilang, setelah kejadian itu, setelah ia tahu Adit kecelakaan, dan kau dalam kondisi yang seperti ini, ia kembali mencari di kamar Adit. Ia ingin tahu, apa yang terjadi pada anaknya. Dan ia menemukan sebuah tulisan yang berbeda dari surat-surat lain. Sebuah narasi panjang, tentang hidupnya, tentang semua yang ia alami, tentang impian musiknya, tentang Juilliard, dan tentang penyesalannya." Mayadi berhenti, menatapku dalam. "Dan tentang bagaimana ia ingin membebaskan dirinya, dan juga kamu."
"Di mana... di mana surat itu sekarang?" tanyaku, suaraku tercekat.
"Ayah Adit bilang, surat itu ada di dalam buku catatan biru tua," Mayadi berbisik, seolah takut mengganggu keheningan yang sakral. "Dia bilang, Adit memintanya untuk memberikannya padamu jika... jika sesuatu terjadi padanya. Dia ingin kamu tahu kebenarannya, Lil. Bukan hanya dari pihak lain."
Tanganku gemetar. Jadi, buku catatan biru tua itu... yang selama ini menjadi kanvas ilusiku... sebenarnya memang menyimpan kebenaran yang nyata? Bukan dialog ajaib yang kuciptakan sendiri, melainkan narasi utuh dari Adit? Rasa campur aduk itu kembali menyerbu. Rasa lega, karena ada "nyata" di balik obsesiku. Rasa sakit, karena kebenaran itu pasti akan menghancurkan.
"Aku... aku ingin melihatnya," kataku, tekad mulai tumbuh di hatiku. Aku harus menghadapi ini. Tidak ada lagi pelarian.
Mayadi mengangguk. "Suatu hari nanti. Saat kamu siap."
Seolah membuktikan kesiapanku, hari-hari berikutnya Mayadi dan aku semakin terikat. Dia adalah kekasih yang sempurna. Dia tidak hanya menjadi pendengar yang baik, tetapi juga pendorong. Dia membantuku menemukan kembali gairah bermusikku, yang sempat padam karena bayangan Adit. Kami menghabiskan berjam-jam di studio musik, Mayadi dengan gitarnya, dan aku dengan lirik-lirik baruku.
"Lirik ini... ini kuat sekali, Lily," katanya suatu malam, membaca hasil tulisanku. "Ini tentang kebangkitan, tentang menemukan cahaya setelah kegelapan."
Aku tersenyum tipis. "Itu karena kamu," kataku, menatapnya. "Kamu adalah cahayaku."
Wajah Mayadi merona. Ia mendekat, tangannya meraih pipiku. Matanya menatapku dalam, penuh kasih sayang. Ia adalah sosok yang begitu sempurna, begitu mendukung, begitu mencintai.
"Aku mencintaimu, Lily," bisiknya, matanya menatapku dalam, penuh cinta. Tatapan itu terasa manis, penuh kehangatan, seolah semua kegelapan yang telah kulewati mulai memudar digantikan oleh cinta Mayadi.
Pagi-pagi di suatu hari yang cerah, Mayadi membangunkanku dengan semangat yang membara.
"Lily! Kamu harus lihat ini!" serunya, tangannya memegang dua amplop tebal.
Jantungku berdebar. Amplop-amplop itu. Aku tahu apa artinya.
"Ini... ini dari Harvard!" kata Mayadi, matanya berbinar. Ia menyerahkan amplop dengan lambang universitas yang kukenal. Tanganku gemetar saat membukanya.
Terpampang di sana, kata-kata yang selalu kuimpikan: "Kami sangat senang untuk memberi tahu Anda bahwa Anda telah diterima di Harvard College..."
Aku tidak bisa menahan pekikan kegembiraan. Aku berhasil! Aku berhasil masuk Harvard! Impian yang sempat kurasa hancur, impian yang Adit bantu bangun bersamaku, kini menjadi kenyataan. Aku melompat memeluk Mayadi, air mata kebahagiaan membanjiri wajahku.
"Kita berhasil, Mayadi! Kita berhasil!" seruku. Aku tahu dia yang banyak membantuku dengan personal statement itu.
Mayadi membalas pelukanku erat. "Kita berhasil, Lil. Kamu berhasil."
Lalu, giliran amplopnya. Mayadi membuka amplop kedua, dan matanya membulat. "Ini... ini dari Berklee!"
Ia menarik napas, lalu membaca keras-keras. "Kami sangat senang mengumumkan bahwa Anda telah diterima di Berklee College of Music dengan beasiswa penuh!"
Giliran Mayadi yang memekik kegembiraan. Beasiswa penuh! Itu adalah impian terbesarnya, untuk bisa belajar musik di institusi terbaik tanpa membebani keluarganya. Kami berdua melompat-lompat di apartemen, merayakan kemenangan ganda ini. Ini adalah puncak kebahagiaan.
Namun, di tengah euforia itu, ada sedikit keraguan yang menyelinap di benak Mayadi. Aku melihatnya. Ketika kami duduk, Mayadi tiba-tiba terdiam, menatap dua surat penerimaan itu.
"Ada apa?" tanyaku, menyadari perubahan ekspresinya.
Mayadi menghela napas. "Lily... ini memang impianmu, ini yang kamu perjuangkan." Ia memandangku, tatapannya dipenuhi beban yang berat. "Aku tahu kamu sudah sangat terikat dengan Harvard, Lil. Terutama karena Adit."
Aku mengangguk. "Tapi itu juga impianku, Mayadi. Aku sudah jatuh cinta pada Harvard bahkan sebelum Adit."
"Aku tahu," katanya lembut. "Tapi... aku juga tahu beban yang Harvard bawa bersamamu. Beban kenangan Adit. Beban janji yang kamu pikir harus kamu tepati. Terutama... beban rahasia itu."
Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Aku tidak ingin kamu masuk ke sana dan setiap hari teringat pada semua hal pahit itu, Lil. Aku tidak ingin kamu terus terperangkap dalam bayangan masa lalu yang menyakitkan. Kamu butuh awal yang benar-benar baru. Yang bersih."
Hatiku mencelos. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Dan aku juga... aku tidak ingin kamu merasa bersalah jika suatu hari kamu harus memilih antara aku dan Harvard," bisik Mayadi, tatapannya tulus. "Aku ingin kamu bebas dari beban itu. Aku akan membiarkan deadline pendaftaran Harvard-mu terlewat."
Ia memandang surat penerimaan Harvardku, lalu surat beasiswa penuh Berklee-nya. "Ini adalah impianku yang murni, Lily. Aku akan pergi ke Berklee. Dan kamu... kamu bebas memilih jalanmu sendiri, tanpa beban dari siapapun."
Hatiku hancur sekaligus terharu. Mayadi rela melepaskan kesempatan untuk melanjutkan impian Harvard-ku, demi kebahagiaanku. Dia sengaja akan membiarkan deadline pendaftaran Harvard-ku terlewat, agar aku tidak terikat pada "mimpi" yang dibangun di atas kebohongan Adit. Ini adalah bentuk cinta yang paling murni, sebuah pengorbanan yang begitu besar.
"Aku mencintaimu, Mayadi," bisikku, air mataku mengalir deras. Ini adalah cinta yang berbeda. Cinta yang membebaskan, bukan mengikat. Cinta yang memahami dan merelakan, bukan menuntut.
Mayadi tersenyum, menyeka air mataku dengan ibu jarinya. "Aku lebih mencintaimu, Lil. Dan aku akan selalu di sini untukmu, tidak peduli jalan mana yang kamu pilih. Ini adalah hadiah dariku. Hadiah untuk kebebasanmu."
Dia memelukku erat, dan aku menangis di bahunya. Mayadi telah menjadi pahlawan tak terduga, kekasih yang tulus, dan orang yang paling rela berkorban demi kebahagiaanku. Dia adalah kompas yang tidak pernah patah.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"