Waktu terus berjalan, melebur menjadi satu. Aku kehilangan hitungan hari, tenggelam dalam kabut duka yang tipis namun menyesakkan. Hari-hariku di apartemen Mayadi terasa seperti lukisan surealis, di mana batas antara realitas dan ilusi begitu kabur. Aku tahu semua "dialog" dengan Adit, surat-surat, bahkan pil di kotak lusuh itu, hanyalah bagian dari mimpi panjangku. Tapi rasa sakit yang kurasakan, rasa pengkhianatan itu, terasa begitu nyata.
Mayadi adalah satu-satunya yang menghubungkanku dengan "kenyataan" yang kupikir aku tinggali. Ia tak pernah lelah. Setiap pagi ia membangunkanku dengan secangkir teh hangat, baunya memenuhi seluruh ruangan. Setiap malam, ia duduk di sampingku, membaca buku atau hanya menemaniku dalam diam, sampai aku tertidur. Ia tak pernah menuntut, tak pernah menghakimi. Hanya ada dukungan murni yang mengalir darinya, tak terhingga.
"Kamu harus makan, Lily," katanya suatu sore, membawakan semangkuk nasi dan lauk sederhana. Aku hanya menatapnya kosong. Nafsu makanku mengering bersama air mataku.
"Aku tidak lapar," jawabku pelan.
"Jangan menyiksa dirimu sendiri," ia duduk di sisi ranjang. "Kamu sudah melewati banyak hal. Kamu butuh energi untuk sembuh." Matanya menatapku lurus, penuh kekhawatiran. Ada semacam tekad di sana, tekad untuk menarikku kembali dari jurang yang terus mengancamku.
"Untuk apa?" bisikku. "Untuk menghadapi kenyataan bahwa aku mencintai seorang pembohong? Bahwa sahabatku mengkhianatiku? Bahwa semua yang kubangun adalah ilusi?"
Mayadi menghela napas panjang. Ia mengambil mangkuk itu dan mulai menyuapiku, perlahan. "Bukan untuk itu, Lil. Untuk menemukan dirimu. Untuk melihat bahwa ada hal-hal nyata yang tersisa di dunia ini. Aku ada di sini. Itu nyata."
Setiap suapan terasa hambar, tapi aku memaksakan diri. Suapan dari Mayadi terasa berbeda. Ada kehangatan yang merambat dari sendok itu, menembus mati rasaku. Dia tidak akan menyerah padaku. Aku tahu itu.
Minggu-minggu berlalu. Aku mulai bisa bangkit dari ranjang. Aku mulai bisa mandi sendiri. Bahkan, aku mulai bisa berbicara lebih banyak dengan Mayadi, meskipun sebagian besar tentang hal-hal remeh, tentang musik, tentang buku-buku yang ia baca. Aku masih menghindari topik Adit, Maya, dan semua pengungkapan pahit itu. Terlalu sakit.
Suatu malam, saat Mayadi memainkan melodi baru di gitarnya, ia berhenti. "Lily," katanya, suaranya sedikit ragu. "Aku tahu ini bukan saatnya, tapi... lomba Jeopardy sudah selesai."
Aku hanya mengangguk, tanpa minat. Aku tahu itu. Lomba itu, dan timku yang menyedihkan, pasti sudah hancur.
"Tim kita... gagal total," Mayadi tersenyum miris. "Tanpa kamu, kami tidak ada apa-apanya. Michael dan Yessi... mereka saling menyalahkan."
Aku hanya menghela napas. Tidak ada kejutan. Tidak ada penyesalan. Semua itu terasa begitu jauh, bagian dari kehidupan lama yang tak ingin kuingat.
"Michael... dia sempat mencarimu," Mayadi melanjutkan, sedikit hati-hati. "Dia terlihat... menyesal. Mungkin dia sadar kata-katanya keterlaluan."
"Aku tidak peduli," bisikku, tatapanku kosong. Michael dan Yessi adalah bagian dari ilusi yang kuhancurkan. Mereka tidak penting lagi.
Mayadi mengangguk, tidak memaksa. Ia melanjutkan petikan gitarnya, melodi yang kini terasa lebih cerah, penuh harapan. Aku mendengarkan, dan entah mengapa, melodi itu menenangkan badai dalam diriku.
"Lily," Mayadi tiba-tiba berkata, nadanya serius. "Aku sudah membaca jurnalmu. Semuanya."
Aku menegang. Ini dia. Momen yang kutakutkan. Momen ketika ia akan mengungkit semua kegilaanku, semua halusinasi yang kuciptakan.
"Aku... aku minta maaf," kata Mayadi, matanya menatapku lurus. "Aku minta maaf karena ikut berpura-pura percaya dengan 'pesan' Adit itu. Tapi aku harus. Demi kamu."
"Jadi kamu tahu segalanya?" tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar.
Mayadi mengangguk. "Aku tahu betapa kamu mencintai Adit, Lil. Betapa dia adalah duniamu. Dan betapa hancurnya kamu saat dia pergi. Aku juga melihat bagaimana kamu membangun kembali dirimu melalui 'dialog' itu. Betapa kamu mencari 'kunci' dan 'galaksi' itu."
Ia menghela napas. "Juga... aku tahu tentang Maya. Tentang kehamilan itu. Itu... itu pasti pukulan yang sangat berat."
Aku menatapnya. Dia tahu. Dia tahu semua kebusukan itu. Namun, tatapannya tidak menghakimi. Hanya ada kesedihan dan pengertian.
"Aku... aku sempat berpikir, kenapa Adit tidak menceritakan semua itu padaku?" Mayadi melanjutkan, suaranya pelan. "Kami berteman baik. Tapi... aku mengerti. Dia pasti sangat malu. Dan dia pasti ingin melindungimu dari rasa sakit."
"Melindungi?" Aku mendengus pahit. "Dengan kebohongan? Dengan membiarkanku hidup dalam ilusi?"
"Mungkin dia tidak punya pilihan lain," Mayadi menatapku dalam. "Hidup memang rumit, Lil. Kadang, orang berbuat kesalahan fatal, dan itu mengubah seluruh jalan hidup mereka. Seperti Adit yang dipaksa ke Harvard, meninggalkan Juilliard. Dia juga korban dari kesalahannya sendiri, dan dari ekspektasi keluarganya."
Kata-kata Mayadi seolah membuka dimensi baru dalam pemahamanku. Adit, si pecundang dalam mimpiku, si pembohong. Dia juga... korban. Korban dari pilihannya, dari tekanan. Apakah dia benar-benar ingin aku tahu semua itu? Atau dia hanya ingin aku terus percaya pada ilusi kesempurnaannya?
"Jurnal itu... itu adalah peta, Lil," Mayadi berkata, meraih buku catatan biru tua yang kini selalu tergeletak di meja samping. "Peta menuju dirimu yang sebenarnya. Semua yang kamu alami, semua yang kamu tulis, itu adalah perjalananmu untuk menemukan kekuatanmu sendiri, tanpa perlu bergantung pada siapa pun."
Mayadi memegang tanganku. "Aku tahu kamu hancur. Aku tahu kamu merasa dikhianati. Tapi percayalah, Lily. Ada cahaya di ujung terowongan. Dan aku akan menemanimu, sampai kamu menemukannya."
Di hari-hari berikutnya, keberadaan Mayadi menjadi semakin krusial. Ia bukan lagi sekadar penyelamat, melainkan pahlawan yang sabar, yang menuntunku perlahan kembali ke dunia. Ia mulai mendorongku, sedikit demi sedikit.
"Bagaimana kalau kita coba menulis lirik lagi?" tanyanya suatu sore, menyerahkan buku catatan dan pena.
Aku ragu. Setelah semua ini, setelah mengetahui bahwa "dialog" di jurnal itu hanya khayalanku, aku merasa jijik pada diriku sendiri.
"Ini bukan tentang Adit lagi, Lil," Mayadi berkata, seolah membaca pikiranku. "Ini tentang kamu. Tentang bagaimana kamu merespons semua ini. Bagaimana kamu mengubah luka jadi kekuatan."
Aku menatap pena di tanganku. Memang. Ini bukan tentang Adit. Ini tentang aku. Aku mulai menulis, awalnya hanya coretan tak bermakna, lalu perlahan, kata-kata mulai mengalir. Kata-kata tentang duka, tentang kebohongan, tentang rasa sakit, tapi juga tentang secercah harapan yang mulai Mayadi tanamkan dalam hatiku.
Mayadi membaca lirik itu, senyum tipis terukir di bibirnya. "Indah, Lily. Sangat indah. Kamu benar-benar seorang penulis."
Kata-kata itu, diucapkan dengan tulus oleh Mayadi, terasa lebih berarti daripada pujian apa pun dari Adit. Mayadi melihatku. Mayadi percaya padaku. Mayadi tidak melihatku sebagai ilusi.
Hubungan kami perlahan berubah. Dari sekadar penyelamat dan yang diselamatkan, menjadi dua jiwa yang saling menemukan di tengah kekacauan. Ia menemaniku melewati malam-malam tanpa tidur, memelukku saat mimpi buruk datang menyerbu, dan menepuk punggungku saat aku menangis tanpa suara. Dia adalah bayangan yang menenangkan, pelabuhan di tengah badai. Aku mulai menyadari, dia lebih dari sekadar teman band.
Ia mulai bercerita tentang mimpinya. Tentang Berklee College of Music, sebuah universitas musik impiannya.
"Aku sudah mendaftar," katanya suatu malam, matanya berbinar. "Sejak dulu aku ingin ke sana. Musik adalah hidupku."
Aku menatapnya, ada kekaguman di hatiku. Dia punya mimpi. Mimpi yang nyata. Tidak seperti Adit, yang terpaksa menyerah pada mimpinya.
"Aku harap kamu berhasil," kataku tulus.
"Aku juga akan bantu kamu dengan Harvard-mu, Lil," katanya, tersenyum kecil. "Meskipun aku tahu Adit memaksamu, tapi itu impianmu juga kan? Kita akan menulis personal statement itu bersama. Yang kali ini, benar-benar dari hatimu. Bukan karena ilusi."
Kata-kata itu menyentuhku. Dia mengerti. Dia tahu betapa aku mencintai Harvard, bahkan sebelum Adit. Dan dia tidak akan membiarkan kebohongan masa lalu merenggut impian itu dariku.
Aku mulai membiarkan Mayadi masuk lebih dalam ke dalam duniaku. Aku mulai membiarkannya melihat kerapuhanku, ketakutanku, dan harapanku. Dan semakin aku mengenalnya, semakin aku menyadari betapa tulus dan baiknya dia. Dia adalah bintang di malam yang paling gelap, kompas yang tidak akan pernah patah.
Perlahan, rasa cintaku pada Mayadi tumbuh. Bukan cinta yang membabi buta seperti pada Adit, tapi cinta yang tumbuh dari pengertian, ketulusan, dan pengorbanan.
Di malam-malam itu, saat aku memejamkan mata, aku merasa diriku tenggelam lebih dalam lagi. Bukan ke dalam tidur biasa, melainkan ke dalam sebuah kekosongan yang damai, seolah duniaku mengecil, terpisah dari segala yang ku kenal. Aku merasa seolah tubuhku melayang, terbebas dari gravitasi bumi, hanya ada suara detak jantung yang samar dan bisikan angin. Perasaan itu... itu tidak menakutkan. Itu justru terasa seperti pelukan, sebuah janji bahwa aku akan aman di sana, di tempat yang jauh dari semua rasa sakit dan kebohongan.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"