"Aku tidak tahu harus merasa apa, Mayadi," bisikku, air mata kembali menetes.
Mayadi mendekat, merangkulku erat. "Aku di sini, Lily. Aku akan selalu ada untukmu. Kita akan melewati ini bersama." Pelukannya terasa hangat, sedikit menenangkan badai dalam diriku. Untuk sesaat, aku merasa sedikit aman dalam kekacauan ini.
Tangisanku pecah lagi, kali ini bukan tangisan amarah, melainkan tangisan kehancuran yang total. Aku mencengkeram erat kemeja Mayadi, menyalurkan seluruh kekosongan yang kurasakan. Bahuku bergetar hebat. Mayadi tak berkata apa-apa, hanya membiarkanku melepaskan semuanya. Ia mengelus rambutku pelan, sebuah gerakan yang begitu menenangkan. Seolah di tengah badai pengkhianatan dan kebohongan ini, hanya dia satu-satunya jangkar yang tersisa.
Lama kami seperti itu, hingga isakanku mereda menjadi napas tersengal-sengal. Aku menjauhkan diri sedikit, menatap Mayadi dengan mata sembab. "Maaf," bisikku, malu.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Lil," jawab Mayadi lembut, mengusap bekas air mata di pipiku. Jemarinya dingin, namun sentuhannya begitu tulus. "Ini berat. Aku tahu itu."
"Aku merasa... bodoh," kataku, suaraku hampa. "Aku percaya semua keajaiban itu. Aku membiarkan diriku ditipu oleh halusinasi. Dan... dan kalian semua tahu. Kalian semua ikut bermain peran."
Raut wajah Mayadi berubah sendu. "Kami tidak punya pilihan, Lily. Mama-mu... dia yang meminta kami. Dia bilang kamu sangat hancur, dia takut kamu melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Dia menemukan pil-pil itu, dan dia menduga kamu berhalusinasi. Kami hanya ingin kamu baik-baik saja."
"Pil?" Aku menatapnya. "Pil yang kumaksud di kotak itu?"
Mayadi mengangguk. "Itu pil yang Adit gunakan. Dia sangat tertekan di Jakarta. Tekanan dari orang tuanya untuk ikut bisnis keluarga, ditambah dia ingin masuk Juilliard, tapi tidak diizinkan. Dia juga bermasalah di sekolah. Pil itu sempat membantunya tidur, tapi efek sampingnya... menyebabkan dia jadi mudah gelisah dan halusinasi ringan."
Aku menatapnya kosong. Jadi, Adit juga... sama sepertiku. Mencari pelarian dalam obat. Paralel yang pahit itu menghantamku. Dua jiwa yang tersesat, mencari ketenangan dalam cara yang salah.
"Dan... bagaimana dengan Maya?" Aku memberanikan diri bertanya. "Apa... apa dia sungguh hamil? Apa itu semua nyata?"
Mayadi menghela napas panjang, sorot matanya ragu. "Aku... aku tidak tahu soal itu, Lily. Aku bersumpah. Maya tidak pernah menceritakan apa pun padaku tentang kehamilannya. Aku baru tahu beberapa menit yang lalu. Tadi, saat kamu menelepon Maya dan memaki-makinya, Maya langsung meneleponku. Dia histeris, bilang dia sudah menceritakan semuanya padamu, tentang kehamilannya dengan Adit, dan betapa paniknya dia karena kamu menghilang. Itu yang membuatku nekat melacak ponselmu lewat GPS."
Ia mengusap wajahnya, terlihat lelah. "Aku benar-benar tidak tahu ada rahasia itu. Dan aku tidak tahu mengapa Adit dan Maya merahasiakannya bahkan dariku."
Aku menatapnya, mencari kebohongan di matanya, tapi yang kutemukan hanya ketulusan dan keprihatinan. Rasa sakit dan marahku perlahan berganti kebingungan. Terlalu banyak kebenaran yang menampar, terlalu banyak ilusi yang runtuh.
"Aku... aku tidak tahu harus merasa apa, Mayadi," bisikku, air mata kembali menetes.
Mayadi mendekat, merangkulku erat. "Aku di sini, Lily. Aku akan selalu ada untukmu. Kita akan melewati ini bersama." Pelukannya terasa hangat, sedikit menenangkan badai dalam diriku. Untuk sesaat, aku merasa sedikit aman dalam kekacauan ini.
Kelelahan yang luar biasa menyerbu. Aku merasa seluruh energiku terkuras habis. Rasanya seperti baru saja berlari maraton tanpa henti. Mayadi melihat kondisiku.
"Kamu butuh istirahat, Lil," katanya lembut, membantuku berdiri. Ia memapahku ke kamar tidurnya. Kamar itu rapi dan bersih, dengan poster band-band indie di dinding. Ia menyelimutiku. "Tidurlah. Aku akan ada di sini."
Aku tidak tahu berapa lama aku terlelap. Mungkin hitungan jam, mungkin sehari penuh. Ketika aku terbangun, langit-langit kamar Mayadi masih tampak sama. Aku menatap jam dinding. Sudah malam. Perutku melilit kelaparan.
Mayadi sedang duduk di kursi dekat jendela, bermain gitar akustik. Senar-senarnya mengeluarkan melodi yang sendu namun menenangkan, seperti bisikan angin di antara pepohonan. Melodi yang familiar, melodi yang pernah kutulis di jurnal.
"Kamu sudah bangun?" Mayadi tersenyum kecil, meletakkan gitarnya. "Aku sudah membuatkan sup. Makanlah, kamu pasti lapar."
Aku mengangguk, mencoba bangkit. Setiap sendok sup terasa menghangatkan tenggorokanku, memberi energi pada tubuhku yang lemas. Mayadi duduk di depanku, memperhatikanku makan. Tak ada lagi pertanyaan, tak ada lagi tekanan. Hanya ada keheningan yang nyaman.
Di hari-hari berikutnya, apartemen Mayadi menjadi tempat perlindunganku. Aku tidak ingin pulang. Aku tidak ingin menghadapi siapa pun. Setiap panggilan dari Maya kuabaikan. Setiap pesan dari Bu Arini juga. Aku seperti menghilang dari dunia.
Mayadi tidak pernah memaksaku bicara. Ia hanya ada di sana. Ia memasak untukku, membiarkanku tidur, menonton film bersamaku, atau hanya duduk diam sementara ia bermain gitar. Ia adalah bayangan, kehadiran yang menenangkan, tanpa tuntutan. Ia tidak menanyakan tentang Harvard, tentang Michael, tentang Yessi, atau tentang lomba Jeopardy yang pasti sudah terlewatkan. Ia hanya fokus pada kesembuhanku.
Pelan-pelan, luka di hatiku mulai mengering, meski bekasnya akan selamanya ada. Aku mulai menerima kenyataan pahit itu. Adit telah meninggal. Dan semua "keajaiban" bersamanya hanyalah ilusi. Sebuah mekanisme pertahanan yang diciptakan otakku untuk mengatasi rasa sakit.
😭😭😭😭
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"