Kegelapan menelanku. Satu langkah lagi dan semua akan berakhir. Namun, sesaat sebelum tubuhku sepenuhnya condong ke depan, sebuah tangan kuat mencengkeram lenganku.
"LILY! HENTIKAN!" Suara itu. Mayadi.
Aku tersentak. Dia di sini? Bagaimana bisa? Aku berusaha melepaskan diri, memberontak. "Lepaskan aku, Mayadi! Aku tidak mau hidup lagi! Semua ini bohong!"
"Tidak! Aku tidak akan melepaskanmu!" Mayadi menarikku dengan sekuat tenaga, tubuhnya bergetar. "Aku tidak akan membiarkanmu mati! Kalau kamu melompat, aku juga akan melompat!"
Ancaman itu, tatapan matanya yang penuh keputusasaan, menghentikan gerakanku. Tubuhku limbung, sedikit terperosok ke tepi jurang, namun cengkeraman Mayadi tak mengendur. Ia menarikku kembali, dan kami berdua ambruk di tanah, terengah-engah. Lutut Mayadi berdarah akibat gesekan dengan bebatuan.
"Kita harus pergi dari sini, Lily. Kita obati lukamu," suara Mayadi serak, napasnya memburu. Ia menarikku berdiri, memapahku, dan membawaku menuju mobilnya. Tidak ada bantahan dariku. Aku terlalu lelah, terlalu hancur untuk menolak.
Mayadi mengemudi dengan cepat, langsung membawaku ke apartemennya. Suasana di dalam mobil terasa mencekam, hanya diisi oleh suara napas kami yang berat dan isakan pelan dariku.
Begitu sampai di apartemen Mayadi, ia langsung mendudukkanku di sofa. Wajahnya pucat, namun tatapan matanya tegas. Ia mengambil kotak P3K dan mulai mengobati lukaku yang tak kusadari ada. Lalu kemudian ia mengobati lukanya.
"Mayadi," suaraku bergetar. "Kenapa... kenapa kalian semua berbohong padaku? Kenapa kamu ikut bermain drama ini?"
Mayadi menghela napas panjang, tatapannya beralih padaku. Ada kesedihan yang mendalam di matanya. "Aku tidak tahu harus memulai dari mana, Lily. Aku minta maaf. Sangat, sangat minta maaf. Aku tidak pernah ingin kamu terluka. Aku... aku hanya ingin melindungimu."
"Melindungiku? Dengan kebohongan?! Sejak kapan kamu tahu?!" Emosiku kembali meledak.
Mayadi terdiam sejenak, mengumpulkan kata-kata. "Aku tahu Lily... sejak... sejak Mama-mu berbicara dengan kami semua. Semuanya dimulai dari sana."
Mayadi memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali, tatapannya kini lebih sendu. "Waktu itu, beberapa minggu setelah Adit meninggal dan kamu mulai mengisolasi diri, Mama-mu memanggilku, Maya, dan juga keluarga Adit. Jujur, kami semua tidak mengerti kenapa. Tapi beliau terlihat sangat cemas."
(Flashback: Ruang Tamu Keluarga Lily)
Ibu Lily tampak jauh lebih kurus dan lelah. Di depannya duduk Mayadi, Maya, dan Ayah serta Ibu Adit. Suasana tegang menyelimuti ruangan.
"Terima kasih sudah mau datang," Ibu Lily memulai, suaranya parau. "Ada hal penting yang harus saya sampaikan. Ini tentang Lily."
Ia mengambil napas dalam, lalu melanjutkan, "Beberapa waktu belakangan, saya melihat ada hal aneh pada Lily. Dia sering berbicara sendiri di kamarnya. Terutama saat menulis di jurnal biru tua Adit." Ibu Lily mengeluarkan sebuah jurnal usang bersampul biru tua yang familiar di mataku. "Dia menulis... dan kemudian dia tersenyum, atau menangis, seolah-olah ada seseorang yang membalas tulisannya di jurnal itu. Dia bahkan sering melangkah beberapa baris, menyisakan ruang kosong, seolah menunggu balasan."
Maya dan Mayadi saling pandang, raut terkejut dan bingung di wajah mereka. Ibu Adit menggenggam tangan suaminya, wajahnya menunjukkan keprihatinan.
"Awalnya saya pikir itu hanya cara dia berduka, mencari pelampiasan. Tapi ini sudah berlebihan. Lily... dia mengonsumsi sesuatu." Ibu Lily mengeluarkan dua botol pil kecil dari balik meja. Satu botol kosong, yang lain masih berisi beberapa pil. "Ini pil penenang. Dan ini pil tidur. Saya menemukan bekas-bekasnya di kamarnya, tersembunyi. Saya curiga, apa yang dia alami di jurnal itu... adalah halusinasi."
Mayadi menatap pil-pil itu, kemudian beralih ke jurnal. Ia teringat bagaimana Lily begitu yakin Adit membalas pesannya. Bagaimana Lily menunjukkan jurnal itu pada mereka, dan mereka hanya terkesima, tidak menduga ada hal yang lebih dalam.
Ibu Lily melanjutkan, suaranya bergetar. "Saya tahu ini sulit. Tapi saya mohon, untuk kesehatan mental Lily, untuk kesembuhannya, kita harus ikut bermain peran. Kita harus berpura-pura percaya dengan 'pesan' dari Adit itu. Karena jika tidak, saya takut dia akan hancur lebih parah."
Maya menutupi mulutnya, matanya berkaca-kaca. Ibu Adit mengangguk pelan, air mata menetes di pipinya. "Kami mengerti, Bu. Kami akan lakukan apa saja demi Lily."
"Mayadi, Maya," Ibu Lily menatap kami berdua. "Saya mohon, bantu dia tetap stabil. Kita tidak tahu sampai kapan ini akan berlangsung, tapi kita harus menjaganya. Mungkin dengan begitu, perlahan dia akan kembali ke kenyataan."
(Flashback Berakhir)
Mayadi menatapku, matanya kini dipenuhi kesedihan yang mendalam. "Aku sangat menyesal, Lily. Aku tahu ini menyakitkan. Tapi kami semua... kami hanya ingin kamu baik-baik saja."
"Jadi kalian semua tahu... dan kalian membiarkanku hidup dalam kebohongan ini?" Aku memejamkan mata, kepalaku pening. "Lalu pil di kotak itu? Yang di rumah Adit?"
Mayadi menghela napas. "Pil itu... Adit yang mengonsumsinya. Jauh sebelum dia pindah ke sini. Dia sudah punya masalah kecemasan dan insomnia karena tekanan dari orang tuanya di Jakarta, terutama terkait ambisinya di musik yang tidak direstui dan performanya di sekolah. Itu sebabnya dia sering bolos dan membuat masalah. Pil itu sempat membantunya tidur, tapi efek sampingnya... menyebabkan dia jadi mudah gelisah dan halusinasi ringan."
"Ayah Adit pernah menemukan pil itu, sangat marah, dan membuangnya di rumah lama mereka, tempat Adit sering menyendiri untuk bermusik," Mayadi melanjutkan. "Kotak itu... mungkin karena sudah lama tergeletak di sana, terekspos cuaca, jadi terlihat lusuh dan lapuk. Kejadian itu... sekitar setahun atau satu setengah tahun yang lalu, sebelum dia pindah. Dia memang sangat tertekan saat itu."
Aku terpaku. Jadi, Adit juga... sama sepertiku. Mencari pelarian dalam pil. Rasa sesak kembali mendera.
"Tapi Mayadi," kataku, suaraku nyaris tak terdengar. "Kamu tidak tahu tentang Maya? Tentang kehamilan itu?"
Mayadi menggeleng, tatapan matanya tulus. "Aku bersumpah demi apapun, Lily. Aku tidak tahu tentang itu. Sama sekali tidak. Aku baru tahu beberapa menit yang lalu. Tadi, saat kamu menelepon Maya dan memaki-makinya, Maya langsung meneleponku. Dia histeris, bilang dia sudah menceritakan semuanya padamu, tentang kehamilannya dengan Adit, dan betapa paniknya dia karena kamu menghilang. Itu yang membuatku nekat melacak ponselmu lewat GPS."
Ia mengusap wajahnya, terlihat lelah. "Aku benar-benar tidak tahu ada rahasia itu. Dan aku tidak tahu mengapa Adit dan Maya merahasiakannya bahkan dariku."
Aku menatapnya, mencari kebohongan di matanya, tapi yang kutemukan hanya ketulusan dan keprihatinan. Rasa sakit dan marahku perlahan berganti kebingungan. Terlalu banyak kebenaran yang menampar, terlalu banyak ilusi yang runtuh.
"Aku... aku tidak tahu harus merasa apa, Mayadi," bisikku, air mata kembali menetes.
Mayadi mendekat, merangkulku erat. "Aku di sini, Lily. Aku akan selalu ada untukmu. Kita akan melewati ini bersama." Pelukannya terasa hangat, sedikit menenangkan badai dalam diriku. Untuk sesaat, aku merasa sedikit aman dalam kekacauan ini.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"