Ponselku terlepas dari genggaman, jatuh di rerumputan basah. Kata-kata Maya, pengakuan yang memilukan, kini berputar di kepalaku, menari-nari bersama potongan-potongan surat yang baru saja kubaca. Adit. Maya. Harvard. Juilliard. Kebohongan. Pengkhianatan. Dan aku... aku yang selama ini hidup dalam ilusi, dibangun di atas dasar pasir yang rapuh.
Aku terduduk di bangku kayu usang di bawah pohon mangga tua. Napasku tersengal-sengal, seperti ada beban raksasa yang menghimpit dadaku. Tanganku gemetar saat kuraih kembali surat-surat itu, membacanya lagi dan lagi, seolah mencari celah, secercah harapan bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Tapi setiap kata, setiap kalimat, adalah belati yang menusuk lebih dalam.
Menggugurkan kandungan? Demi masa depan? Masa depan siapa? Masa depanku yang hancur berkeping-keping ini? Masa depan Adit yang dipaksa menyerah pada mimpinya? Atau masa depan Maya, yang kini terbebani rahasia gelap ini bersamaku? Air mata mengalir deras, membasahi wajahku, bercampur dengan dinginnya udara sore.
Aku memejamkan mata, mencoba menyingkirkan semua ini, tapi kenangan justru datang menyerbu. Kilasan-kilasan kebersamaan dengan Adit, tawa kami, janji-janji yang terucap di bawah bintang. Semua terasa begitu nyata, begitu indah, namun kini berbalik menjadi cambuk yang menyakitkan. Bagaimana bisa aku begitu buta? Bagaimana bisa aku mencintai seorang pembohong, seorang pecundang, sekuat ini?
Michael benar. Michael yang selalu terlihat sinis, yang selalu menatapku dengan tatapan penuh pertanyaan, seolah ia tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Dan sekarang, aku tahu. Ia tahu semua kebusukan ini. Ia mencoba mengingatkanku, tapi aku terlalu dibutakan oleh cinta dan ilusi.
Aku merasa bodoh. Sangat bodoh. Bagaimana mungkin aku percaya pada tulisan tangan di jurnal itu? Bagaimana mungkin aku mengira ada keajaiban, ada "realisme magis" yang menghubungiku dengan Adit setelah ia tiada? Itu semua hanyalah rekaanku sendiri. Efek dari pil-pil yang kutemukan di dasar kotak itu. Obat penenang. Obat tidur. Mungkin kombinasinya menciptakan halusinasi ini, memberiku harapan palsu di tengah kehampaan.
Dan Maya. Sahabatku. Orang yang selama ini kuduga mendukungku, menemaniku melewati masa sulit. Dia tahu. Dia tahu semua. Dia ikut bermain peran, mengangguk setuju ketika aku menceritakan "keajaiban" tulisan di jurnal, ikut terkesima seolah-olah itu nyata. Begitu juga Mayadi. Dan keluarga Adit.
Sebuah gambaran lain melintas di benakku: Ibu Adit. Wajahnya yang sendu namun penuh kasih sayang, senyum tipisnya saat aku bercerita tentang "pesan" Adit yang terakhir untuk Rama. Aku mengingat raut wajah mereka yang terpukau, tatapan mata yang penuh pengertian, dan ucapan terima kasih Ibu Adit yang begitu tulus. Sekarang, aku tahu. Mereka prihatin. Mereka semua tahu kondisi mental dan emosionalku. Mereka hanya berpura-pura untuk menenangkan hatiku yang remuk. Aku melihat mereka semua seolah-olah mereka adalah bagian dari konspirasi besar ini, yang tujuannya adalah melindungiku dari kebenaran yang tak tertahankan.
Rasa sakit itu berubah menjadi amarah yang membakar. Amarah pada Adit yang telah menipuku, pada Maya yang telah mengkhianatiku, pada diriku sendiri yang begitu rapuh hingga terjebak dalam ilusi. Air mataku mengering, digantikan oleh kekosongan yang dingin.
Aku bangkit, tubuhku terasa kaku. Kotak berisi surat-surat itu kubiarkan tergeletak di sana, berserakan di tanah. Aku tidak peduli lagi. Semua itu hanyalah sisa-sisa kebohongan yang perlu kulupakan.
Aku berjalan gontai kembali ke mobil. Kunci mobil terasa dingin di tanganku. Aku menyalakan mesin, dan suara deru mobil memecah kesunyian sore. Tanpa arah, aku melaju. Jalanan tampak buram. Hanya satu tujuan. Aku hanya ingin semuanya berakhir.
Aku menghentikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Di sana, di tengah kegelapan, di bawah lampu jalan yang berkelip samar, ada sebuah tebing. Jurang yang dalam. Tempat yang sempurna. Aku bisa mengakhiri semua ini. Mengakhiri rasa sakit, mengakhiri kebohongan.
Aku membuka pintu mobil. Udara dingin malam menusuk. Aku berjalan perlahan ke tepi tebing, setiap langkah terasa ringan, seolah aku sudah tidak memiliki bobot.
Aku melihat ke bawah. Gelap. Hampa. Seperti diriku.
"Adit..." bisikku, suaraku hampa. "Mengapa...?"
Aku memejamkan mata, membiarkan tubuhku condong ke depan. Satu langkah lagi. Satu langkah lagi dan semua akan berakhir.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"