Udara dingin Jumat sore merayap masuk ke dalam mobilku saat aku melaju membelah jalanan kota. Pipiku masih terasa panas membara, dan telingaku seolah bergaung dengan suara tamparan yang kulayangkan pada Michael kemarin, hari Kamis. Insiden di aula pertemuan, setelah kata-kata Michael menusukku hingga ke tulang, dan setelah tamparanku yang memecah keheningan, aku memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Bukan karena takut hukuman, bukan karena malu. Melainkan karena aku terlalu lelah. Lelah dengan kepura-puran, lelah dengan pertempuran, lelah dengan rasa sakit yang tak kunjung usai.
Di tengah semua kekacauan itu, ada satu hal yang kini membebani pikiranku: Lomba "Jeopardy Pengetahuan Umum Angkatan Akhir". Minggu depan, Selasa. Empat hari lagi. Dan aku, telah mengundurkan diri. Timku, yang kini hanya berisi Mayadi, Yessi, dan Michael—mustahil akan menang.
Ponselku bergetar tanpa henti di dasbor. Panggilan dari Maya dan Mayadi. Aku mengabaikannya. Aku tidak sanggup bicara. Tidak setelah aku meledak seperti itu. Tidak setelah aku menunjukkan kerapuhanku pada mereka semua. Aku hanya ingin pergi jauh. Pergi dari semua tatapan menghakimi, dari semua bisikan, dari semua rahasia yang kini terasa begitu berat.
Aku mengemudi tanpa arah, melewati jalan-jalan yang terasa asing, hingga akhirnya aku berbelok ke sebuah jalan kecil yang jarang kulalui. Jalan itu mengarah ke pinggiran kota, ke daerah yang lebih sepi, tempat bangunan-bangunan tua dan rimbunnya pepohonan bersembunyi. Sebuah dorongan aneh menarikku untuk berbelok ke sana. Aku tidak tahu mengapa, tapi ada desakan tak terlihat yang menarikku.
Aku memarkir mobil di pinggir jalan, lalu turun. Udara di sini terasa lebih berat, dipenuhi aura kesepian dan kenangan yang tersembunyi. Aku berjalan perlahan mendekati sebuah rumah tua yang dikelilingi pagar besi berkarat. Rumah itu tampak kosong, jendela-jendela tertutup rapat, cat dindingnya mengelupas. Itu adalah rumah lama Adit. Rumah yang dulu pernah ia ceritakan sebagai tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya sebelum keluarganya pindah ke rumah yang sekarang.
Aku mencoba mengintip dari celah pagar. Di halaman depan, ada pohon mangga tua yang rimbun, dan di bawahnya, sebuah bangku kayu yang terlihat usang. Kenangan Adit. Ia pernah bercerita tentang bangku ini, tempat ia sering duduk sambil memetik gitar, memikirkan lirik. Tempat ia bermimpi.
Tiba-tiba, aku melihat sesuatu di bawah bangku. Sebuah kotak kardus kecil yang basah dan lapuk, seolah sudah lama tergeletak di sana, terlupakan. Sebuah dorongan kuat menarikku untuk membuka pagar dan mendekat. Pagar itu berderit saat kubuka. Aku melangkah hati-hati, mendekati bangku. Kotak kardus itu tampak begitu rapuh, nyaris hancur. Aku berjongkok, meraihnya. Ketika kubuka, jantungku mencelos.
Di dalamnya, ada tumpukan surat. Surat-surat lama. Dan foto-foto. Foto-foto Adit, terlihat lebih muda, bersama seorang gadis. Gadis itu... Maya. Jantungku bergemuruh, darahku serasa membeku.
Aku mengambil salah satu surat. Tulisan tangan yang kukenal. Tulisan tangan Adit.
Maya, aku tahu kita sepakat ini rahasia. Tapi aku tidak sanggup lagi. Terutama setelah Lily dan aku resmi bersama beberapa bulan lalu. Aku tidak bisa terus membohonginya. Aku tidak bisa terus membohongimu. Ayah sudah tahu. Aku tidak bisa menghadapi ini lagi.
Pikiranku berputar. Ini... ini terjadi setelah aku dan Adit resmi berhubungan? Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku. Jadi, selama ini... pengkhianatan itu...
Aku mengambil surat lain. Ada tulisan tangan Maya di sana.
Adit, kamu harus bertanggung jawab! Aku tidak mau ini terjadi! Lily tidak boleh tahu! Aku tidak bisa menyembunyikannya lagi! Bagaimana dengan itu... Dia?
Kata "Dia" itu. Apa maksudnya?
Tubuhku gemetar. Aku terus membaca, membuka setiap surat. Surat-surat itu menceritakan kisah yang berbeda dari yang pernah kuketahui. Adit, tunanganku, orang yang kucintai, yang selalu kusangka sempurna... ia sebenarnya memiliki masalah. Masalah yang sangat besar. Bukan hanya perselingkuhan dengan sahabatku, Maya, tetapi juga sesuatu yang lebih gelap.
Dan kemudian, aku menemukan surat dari Ayah Adit. Sebuah surat yang sangat marah.
Kamu telah mempermalukan keluarga. Ini akibat dari perbuatanmu di sekolah Jakarta. Kamu tidak lagi punya hak memilih jalan hidupmu. Juilliard? Musik? Itu sudah tak penting. Dan kamu akan ke Harvard, jurusan bisnis. Untuk menebus semua ini.
Aku tertegun. Harvard. Nama itu seolah menghantamku. Bukan pilihan Adit. Bukan impiannya. Selama ini, aku selalu melihat kilasan kenangan tentang Adit yang penuh semangat menceritakan tentang Harvard. Matanya berbinar saat ia menggambarkan masa depan kami di sana, tawa renyahnya saat kami berdiskusi tentang jurusan yang akan diambil, dan tangannya yang menggenggam erat tanganku, meyakinkanku bahwa impian kami untuk bersama di sana akan terwujud. Ia bahkan sering membantuku dengan personal statement untuk pendaftaran ke Harvard, seolah-olah itu adalah tujuan hidupnya. Bagaimana bisa? Semua itu hanya kepura-puraan? Fakta yang sangat kontras ini meremukkan hatiku. Ia adalah pecundang.
Aku menemukan surat lain. Sebuah surat dari Adit untuk Maya, yang ditulis beberapa bulan setelah kami resmi berpacaran.
Maya, aku tahu kita sepakat ini rahasia. Aku tidak bisa terus membohongi Lily. Ini gila. Menggugurkan kandungan? Ini terlalu jauh. Kita sudah berjanji merahasiakannya dari Lily. Maafkan aku.
Napas tersengal-sengal. Mataku membola. Menggugurkan kandungan? Maya? Adit? Mereka... mereka... perselingkuhan itu... sampai sejauh ini? Jantungku bergemuruh, menghantam-hantam rusukku. Dunia di sekelilingku seolah runtuh. Warna-warna memudar, suara-suara menghilang. Hanya suara Michael yang bergaung, kata "pecundang" itu berulang kali, kini terasa begitu benar. Adit. Pecundang. Itu... itu tidak mungkin. Adit adalah bintangku, kompas hidupku. Dia adalah keberanian, dia adalah kekuatan. Tapi semua ini... ini kebohongan.
Aku menemukan surat lain. Surat itu dari Adit untuk seseorang yang ia sebut 'Teman'.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, Teman. Aku sudah menghancurkan hidup Maya. Aku sudah mengecewakan keluargaku. Aku tidak lagi punya pilihan. Harvard. Bisnis. Ini bukan aku. Aku hanya ingin bermain musik. Juilliard. Itu impianku. Tapi semuanya hancur.
Juilliard School. Universitas musik terbaik di dunia. Impian sejati Adit. Bukan Harvard Bisnis. Dia tidak pernah memilih Harvard. Dia dipaksa. Karena dia pecundang. Karena dia menghancurkan hidup Maya.
Aku terisak, napas tersengal-sengap. Semua yang kuketahui tentang Adit... hancur lebur. Ia adalah pecundang. Ia adalah seorang pembohong. Ia menipuku. Ia tidak pernah memberitahuku tentang Maya. Mereka... mereka punya hubungan. Sebuah rahasia gelap. Ia bahkan rela menggugurkan kandungannya.
Aku terus mencari. Di dasar kotak, aku menemukan sebuah pil kecil. Warnanya putih. Ada tulisan samar di permukaannya. Jantungku berdesir, kesadaran menghantamku seperti gelombang tsunami. Itu dia. Ilusi. Semua itu. Tulisan tangan Adit yang muncul di jurnal. Percakapan kami. Itu bukan sihir. Itu bukan realisme magis. Itu... narkoba. Atau semacam obat penenang yang memicu halusinasi. Aku telah menipu diriku sendiri. Aku telah dipermainkan. Oleh Adit. Oleh diriku sendiri.
Rasa sakit dan pengkhianatan itu terlalu besar. Aku merasakan seluruh duniaku runtuh. Impian Harvard. Cinta Adit. Kepercayaan pada diriku sendiri. Semuanya. Hancur.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Rasa sakit itu tak tertahankan. Michael benar. Adit adalah pecundang. Aku telah mencintai seorang pecundang. Aku telah dibodohi. Dan aku... aku tidak bisa hidup dengan ini.
Ponselku bergetar. Panggilan dari Maya. Aku melihatnya. Aku melihatnya lagi. Maya. Sahabatku. Mantan kekasih Adit. Orang yang dulu mencintai Adit, yang pernah mengandung anaknya, yang kini menyimpan rahasia ini bersamaku. Apakah Maya tahu bahwa aku tahu? Apakah ia juga terlibat dalam ilusi ini?
Aku mengambil ponselku. Jari-jariku gemetar saat aku menekan tombol jawab.
"Halo?" suaraku serak, nyaris tak terdengar.
"Lily?! Astaga, Lily! Kamu ke mana aja? Aku telepon kamu dari tadi! Kamu baik-baik aja kan?" Suara Maya terdengar panik dan lega bercampur aduk.
"Baik-baik aja?" Tiba-tiba, kemarahan menyelimutiku. Amarah yang membakar. "Baik-baik aja katamu?! Setelah semua kebohongan ini, kamu berani bilang aku baik-baik aja?!"
"Lily, kamu ngomong apa? Ada apa? Aku gak ngerti..." Suara Maya berubah bingung.
"Gak ngerti?! Oh, kamu gak ngerti? Lalu bagaimana dengan semua ini, Maya?!" Aku menekan kata-kata itu, suaraku meninggi. "Bagaimana dengan surat-surat ini?! Bagaimana dengan kehamilanmu?! Bagaimana dengan bayi yang kalian gugurkan?! Kamu tega, Maya! Kamu tega menyembunyikan semua ini dariku! Kamu bilang kamu sahabatku!"
Maya terdiam, hening di ujung sana. Detik-detik berlalu seperti abad. Aku bisa merasakan napasnya tertahan.
"Lily... bagaimana... bagaimana kamu tahu?" Suaranya pelan, gemetar, penuh ketakutan.
"Bagaimana aku tahu?! Ya Tuhan, Maya! Kalian berdua pembohong! Kalian telah menghancurkan hidupku! Kamu tahu Adit menghamili kamu?! Kamu tahu dia dipaksa kuliah di Harvard karena kesalahan bodohnya itu?! Kamu tahu semua ini, dan kamu pura-pura tidak tahu apa-apa di depanku?! Kamu... kamu seorang pengkhianat!"
"Lily, jangan bilang begitu! Aku... aku juga korban di sini! Aku tidak sengaja! Aku juga menyesal!" Maya mulai terisak. "Adit juga memaksaku menggugurkan... dia bilang itu demi masa depan kita semua! Supaya tidak ada yang tahu, supaya kita bisa melanjutkan hidup kita masing-masing!"
"Masa depan kita?! Masa depan apa yang kalian maksud?!" Aku memekik. "Masa depan di atas kebohongan?! Kalian berdua berjanji untuk merahasiakan semua ini dariku, kan?! Kalian berdua berjanji untuk mengubur semua ini dalam-dalam!"
Maya terisak lebih keras. "Maafkan aku, Lily... aku... aku tidak tahu harus berbuat apa. Adit memohon padaku... dia bilang kalau sampai ketahuan, dia akan dikeluarkan dari sekolah, keluarganya akan hancur... dia bilang dia akan kehilangan segalanya..."
"Kehilangan segalanya?! Lalu bagaimana denganku?! Aku kehilangan segalanya, Maya! Aku kehilangan kepercayaan! Aku kehilangan diriku sendiri! Kamu tega melihatku hidup dalam kebohongan selama ini?!" Air mataku mengalir deras, membasahi pipi.
"Lily, aku bersumpah aku tidak bermaksud... aku tidak ingin kamu terluka..."
"Omong kosong! Kalau kamu tidak ingin aku terluka, kenapa kamu tidak bilang dari awal?! Kenapa kamu ikut bermain drama ini?!" Aku terdiam sejenak, mengambil napas dalam-dalam. "Maya... Michael... Michael bilang ada masalah Adit di sekolahnya. Apa masalah Adit di sana? Apa yang membuat dia dipindahkan ke kota ini?"
Maya menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Sambil tersendat-sendat ia menjawab jujur "Itu... itu memang pemicunya, Lily. Adit... dia memang agak... sulit di sana. Sering terlibat perkelahian, bolos, nilai-nilainya anjlok. Dia tidak mampu mengimbangi pelajaran di sekolah elit itu, dan dia terlalu bebas. Orang tuanya sudah berkali-kali memperingatkan, tapi dia tidak pernah berubah. Puncaknya... ya, itu. Ayahnya tahu dia jadi pembuat onar dan itu adalah aib bagi keluarga mereka yang terpandang. Itu yang membuat ayahnya marah besar. Dia dipindahkan ke kota ini. Sebagai hukuman. Jauh dari semua masalah yang dia buat di Jakarta. Jadi, saat itu bukan karena aku... tapi karena tingkahnya sendiri."
Aku menggigit bibir bawahku, merasakan pahitnya kenyataan. Jadi, Adit bukan hanya pembohong dan pecundang. Dia juga seorang pembuat onar sejak dulu. Dia tidak pernah sebaik yang kupikirkan.
"Aku... aku tidak percaya ini," bisikku, suaraku hampa.
"Lily, kumohon... jangan menghilang. Jangan lakukan hal bodoh," suara Maya terdengar memohon. "Aku akan ceritakan semuanya... aku akan jelaskan... tapi kumohon, tetaplah di sana."
Aku memutuskan panggilan. Terlalu banyak. Terlalu banyak kebohongan. Terlalu banyak pengkhianatan. Aku tidak sanggup lagi.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"