Malam itu, langkahku terasa berat namun pasti saat aku berjalan menuju rumah Adit. Udara sore hari yang sejuk tidak mampu meredakan kegelisahan yang membalut hatiku. Sejak Adit tiada, aku belum pernah menginjakkan kaki lagi di rumah ini. Setiap sudutnya pasti dipenuhi kenangan, dan aku takut kenangan itu akan terlalu menyakitkan. Namun, janji pada Ibu Adit dan dorongan samar dari Adit di jurnal yang berisi pesan terakhirnya: Percaya, memberiku kekuatan. Ini adalah langkah berani yang harus kuambil.
Begitu aku tiba di depan rumahnya, lampu-lampu taman menyala, memantulkan cahaya lembut di jalan masuk. Jantungku berdebar tak karuan. Aku melihat mobil Ibu Adit terparkir di garasi. Aku menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri, lalu mengetuk pintu.
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Ibu Adit berdiri di sana, senyum hangat merekah di wajahnya, namun matanya sembab, bekas duka masih terlihat jelas. Begitu melihatku, ia langsung memelukku erat. Pelukannya terasa begitu tulus, begitu dalam, seolah ia memeluk seluruh duka yang kupikul.
"Lily, Nak... Tante sangat senang kamu datang," bisiknya, suaranya serak. "Tante sangat merindukanmu."
Aku membalas pelukannya, air mata yang sudah kutahan sejak tadi akhirnya tumpah. "Saya juga merindukan Tante," kataku, terisak.
"Ayo, masuk, Nak," Ibu Adit menuntunku ke dalam. Ruangan terasa sunyi, namun kehangatannya langsung merengkuh. Aroma masakan yang akrab, harum makanan kesukaan Adit menguar dari dapur, membanjiriku dengan kenangan.
Di ruang keluarga, aku melihat Ayah Adit duduk di sofa, membaca koran. Ia mengangkat kepala, menatapku, lalu tersenyum tipis. Wajahnya menunjukkan kelelahan yang sama dengan Ibu Adit. "Lily... Nak," katanya, suaranya berat. "Senang melihatmu."
Aku mengangguk, berusaha tersenyum, lalu mataku mencari James, adik Adit. Ia duduk di lantai, sibuk dengan mainan action figure-nya. Ia mengangkat kepala, menatapku dengan mata lebar, lalu kembali pada mainannya, seolah ingin menghindar. Rasa bersalah kembali mencengkeramku. Aku belum bicara dengannya sejak Adit tiada. Ia pasti membenciku karena tidak hadir di pemakaman kakaknya.
"James, sapa Kak Lily," Ibu Adit menegur lembut.
James hanya bergumam pelan, tidak bergerak.
"Tidak apa-apa, Tante," kataku cepat. "James pasti masih... butuh waktu."
Ibu Adit menghela napas, menatap James dengan duka. "Adit... dia sangat menyayangi James. Dia adalah pahlawan bagi James."
Aku mengangguk. Aku tahu itu. Adit selalu menjadi sosok kakak yang luar biasa bagi James, selalu melindunginya, selalu bermain bersamanya.
Makan malam terasa canggung pada awalnya. Kami berempat duduk di meja makan yang luas. Sebuah kursi di sebelahku kosong. Kursi Adit. Keberadaan kursi kosong itu begitu mencolok, seolah mengundang kehadiran yang tak akan pernah datang. Aku menatap piring di depanku, kehilangan nafsu makan.
"Ini masakan kesukaan Adit, Lily. Kamu harus coba," Ibu Adit mencoba memecah keheningan, menyendokkan hidangan ke piringku.
Aku mencoba makan, namun setiap suapan terasa sulit ditelan. Pikiranku terus melayang pada James, yang duduk di seberangku, makan dalam diam, wajahnya murung. Aku tahu ia sangat merindukan kakaknya. Ia adalah yang paling kecil di antara kami, yang mungkin paling tidak mengerti apa yang terjadi.
"James," kataku akhirnya, memberanikan diri. "Kakak... minta maaf. Maaf karena nggak bisa datang... waktu itu." Aku tidak bisa menyebut 'pemakaman'.
James mengangkat kepala, menatapku. Matanya dipenuhi kesedihan yang mendalam, kesedihan yang tak bisa disembunyikan oleh usianya yang masih muda. "Kak Adit bilang... Kak Adit bilang dia nggak suka aku."
Jantungku mencelos. Kata-kata itu. Aku menatap Ayah dan Ibu Adit, yang juga terlihat terkejut. Aku ingat Mayadi pernah bercerita tentang persaingan kecil Adit dan James, tapi ini terdengar lebih dalam, lebih menyakitkan. Ini. Ini adalah "kunci" yang Adit ingin aku temukan. James. Adit di jurnal bilang: Cari dia. Dia juga butuh kamu. Adit ingin aku memperbaiki kesalahpahaman ini. Ia ingin aku menenangkan James.
"Tidak! James, tidak begitu!" kataku, suaraku sedikit meninggi. "Kak Adit tidak mungkin bilang begitu. Kak Adit sangat menyayangimu!"
James menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di matanya. "Dia bilang... dia bilang aku merusak mikrofonnya. Dia bilang dia benci aku. Tepat sebelum dia... pergi." James terisak, tangannya mengusap air mata.
Rasa sakit yang tajam menusuk dadaku. Ini. Inilah rasa bersalah yang mengganggu Adit, bahkan dari alamnya. Ia ingin aku menenangkan James. Aku tahu. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku akan menggunakan 'kunci'ku yang lain.
Aku mengeluarkan buku catatan biru tua dari tasku, membuka halaman yang berisi tulisan Adit. Halamannya kosong di bagian bawah, tetapi tulisan samar Adit masih terlihat di bagian atas. Aku menatap James, mataku meyakinkan.
"James, Kakak mau tunjukkin sesuatu. Kakak... Kakak bisa bicara sama Kak Adit." Aku tidak peduli mereka menganggapku gila. Ini untuk James. Ini untuk Adit.
Ibu dan Ayah Adit menatapku terkejut. James menatapku dengan mata lebar, air mata masih membasahi pipinya.
"Kakak... Kakak akan menuliskan pesan untuk Kak Adit sekarang. Dan... dan Kak Adit akan membalasnya," kataku, berusaha menahan tangisku. Aku tidak tahu apakah Adit akan membalas lagi, karena koneksinya sudah berakhir. Tapi aku harus mencoba. Demi James. Demi Adit.
Aku menuliskan di halaman kosong itu:
Adit, ini James. Dia sangat sedih. Dia pikir kamu membencinya karena masalah mikrofon itu. Katakan padanya, Adit. Katakan padanya bahwa kamu sangat menyayanginya. Dia butuh mendengar itu darimu.
Aku meletakkan pena, menatap James. James mencondongkan tubuh, matanya terpaku pada halaman. Ibu dan Ayah Adit juga mendekat, wajah mereka menunjukkan campuran kebingungan dan harapan.
Kami menunggu. Ruangan hening, hanya suara napas kami yang terdengar. Detik-detik berlalu, terasa seperti jam. Aku mulai merasa putus asa. Apakah aku sudah terlalu jauh? Apakah Adit benar-benar telah pergi?
Tiba-tiba, sebuah getaran samar di buku catatan itu. Sebuah goresan tinta muncul, lebih jelas dari tulisan terakhir Adit. Tulisan tangan itu... Aku mengenalinya.
"James, jangan pernah berpikir begitu. Kamu adalah adik terbaik di dunia. Kakak tidak pernah membencimu. Itu kecelakaan. Kakak sangat menyayangimu. Lebih dari apapun. Dan Kakak akan selalu bangga sama kamu. Jangan sedih, jagoan."
James menatap tulisan itu, matanya melebar tak percaya. Ia mengusap matanya, lalu menatapku, air mata masih mengalir, namun kini ada binar kelegaan. "Ini... ini Kak Adit?"
Aku mengangguk, isak tangisku pecah. "Ya, James. Itu Kak Adit."
James mengambil buku catatan itu, memeluknya erat, terisak. Ayah dan Ibu Adit saling berpandangan, mata mereka berkaca-kaca. Aku tahu mereka juga melihatnya. Mereka juga membaca pesan Adit.
Untuk sesaat, duka yang tadinya memisahkan kami seolah mencair. Kami berempat, duduk di meja makan itu, berbagi momen keajaiban yang mustahil. Adit telah berbicara lagi. Untuk James. Untuk kami semua. Ia telah memberikan penutup bagi luka yang selama ini menganga.
Malam itu, makan malam terasa lebih hangat. James tidak lagi murung. Ia sesekali melirik buku catatan di pangkuannya, lalu tersenyum tipis. Ibu Adit bercerita tentang kenangan manis Adit, tentang bagaimana ia selalu bersemangat membantu James dengan pekerjaan rumahnya, tentang bagaimana mereka sering bermain musik bersama. Ayah Adit juga berbagi cerita lucu tentang kenangan Adit.
Aku duduk di sana, mendengarkan, merasa damai. Kursi kosong di sebelahku tidak lagi terasa sebagai lubang kehampaan, melainkan sebagai ruang yang dipenuhi kenangan hangat. Adit telah menunaikan janjinya. Ia telah memberiku 'kunci' itu, dan ia telah membimbingku untuk menggunakannya, untuk menyatukan pecahan-pecahan. Bukan hanya pecahanku, tapi juga pecahan keluarga Adit.
Setelah makan malam, sebelum aku pulang, Ibu Adit memelukku lagi. "Terima kasih, Lily, Nak," bisiknya. "Terima kasih sudah datang. Dan terima kasih... untuk ini." Ia menyentuh buku catatan di tanganku. Aku tahu ia mengacu pada komunikasi dengan Adit. Ia percaya.
Aku pulang dengan hati yang penuh. Buku catatan biru tua itu terasa ringan di tanganku. Koneksi dengan Adit telah berakhir. Ia telah memberikan pesan terakhirnya, yang paling penting. Ia telah membebaskanku. Dan ia telah membantuku membebaskan James, dan keluarganya. Aku telah melangkah. Aku telah berani. Dan aku telah menemukan diriku yang baru, yang mampu menghadapi duka, berbagi rahasia, dan menyatukan kembali pecahan-pecahan.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"