Pengiriman personal statement ke Harvard, dan pelepasan koneksi dengan Adit melalui jurnal, meninggalkan kekosongan yang membingungkan. Seperti setelah badai reda, semua puing berserakan dan kau tidak tahu harus mulai membersihkan dari mana. Rasa sakit itu masih ada, melingkupiku seperti selimut dingin, namun kini ada juga kelegaan yang samar. Aku telah berbagi rahasia terbesarku dengan Maya. Ia percaya padaku. Itu adalah batu pijakan pertama untukku kembali melangkah.
Pagi itu, aku terbangun dengan kepala terasa lebih ringan. Aku tidak meraih buku catatan biru tua itu. Tidak ada lagi percakapan yang kutunggu. Aku hanya menatap bookend sayap tunggal di mejaku, yang kini terasa lebih seperti simbol dari diriku sendiri—sebuah sayap yang menunggu pasangannya untuk terbang.
Di sekolah, Maya menghampiriku di loker, senyumnya hangat. "Bagaimana perasaanmu hari ini, Lil?"
Aku mengangkat bahu. "Aneh. Kosong. Tapi... sedikit lega."
Maya mengangguk, sorot matanya menunjukkan pemahaman. "Aku tahu. Melepaskan itu memang begitu. Tapi kamu sudah sangat kuat. Adit pasti bangga sama kamu." Ia terdiam, lalu menatapku lekat. "Bagaimana dengan... tulisan di jurnal itu? Masih... muncul?"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Setelah aku kirim aplikasi, dan Adit menulis 'Percaya', dia tidak menulis lagi. Koneksinya... berakhir." Suara terakhir yang kuterima darinya adalah satu kata itu, sebuah ucapan perpisahan yang samar namun begitu final.
Maya memelukku erat. "Aku turut berduka, Lil. Aku tahu itu pasti sangat menyakitkan." Pelukannya memberiku kenyamanan yang tulus, tanpa pertanyaan atau keraguan. Itu adalah pelukan yang sangat kubutuhkan.
Saat jam istirahat, aku duduk bersama Maya dan Mayadi. Maya menceritakan pada Mayadi secara lebih detail tentang "komunikasi" jurnal itu. Mayadi mendengarkan dengan serius, sesekali melirikku.
"Jadi... Adit... dia benar-benar ada?" Mayadi bertanya, suaranya pelan, matanya menatapku dengan campuran rasa ingin tahu dan kesedihan.
Aku mengangguk. "Dia ada. Tapi sekarang... dia sudah pergi. Untuk selamanya."
Mayadi terdiam, tatapannya menerawang. Ia mengambil buku catatan biru tua itu dari tas Lily, membolak-baliknya dengan hati-hati. Ia menelusuri tulisan Adit yang samar. "Ini... ini gila, Lil." Ia tersenyum pahit. "Tapi... aku percaya padamu. Adit memang begitu. Dia selalu punya cara sendiri."
Mendengar Mayadi juga percaya, dadaku terasa sedikit lebih ringan. Beban rahasia yang kupikul seorang diri kini terbagi. "Dia... dia memberikan petunjuk padaku. Tentang 'kunci'. Tentang 'galaksi'. Dan dia menyuruhku untuk 'mencari teman'." Aku menatap Mayadi. "Dia juga menyebutmu, Mayadi. Dia bilang kamu juga butuh dia. Dan kamu juga 'kunci'."
Mayadi terkejut. "Aku? Kunci apa?"
Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Dia bilang aku harus 'menyelami diriku'. Dan 'kunci' itu adalah 'tempat di mana semua terhubung'."
Mayadi terdiam, memikirkan kata-kataku. "Aku... aku tidak tahu harus bilang apa. Tapi... kalau Adit bilang begitu, pasti ada alasannya." Ia menatapku. "Kalau kamu butuh bantuan mencarinya, bilang saja."
Melihat Mayadi juga terbuka padaku, menawarkan bantuan, membuatku merasa tidak sendirian lagi. Ada jembatan baru yang terbangun di antara kami. Ini adalah bagian dari 'konstelasi baru' yang Adit inginkan.
Beberapa hari berikutnya, aku mencoba fokus kembali pada sekolah. Tanpa 'koneksi' jurnal dengan Adit, duniaku terasa lebih sunyi, lebih dingin. Namun, aku juga merasa lebih bebas. Aku tidak lagi terikat pada penantian akan balasan. Aku bisa melangkah dengan kakiku sendiri.
Bu Arini kembali menemuiku. "Lily, saya sudah membaca draf final personal statement-mu." Ia tersenyum. "Ini... berbeda dari yang saya harapkan. Tapi sangat... jujur. Sangat kuat." Ia menatapku dengan sorot mata yang penuh penghargaan. "Saya yakin Harvard akan melihat potensi yang luar biasa di sini, Nak. Sebuah jiwa yang berani menghadapi kehancuran dan menemukan kembali dirinya."
Mendengar Bu Arini memuji esaiku, aku merasa bangga. Aku telah menuliskan kebenaran. Aku telah berani. Dan itu terasa jauh lebih berarti daripada sekadar mendapatkan nilai bagus.
Namun, di tengah semua itu, aku juga merasakan ketegangan. Sebuah pesan dari Ibu Adit masuk ke ponselku. Ia ingin bertemu. Jujur, aku sangat takut. Setelah tidak menghadiri pemakaman Adit, aku merasa sangat bersalah. Aku tidak tahu harus berkata apa padanya, bagaimana menghadapi tatapan matanya yang pasti menyimpan duka mendalam.
Aku menunda untuk membalas pesannya, hatiku diliputi kegelisahan. Aku tahu aku harus menghadapinya. Tapi aku belum siap. Aku masih merasa rapuh.
(Flashback)
Itu adalah Hari Raya Idul Fitri pertama Adit di Indonesia setelah ia pulang dari Amerika. Keluarganya mengadakan pesta kecil di rumah mereka. Aku duduk di ruang keluarga, merasa canggung di tengah keramaian. Adit menemukanku di sudut, tersenyum.
"Kenapa menyendiri?" tanyanya, duduk di sampingku.
"Aku... aku tidak tahu harus bicara apa. Mereka semua keluarga besarmu. Aku merasa asing."
Adit tertawa. "Tidak ada yang asing. Kamu adalah bagian dari keluarga sekarang." Ia meraih tanganku, lalu menuntunku ke dapur. "Ayo. Ibuku pasti merindukanmu."
Ibu Adit sedang sibuk di dapur, menyiapkan hidangan. Begitu melihatku, senyumnya merekah. "Lily! Akhirnya kamu datang! Ibu sudah menyiapkan tempat untukmu. Adit selalu bilang, kalau dia bikin makan siang untuk sekolah, harus ada porsimu juga. Kamu kan bagian dari kami."
Ia memelukku erat. Pelukannya hangat, penuh kasih sayang. Aku merasa diterima, seolah aku memang bagian dari keluarga ini. Adit menepuk bahuku, tersenyum bangga. "Kan, kubilang juga apa."
(Flashback Berakhir)
Bagian dari keluarga. Kata-kata Ibu Adit bergema di benakku. Sekarang, ia pasti membenciku karena tidak datang ke pemakaman. Aku telah mengecewakannya.
Aku menghela napas, menatap ponselku yang kini terasa begitu berat. Aku tahu aku harus menghadapi ini. Untuk Adit. Dan untuk diriku sendiri. Ini adalah "pilihan berani" yang lain.
Malam itu, aku memberanikan diri menelepon Ibu Adit. Jantungku berdebar tak karuan. Dering pertama, kedua, ketiga... lalu ia mengangkatnya. Suaranya terdengar lelah, namun tetap lembut.
"Halo, Lily?"
"Tante... maafkan saya," kataku, suaraku pecah, air mata mulai mengalir. "Maafkan saya tidak datang ke pemakaman Adit. Maafkan saya tidak bisa menghubungi Tante sebelumnya."
Ada keheningan panjang di ujung sana. Aku bisa merasakan kesedihan yang mendalam di balik keheningan itu.
"Lily... Nak," suara Ibu Adit akhirnya memecah keheningan, serak. "Tante mengerti. Tante tahu kamu pasti sangat terpukul. Adit sangat menyayangimu, Nak."
"Saya juga sangat menyayangi Adit, Tante," kataku, terisak. "Saya... saya tidak tahu harus bagaimana tanpanya."
"Tante tahu itu berat, Nak," katanya, suaranya kini dipenuhi kelembutan yang menenangkan. "Tapi kamu tidak sendirian. Kita semua merindukan Adit. Tante... Tante hanya ingin bertemu denganmu, Lil. Kita bisa berbagi kenangan tentang Adit. Itu akan sangat berarti bagi Tante."
Aku terisak. "Saya... saya akan datang, Tante. Kapanpun Tante mau."
"Bagaimana kalau lusa? Datanglah makan malam," usulnya. "Tante akan masak makanan kesukaan Adit. Kamu tahu, James juga sangat merindukanmu."
James, adik Adit. Aku juga belum bertemu dengannya. Aku tahu ia pasti juga sangat terpukul. "Baik, Tante. Saya akan datang."
Setelah menutup telepon, aku merasa sedikit lebih tenang. Satu jembatan lagi telah kubangun. Satu langkah lagi dalam proses 'menemukan diri'. Ini adalah jalan yang sulit, penuh duka, namun juga penuh harapan dan penerimaan. Aku tidak lagi sendiri. Adit telah memberikan 'kunci' itu, dan ia telah membimbingku, selangkah demi selangkah, untuk melihat bahwa 'galaksi' itu ada di dalam diriku, dan di sekitar orang-orang yang peduli padaku.
Aku menatap bookend sayap tunggal di mejaku, lalu pada jurnal biru tua yang kini terasa seperti album kenangan yang berharga. Aku tahu, ini bukan akhir dari dukaku, tetapi awal dari babak baru dalam hidupku. Sebuah babak di mana aku harus belajar terbang dengan sayapku sendiri, bahkan jika salah satu sayap itu terasa seperti bagian yang hilang.
😭😭😭😭
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"