Jemari tanganku bergetar di atas keyboard laptop. Di layar, personal statement itu sudah final. Bukan lagi tentang impian yang utopis, melainkan sebuah narasi jujur tentang kehancuran, pencarian, dan bagaimana aku membangun kembali 'galaksi' identitasku dari pecahan-pecahan yang ada. Aku menuliskan tentang Adit sebagai bintang pemanduku yang mengajariku menemukan cahaya di dalam diriku sendiri. Ini adalah kebenaran yang pahit, namun juga membebaskan.
Di samping laptop, bookend sayap tunggal itu memantulkan cahaya remang dari lampu meja. Jurnal biru tua tergeletak terbuka, menunjukkan halaman terakhir dengan tulisan Adit yang nyaris tak terlihat: Percaya. Sebuah kata yang kini menjadi jimat, sebuah janji yang harus kupegang.
Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Ini adalah 'pilihan berani' yang Adit minta. Aku akan mengirimkan esai ini, jujur pada diriku, meskipun itu berarti risikonya sangat besar. Ini bukan hanya tentang Harvard, tapi tentang Lily yang baru.
Klik. Tombol 'submit' kusentuh. Email aplikasi terkirim. Seketika, beban di dadaku sedikit terangkat, namun digantikan oleh kekosongan yang aneh. Seperti balon yang baru saja kulepaskan ke langit, menjauh, membawa serta sebagian dari diriku. Ada rasa lega, namun juga kesedihan yang mendalam. Sekarang, aku hanya bisa menunggu.
Keesokan harinya di sekolah, aku merasa seperti tubuh tanpa jiwa yang berjalan. Dunia terasa bergerak dalam kecepatan yang berbeda. Aku tahu, setelah mengirimkan aplikasi, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menanti. Namun, penantian itu adalah siksaan.
Bu Arini menghampiriku di koridor, senyumnya tipis. "Sudah kamu kirim, Lily?" tanyanya, tatapannya penuh harap.
Aku mengangguk. "Sudah, Bu. Tadi malam."
"Bagus sekali, Nak," Bu Arini tersenyum, mengangguk bangga. "Saya yakin kamu sudah memberikan yang terbaik. Sekarang, fokus saja untuk menunggu hasilnya." Ia menepuk bahuku. "Saya tahu ini tidak mudah. Tapi apa pun hasilnya nanti, saya akan selalu bangga dengan kerja kerasmu."
Kata-kata Bu Arini menghangatiku. Ia percaya padaku. Ia tidak tahu seberapa besar 'kebenaran' yang kutuliskan di esai itu, seberapa besar 'kegilaan' yang aku rasakan. Tapi, ia percaya pada 'Lily' yang ada di hadapannya.
Saat jam makan siang, aku duduk bersama Maya. Maya terlihat lebih ceria. "Bagaimana? Sudah dikirim?"
Aku mengangguk. "Sudah. Tadi malam."
"Akhirnya!" Maya bersorak pelan. "Bagaimana perasaanmu? Lega, kan?"
Aku menghela napas. "Lega... tapi juga kosong. Rasanya kayak... ada bagian dari diriku yang baru saja kulepaskan."
Maya menatapku, matanya sedikit membesar. "Mungkin itu cara kamu untuk berdamai, Lil. Melepaskan itu memang sakit. Tapi itu perlu." Ia menggenggam tanganku. "Aku tahu ini berat. Tapi kamu sudah sangat kuat. Adit pasti sangat bangga sama kamu."
Mendengar nama Adit, aku merasa sedikit perih. Aku teringat tulisan terakhirnya di jurnal. Percaya. Aku telah mempercayai diriku. Aku telah melangkah. Tetapi, bagaimana jika aku salah?
"Aku... aku tidak yakin aku melakukan hal yang benar, Maya," bisikku. "Aku menuliskan semuanya. Segalanya." Aku tidak bisa menjelaskan bahwa 'semuanya' termasuk bagaimana aku bicara dengan Adit, karena itu akan terlalu sulit.
Maya menatapku bingung. "Maksudmu? Kamu menuliskan tentang Adit?"
Aku mengangguk pelan. "Ya. Tentang bagaimana ia adalah bintang pemanduku, dan bagaimana aku harus menemukan cahayaku sendiri."
Maya terdiam, matanya sedikit memerah. "Itu... itu pasti sangat berat. Tapi indah, Lil. Sangat indah."
Tiba-tiba, Mayadi datang menghampiri meja kami, membawa nampan makanan. Ia melirik kami berdua, ekspresinya sulit ditebak. "Ada apa? Tiba-tiba serius begini?"
"Lily baru saja mengirimkan aplikasi Harvard-nya!" Maya memberitahunya dengan antusias.
Mayadi tersenyum tipis, matanya melirikku. "Oh ya? Bagus. Gimana perasaannya? Rasanya kayak... separuh jiwa terlepas?"
Aku mengangguk. Mayadi memang selalu punya cara untuk memahami tanpa banyak bertanya. "Ya. Persis begitu."
Mayadi duduk di sampingku. "Itu bagus, Lil. Berarti kamu jujur. Adit pasti suka. Dia selalu bilang, dia bangga kalau kamu jujur. Bahkan kalau itu pahit." Ia menatapku, matanya yang gelap kini memancarkan pemahaman yang dalam. "Kamu sudah mainkan lagu 'Jejak' lagi?"
Pertanyaan itu membuatku tersentak. Lagu 'Jejak'. Lirik yang sedang aku tulis. "Belum," jawabku. "Aku... belum punya inspirasi."
Mayadi mengangguk. "Tidak apa-apa. Nanti, kalau kamu sudah siap. Ada nada yang menunggu lirikmu."
(Flashback)
Itu adalah sebuah sore di akhir pekan, beberapa bulan lalu. Aku dan Adit sedang duduk di bangku taman, di bawah pohon rindang. Adit memainkan melodi baru di gitarnya, melodinya lembut, namun ada kesedihan samar di dalamnya.
"Ini lagu yang kutulis waktu aku lagi kesulitan, Lil," bisiknya. "Tentang gimana rasanya saat kamu merasa kehilangan arah, tapi kamu tahu harus terus bergerak."
Aku mendengarkan, melodi itu menyentuh hatiku. "Indah, Dit."
"Aku ingin kamu menulis liriknya, Lil," ia menatapku, matanya berbinar. "Kamu punya cara untuk membuat kata-kata hidup. Untuk mengubah rasa sakit jadi kekuatan." Ia menyerahkan buku catatannya padaku, tempat ia menulis notasi melodi itu. "Ini judulnya, 'Jejak'. Adit berkata, setiap jejak itu penting. Bahkan jejak air mata."
Aku tersenyum, mengambil buku itu. "Aku akan berusaha. Aku akan membuatnya abadi."
"Aku percaya padamu, Lil," Adit tersenyum, lalu menyentuh pipiku. "Kamu itu seniman kata. Kamu bisa bikin apa saja abadi. Bahkan kalau itu hanya kenangan."
(Flashback Berakhir)
Aku kembali ke kantin yang bising. Kenangan itu begitu hidup, begitu nyata, seolah Adit masih ada di sampingku, tersenyum, memberikan dorongan. Seniman kata. Abadi.
Malam harinya, aku kembali membuka buku catatan biru tua itu. Tulisan Adit di halaman terakhir kini nyaris tak terlihat. Hanya jejak tipis yang tersisa. Aku membelai halaman itu. Rasa dingin merayap. Koneksi itu benar-benar telah memudar. Tidak ada lagi percakapan. Tidak ada lagi balasan. Hanya keheningan yang tersisa.
Air mataku menetes di halaman, membasahi tulisan Adit yang samar. Ini adalah perpisahan yang sesungguhnya. Aku telah mengirimkan personal statement itu, seperti yang Adit minta. Aku telah mengambil langkah berani itu. Dan kini, ia telah membebaskanku.
Aku menghabiskan sisa malam itu dengan menulis lirik lagu "Jejak". Kali ini, kata-kata mengalir tanpa henti. Aku menulis tentang kehampaan, tentang pencarian, tentang bintang-bintang yang hilang, dan tentang bagaimana setiap jejak, bahkan yang paling samar sekalipun, bisa membentuk konstelasi baru. Aku menulis tentang bagaimana aku belajar berjalan sendiri, dengan kenangan Adit sebagai cahaya di hati, bukan lagi sebagai belenggu.
Saat fajar menyingsing, lirik itu selesai. Panjang, penuh emosi, dan jujur. Sebuah lagu yang kupersembahkan untuk Adit, dan untuk diriku sendiri. Ini adalah bab baru dalam 'Galaksi'ku. Dan aku siap untuk memainkannya.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"