Jurnal biru tua itu terasa dingin di pangkuanku, tulisan Adit yang samar di halaman terakhirnya seolah berkedip. Kata "Galaksi" dari bookend yang kini kutaruh di samping laptop, menjadi tema utama personal statement-ku. Aku menulis tentang bagaimana impian yang hancur dapat menjadi pecahan yang, jika disusun kembali dengan keberanian, bisa membentuk konstelasi baru—sebuah galaksi identitas yang lebih kuat. Ini adalah 'kebenaran' yang Adit inginkan aku tulis, yang Mayadi dan Bu Arini isyaratkan.
Hari-hariku kini dipenuhi dengan menulis. Setiap pagi, aku bangun, meraih laptop dan jurnal, dan membiarkan kata-kata mengalir. Aku menulis tentang duka yang melanda, tentang kehampaan yang kurasakan, tentang bagaimana Adit adalah bintang pemanduku yang kini telah pergi. Tetapi, yang paling penting, aku menulis tentang bagaimana aku belajar menemukan bintang di dalam diriku sendiri, tentang bagaimana aku membangun kembali galaksiku dari reruntuhan.
Deadline Early Action Harvard terasa seperti bayangan raksasa yang terus mendekat. Aku tahu ini adalah kesempatan terakhirku untuk mengirimkan aplikasi. Setiap kali aku merasa ragu, aku menatap bookend sayap tunggal di mejaku, lalu pada tulisan Adit di jurnal. Ia ingin aku bersinar. Ia ingin aku bebas.
Suatu sore, saat aku sedang asyik menulis, aku merasakan getaran aneh di buku catatan biru tuaku. Bukan goresan tinta baru, melainkan sensasi dingin yang merambat dari kertas. Aku membukanya. Tulisan Adit yang terakhir, Waktu kita... terbatas, kini terasa semakin samar, hampir tidak terlihat. Jantungku mencelos. Ketakutan yang selama ini hanya samar kini menghantamku dengan kekuatan penuh. Koneksi ini memudar. Adit akan pergi.
Aku meraih pena, menulis dengan panik.
Adit, jangan! Jangan pergi! Aku belum siap! Aku belum menyelesaikan esai ini! Aku belum menemukan diriku sepenuhnya!
Aku menunggu. Lebih lama dari yang pernah kubayangkan. Halaman itu kosong. Hanya keheningan yang menjawab. Tidak ada goresan tinta. Tidak ada balasan. Aku menelan ludah, air mata mengalir deras di pipiku. Ini dia. Momen yang kutakuti. Ia benar-benar pergi.
Tiba-tiba, sebuah goresan tinta kecil, sangat, sangat samar, muncul di sudut halaman, nyaris tak terlihat. Hanya satu kata.
"Percaya."
Satu kata. Itu saja. Tapi kata itu terasa seperti ledakan di benakku. Percaya. Percaya pada diriku. Percaya bahwa aku bisa. Percaya bahwa ia akan tetap bersamaku, bahkan jika koneksi ini telah berakhir.
Aku memeluk buku catatan itu erat-erat, isak tangisku pecah. Rasa sakit kehilangan itu kembali, menusuk lebih dalam dari sebelumnya. Tapi kali ini, ada juga ketenangan yang aneh. Adit telah memberikan pesan terakhirnya. Ia telah melepaskan aku. Dan sekarang, aku harus melepaskan dia.
Keesokan harinya, di sekolah, aku merasa seperti tubuh tanpa jiwa. Aku tidak bisa fokus pada pelajaran. Setiap kata yang diucapkan guru terasa seperti gumaman jauh. Pikiranku terus melayang pada kata "Percaya" dan koneksi yang telah berakhir.
Saat jam istirahat, Maya menghampiriku. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
"Lily? Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya lembut. "Kamu kelihatan... kosong."
Aku mengangkat kepala, menatapnya. Aku tahu aku tidak bisa lagi menyimpan rahasia ini. Aku tidak bisa lagi membiarkan diriku sendiri terisolasi dalam duka yang tak terlihat. Adit telah memintaku untuk "mencari teman". Dan sekarang, ia memintaku untuk "percaya". Mungkin, percaya pada diriku sendiri berarti percaya pada orang-orang di sekitarku.
"Maya," kataku, suaraku serak. "Aku... aku harus menceritakan sesuatu padamu. Sesuatu yang gila."
Maya mengerutkan kening. "Gila apa?"
Aku menatapnya lekat. "Sejak Adit meninggal... aku bisa... aku bisa bicara dengannya."
Maya terdiam, matanya melebar tak percaya. "Bicara? Maksudmu... kamu berhalusinasi?"
"Bukan! Bukan halusinasi!" kataku, putus asa. "Dia... dia bicara denganku melalui buku catatan ini." Aku mengeluarkan buku catatan biru tua itu dari tas, menunjukkannya padanya. "Dia menuliskan petunjuk. Dia membantuku menulis esai ini. Tapi sekarang... sekarang dia pergi. Koneksinya... sudah berakhir."
Maya mengambil buku catatan itu, membolak-baliknya dengan hati-hati. Ia menatap halaman yang penuh tulisan tanganku dan goresan Adit yang samar. Ia tidak langsung menertawakan. Ia hanya menatapku dengan mata yang penuh kebingungan, namun juga sedikit... keyakinan.
"Jadi... ini sebabnya kamu menghilang?" tanyanya, suaranya pelan. "Ini sebabnya kamu tidak datang ke pemakamannya? Karena kamu... berbicara dengannya?"
Aku mengangguk, air mata mengalir lagi. "Aku takut kalian menganggapku gila. Aku takut kalau aku menceritakannya, ia akan pergi selamanya. Tapi sekarang... ia sudah pergi. Dan aku... aku tidak tahu harus berbuat apa."
Maya meletakkan buku catatan itu di pangkuanku, lalu memelukku erat. Pelukannya hangat, mengalirkan kenyamanan yang sudah lama tidak kurasakan. "Lily... aku tidak tahu harus bilang apa. Ini... ini sulit dipercaya. Tapi aku percaya kamu. Aku tahu kamu tidak akan mengarang cerita seperti ini." Ia mengusap rambutku. "Mungkin... ini cara Adit untuk memberimu kesempatan mengucapkan selamat tinggal. Cara dia membantumu melangkah maju."
Aku terisak di bahu Maya. "Aku merindukannya. Aku sangat merindukannya."
"Aku tahu, Lil," Maya membalas pelukanku. "Aku juga. Kita semua merindukannya."
Pelukan Maya terasa seperti jembatan yang menghubungkan aku kembali dengan dunia nyata. Aku telah berbagi rahasia terbesarku. Dan ia percaya padaku. Beban di dadaku sedikit terangkat.
Saat jam makan siang, aku dan Maya duduk bersama Mayadi. Maya menceritakan semuanya, dengan hati-hati, berusaha membuat Mayadi mengerti. Mayadi mendengarkan, wajahnya serius, sesekali melirik buku catatan di pangkuanku.
"Jadi... Adit... dia masih ada?" tanya Mayadi, suaranya pelan.
Aku mengangguk. "Dia... dia ada. Tapi sekarang... dia sudah pergi. Koneksinya berakhir."
Mayadi terdiam, tatapannya menerawang jauh. Ia mengambil bookend perak itu dari tasku, memegangnya. Ia menatap sayap tunggal itu, lalu pada ukiran bintang samar di bawahnya. "Galaksi," gumamnya. "Dia pernah bilang padaku... dia punya lagu tentang galaksi. Lagu yang belum selesai."
Jantungku berdegup kencang. "Lagu 'Jejak'?" tanyaku. "Melodi yang kalian mainkan di studio?"
Mayadi mengangguk. "Ya. Itu dia." Ia menatapku. "Jadi... kamu sudah menemukan liriknya?"
Aku mengangguk, sedikit tersenyum. "Aku sedang mengerjakannya. Tentang bagaimana... kita membangun galaksi dari pecahan-pecahan. Bagaimana bintang-bintang bersinar dalam kegelapan."
Mayadi tersenyum, senyum yang tulus. "Adit pasti bangga. Dia selalu percaya kamu bisa melihat keindahan di setiap kehancuran."
Aku merasa sedikit lega. Mayadi tidak menganggapku gila. Ia percaya. Dan ia melihat makna di balik petunjuk Adit.
Sore itu, aku kembali ke meja belajarku. Jurnal biru tua itu kini terasa berbeda. Tidak lagi sebagai beban, melainkan sebagai saksi bisu dari perjalananku. Aku menatap personal statement di laptop. Deadline sudah sangat dekat. Hanya beberapa hari lagi.
Aku tahu, aku harus mengirimkannya. Aku harus menyelesaikan esai ini. Bukan untuk Adit lagi, bukan untuk Harvard, tapi untuk diriku sendiri. Untuk membuktikan bahwa aku bisa melangkah, bahkan tanpa peta yang sempurna, bahkan tanpa "kunci" yang bisa terus berkomunikasi denganku.
Aku mulai mengetik. Kata-kata mengalir dengan lebih lancar, lebih jujur, lebih dari hatiku. Aku menulis tentang Galaksiku yang baru. Tentang bagaimana kehilangan Adit, meskipun menyakitkan, telah memaksaku untuk menyelami kedalaman diriku, menemukan kekuatan yang tidak kukira ada. Aku menulis tentang bintang-bintang yang Adit tanamkan dalam diriku, dan bagaimana kini aku harus bersinar sendiri.
(Flashback)
Itu adalah malam sebelum Adit terbang ke Amerika untuk kuliahnya di Harvard. Kami berdua duduk di bangku taman kota, di bawah langit malam yang bertaburan bintang. Adit memegang sebuah origami bangau kertas di tangannya, yang ia buat khusus untukku.
"Ini buat kamu, Lil," katanya, menyerahkannya kepadaku. "Kalau kamu kangen, lihat aja ini. Bangau ini... dia akan selalu mengingatkanmu bahwa aku di sini. Di suatu tempat. Dan dia akan memberimu kekuatan untuk terbang tinggi, sejauh yang kamu mau."
Aku memeluk bangau kertas itu. "Aku akan merindukanmu, Dit."
Adit tersenyum, menyentuh pipiku. "Aku juga. Tapi ingat, kita akan selalu terhubung. Kamu di sana, aku di sini. Seperti dua bintang di galaksi yang sama. Kita akan selalu melihat satu sama lain."
(Flashback Berakhir)
Bintang. Galaksi. Origami bangau.
Aku membuka mata. Air mata mengalir, tapi kali ini bukan karena duka yang melumpuhkan. Melainkan karena penerimaan. Adit memang pergi. Namun, ia telah meninggalkan jejak, meninggalkan bintang-bintang, meninggalkan galaksi di dalam diriku. Ia telah memberiku 'kunci' itu, yaitu kepercayaan pada diriku sendiri.
Aku terus mengetik, menyelesaikan esai. Setiap kata adalah untaian doa, sebuah janji pada Adit dan pada diriku sendiri. Aku akan melangkah. Aku akan bersinar. Aku akan menemukan diriku. Aku akan menjadi galaksiku sendiri.
😭😭😭😭
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"