Kata "Galaksi" yang tiba-tiba muncul di jurnal, tepat di bawah bookend bersayap tunggal, terasa seperti percikan api yang menyalakan kegelapan di benakku. Sebuah teka-teki baru dari Adit, lebih samar dan misterius dari sebelumnya. Apa hubungannya 'galaksi' dengan bookend ini, dengan diriku, dengan personal statement Harvard?
Pagi itu, aku membawa bookend perak itu ke sekolah, menyimpannya di dasar tasku, seolah itu adalah jimat rahasia. Aku membolak-balik jurnal, menatap kata "Galaksi" berulang kali. Tidak ada petunjuk lain. Tidak ada gambar. Hanya kata itu, menuntut untuk dipecahkan.
Kelas Bahasa Inggris terasa seperti siksaan. Pak Dani membahas tentang esai argumentatif, dan aku hanya bisa mengangguk-angguk kosong. Pikiranku melayang pada "Galaksi", pada Adit, dan pada personal statement yang terasa mustahil diselesaikan.
Saat bel istirahat berbunyi, aku memutuskan untuk menghampiri Mayadi. Ia adalah satu-satunya orang yang, entah bagaimana, tampak memahami kedukaan dan keanehan yang kurasakan. Ia mungkin juga bisa melihat "jejak" yang Adit tinggalkan.
Aku menemukannya di sudut perpustakaan, sibuk dengan laptopnya, wajahnya terpaku pada layar. Ia sedang mengedit video. Aku melihat beberapa cuplikan, tampak seperti klip konser kecil, atau video latihan band. Ia punya bakat. Bakat yang Adit selalu puji.
"Mayadi," panggilku, suaraku sedikit pelan.
Ia menoleh, sedikit terkejut. "Lily? Ada apa?" Ia menutup laptopnya setengah, sorot matanya mengarah padaku.
"Aku... aku hanya ingin tahu," kataku, mencoba mencari kata-kata. "Tentang Adit. Dia... dia suka sekali dengan astronomi, ya?" Aku mencoba memancing, berharap ia akan mengaitkan dengan kata "Galaksi".
Mayadi mengerutkan kening. "Astronomi? Nggak terlalu. Dia suka film fiksi ilmiah, sih. Kayak Star Wars atau Interstellar. Tapi kalau soal bintang atau galaksi, dia lebih ke... suka melihatnya. Dia bilang itu bikin dia merasa kecil, dan bikin masalahnya juga ikut kecil." Ia tersenyum tipis. "Kenapa? Kamu tiba-tiba jadi astronom?"
Aku menggeleng. "Bukan begitu. Hanya... aku menemukan sesuatu. Sebuah petunjuk. Ada kata 'Galaksi' di sana." Aku ragu apakah harus menceritakan tentang jurnal dan komunikasi kami. Namun, melihat tatapan Mayadi yang penasaran, aku merasa sedikit berani.
"Galaksi?" Mayadi mengulang, dahinya berkerut. "Maksudmu... di mana?"
Aku menatapnya. Inilah saatnya. Aku memutuskan untuk mengambil risiko kecil. Aku mengeluarkan bookend perak itu dari tasku, meletakkannya di atas meja. Mayadi menatapnya, matanya sedikit membesar.
"Ini... bookend sayap tunggal Adit. Dia bilang ini 'kunci' yang hilang. Dan di bawahnya, ada ukiran samar berbentuk bintang. Lalu... di jurnal, muncul kata 'Galaksi'." Aku menatapnya, mencari reaksi. "Apa artinya ini, Mayadi? Apa yang Adit coba sampaikan?"
Mayadi mengambil bookend itu, membaliknya di tangannya. Ia meraba ukiran bintang itu, lalu menatapku. Ada kejutan di matanya, namun bukan skeptisisme yang kukuatirkan. Melainkan, semacam pemahaman yang samar.
"Kunci... bintang... galaksi," gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. "Adit memang selalu suka teka-teki. Dia bilang hidup itu kayak puzzle raksasa. Kita cuma dikasih potongan-potongan kecil, dan kita harus menyatukannya sendiri." Ia menatapku. "Kalau dia bilang ini 'kunci', berarti ini penting. Ini bukan cuma benda. Ini... sesuatu yang harus kamu pecahkan."
"Tapi apa?" tanyaku, frustrasi mulai merayap. "Aku tidak mengerti."
Mayadi menghela napas. "Adit selalu bilang, kamu itu punya intuisi yang kuat. Kamu bisa 'merasakan' sesuatu yang nggak semua orang bisa. Mungkin... ini bukan tentang logika. Tapi tentang perasaan. Tentang apa yang 'Galaksi' itu rasakan di hatimu."
Hati. Perasaan. Bukankah itu yang paling kutakuti? Menyelami kedalaman diriku yang hancur.
Saat bel berbunyi, Mayadi mengembalikan bookend itu padaku. "Coba pikirkan lagi, Lil. Apa yang Adit sering bilang tentang 'galaksi' atau 'bintang'? Mungkin bukan secara literal." Ia tersenyum tipis. "Semangat ya buat personal statement-nya. Aku tahu kamu pasti bisa. Jangan lupa, 'Lily api'."
Kata-kata Mayadi seolah menuntunku. "Lily api." Itu yang Adit katakan. Aku harus menyala kembali.
Siang itu, aku ada sesi bimbingan dengan Bu Arini. Jantungku berdebar tak karuan saat aku melangkah masuk ke ruangannya. Meja kerjanya rapi, dengan tumpukan berkas siswa dan beberapa cangkir kopi kosong. Bu Arini duduk di mejanya, tersenyum saat melihatku.
"Lily, silakan duduk," katanya, menunjuk kursi di depannya. "Bagaimana progresmu? Ada yang ingin kamu diskusikan tentang esaimu?"
Aku menghela napas, merasa gelisah. Bagaimana aku bisa menjelaskan "Galaksi" atau "kunci" padanya? Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa aku masih berdialog dengan Adit?
"Bu, saya... saya kesulitan di bagian tentang 'Finding Yourself'," kataku, memilih untuk jujur sejauh yang kubisa. "Dulu, Adit selalu jadi inspirasi utama saya. Dia yang mengarahkan impian saya ke Harvard. Tapi sekarang... saya merasa tersesat. Saya tidak tahu bagaimana menuliskan tentang 'diri saya yang sesungguhnya' tanpa merasa itu adalah kebohongan."
Bu Arini mendengarkan dengan sabar, tatapannya penuh pengertian. "Lily, ini memang masa yang sulit. Kehilangan Adit pasti sangat memukulmu. Tapi ingat, personal statement itu bukan hanya tentang masa lalu. Ini tentang bagaimana kamu tumbuh dari pengalaman itu. Bagaimana kamu menemukan dirimu yang baru, yang mungkin berbeda dari yang dulu, tapi tetap kuat."
Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Dulu, Adit sering bilang, 'Lily itu punya caranya sendiri untuk melihat bintang di kegelapan'. Dia selalu percaya kamu akan menemukan cahaya, meskipun dalam situasi paling gelap sekalipun."
Mendengar kata "bintang" membuatku terkesiap. Bintang. Galaksi. Cermin. Apakah ini yang Bu Arini maksud?
"Saya tahu kamu ingin menulis esai yang sempurna untuk Harvard," lanjut Bu Arini. "Tapi terkadang, kesempurnaan itu justru ada dalam kejujuran. Dalam kerapuhan. Jangan takut untuk menunjukkan siapa dirimu yang sesungguhnya, Lily. Itulah yang dicari Harvard."
Aku menatapnya. Kejujuran. Kerapuhan. Bookend itu. Cerminan. Adit bilang aku harus jujur pada diriku. Mayadi bilang aku harus menjadi nyata. Dan sekarang, Bu Arini bilang kejujuran itu adalah yang dicari Harvard.
"Bu, saya... saya tidak tahu harus menulis apa tentang diri saya yang sekarang," kataku, suaraku bergetar. "Semua yang saya rencanakan sudah... hancur."
Bu Arini tersenyum tipis. "Mungkin bukan hancur, Nak. Mungkin hanya berubah bentuk. Seperti bintang. Mereka mati, tapi cahayanya masih terus bersinar, membentuk konstelasi baru. Dan itu bisa jadi sama indahnya, atau bahkan lebih indah."
Konstelasi baru. Galaksi. Bintang.
Aku terdiam. Kata-kata Bu Arini, entah ia sadari atau tidak, seolah mengaitkan setiap petunjuk yang Adit berikan. Bookend sayap tunggal itu mungkin bukan hanya tentang diriku yang hilang, tapi tentang bagian-bagian dari diriku yang harus kukumpulkan kembali, membentuk konstelasi baru, sebuah "Galaksi" baru dari identitasku.
"Saya akan coba, Bu," kataku, sedikit lebih yakin. "Saya akan mencoba menuliskan kebenaran."
Setelah sesi bimbingan berakhir, aku kembali ke kamar. Aku mengeluarkan buku catatan biru tua, meletakkan bookend perak itu di sampingnya. Aku menuliskan percakapanku dengan Mayadi dan Bu Arini. Aku menuliskan tentang bintang, galaksi, dan konstelasi baru.
Adit, aku mulai mengerti. 'Galaksi' itu... apakah itu tentang aku? Tentang diriku yang baru, yang harus kubentuk dari pecahan-pecahan yang ada? Tentang bintang-bintang yang akan bersinar dalam kegelapanku?
Aku menunggu. Jeda itu kembali. Kali ini, tidak ada tulisan. Hanya keheningan yang panjang, dan rasa dingin yang merayap dari halaman. Aku mencengkram buku catatan itu erat-erat. Ketakutan itu kembali. Ketakutan bahwa koneksi kami semakin menipis. Ketakutan bahwa Adit akan pergi selamanya.
(Flashback)
Itu adalah malam kencan pertama kami, setelah Adit akhirnya memberanikan diri mengajakku. Kami duduk di bukit kecil di pinggir kota, di bawah langit malam yang bertaburan bintang. Adit menunjuk ke arah Bima Sakti yang samar.
"Lihat itu, Lil," bisiknya. "Indah ya? Rasanya kayak kita cuma butiran debu di dalam galaksi raksasa ini. Kecil banget."
Aku tersenyum. "Tapi kita ada. Dan kita bersama."
Adit menoleh padaku, matanya berbinar dalam gelap. "Itu yang bikin aku percaya. Nggak peduli seberapa kecil kita, seberapa banyak masalah yang kita punya, kalau kita bersama, kita akan selalu menemukan jalan. Kita akan selalu jadi bintang yang bersinar, bahkan di galaksi yang paling gelap sekalipun." Ia meraih tanganku, jemarinya mengait erat. "Kita adalah konstelasi kita sendiri, Lil."
(Flashback Berakhir)
Konstelasi. Bintang. Galaksi.
Aku membuka mata. Air mata mengalir deras di pipiku. Adit. Ia ingin aku melihat diriku sebagai sebuah galaksi, sebuah konstelasi. Sebuah entitas yang utuh, bahkan jika terdiri dari pecahan-pecahan. Dan ia ingin aku bersinar. Untuk diriku sendiri.
Deadline Harvard. Personal statement. Aku tahu apa yang harus kutulis. Aku akan menulis tentang Galaksiku. Tentang perjalananku dari butiran debu yang tersesat menjadi konstelasi yang baru, yang kuat, yang bersinar bahkan di tengah kegelapan. Aku akan menuliskan tentang bagaimana Adit adalah bintang pemanduku, dan bagaimana ia mengajariku untuk menemukan bintang di dalam diriku sendiri.
Aku mulai mengetik di laptopku. Jemariku bergerak lebih cepat, lebih yakin. Kata-kata mengalir, mengukir kisah duka, kehilangan, dan penemuan. Bukan lagi tentang impian yang hancur, tapi tentang bagaimana aku membangun kembali sebuah galaksi baru dari pecahan-pecahan.
Malam itu, aku tidak tidur. Aku menulis. Menulis tentang diriku yang sesungguhnya. Tentang Galaksiku.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"