Malam itu, aku tidak bisa tidur. Tulisan Adit yang samar terus terngiang di benakku, berputar bersama kekhawatiranku tentang koneksi kami yang kian menipis. Ketakutan itu nyata: rasa dingin yang merayap dari kertas, sensasi kehilangan yang semakin mendalam setiap kali tulisan Adit muncul begitu rapuh. Aku tidak ingin ia pergi. Belum. Aku belum siap.
Pagi di sekolah terasa seperti kabut. Aku berusaha menyingkirkan semua pikiran itu, memaksakan diriku untuk fokus pada pelajaran Kimia, namun rumus-rumus di papan tulis seolah menari-nari tanpa makna. Di benakku, hanya ada satu petunjuk: Mayadi. Adit menyuruhku "cari teman", dan Maya sudah mengarahkan aku padanya. Mayadi, yang memiliki "mata seniman", yang melihat dunia dengan cara berbeda.
Saat bel istirahat berdering, aku melihat Mayadi mengemasi buku-bukunya dengan cepat, seolah ingin menghindari keramaian. Ia tidak sendirian. Ada beberapa teman yang bersamanya, yang sering terlihat bersama Adit dulu. Mayadi tertawa, mengibaskan rambutnya yang sedikit gondrong, gestur yang sangat mirip dengan Adit saat sedang gembira. Jantungku berdesir.
Aku mengambil napas dalam-dalam, menguatkan diri. Ini adalah "pilihan berani" yang Adit inginkan. Aku menghampirinya.
"Mayadi," panggilku, suaraku sedikit canggung.
Ia menoleh, tawa di bibirnya memudar saat melihatku. Teman-temannya di sampingnya ikut menoleh, lalu kembali sibuk dengan urusan mereka, seolah kehadiranku adalah sesuatu yang ingin mereka abaikan.
"Lily? Ada apa?" tanyanya, ada sedikit nada terkejut di suaranya.
"Aku... bisakah kita bicara sebentar?" tanyaku, merasa kikuk. Aku tidak tahu harus memulai dari mana.
Mayadi melirik teman-temannya. "Sekarang?" Ia terdengar ragu.
"Sebentar saja," kataku, mencoba memberanikan diri. "Ini tentang... Adit."
Mendengar nama Adit, Mayadi terdiam. Ekspresi wajahnya berubah, dari canggung menjadi serius. Teman-temannya seolah merasakan perubahan suasana, perlahan menjauh, memberi kami ruang. Mayadi mengangguk pelan. "Oke. Di taman belakang sekolah. Lebih tenang."
Kami berjalan dalam diam menuju taman belakang, sebuah area kecil yang jarang dilalui siswa. Udara di sana terasa lebih sejuk, dihiasi bangku-bangku kayu tua dan beberapa pohon rimbun. Mayadi duduk di salah satu bangku, aku mengikutinya.
"Jadi... ada apa?" tanyanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kubaca.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku masih kesulitan dengan personal statement-ku. Bu Arini terus menanyakan progresnya. Deadline November sudah dekat. Dan... aku tidak tahu harus menulis apa lagi."
Mayadi mengangguk. "Tentu saja. Ini pasti berat untukmu. Adit sangat bersemangat tentang Harvard-mu." Ia menunduk, mengusap lututnya. "Dia selalu cerita tentang bagaimana kalian merencanakan semuanya. Kamu ke Harvard, dia di sana. Kalian berdua akan jadi 'pasangan power' di kampus." Ada nada getir di suaranya.
"Dia... dia melihatku seperti itu?" tanyaku, suaraku nyaris berbisik. "Aku selalu merasa dia yang lebih 'power', dia yang lebih berani. Dia yang pertama melangkah ke Harvard."
Mayadi mendongak, menatapku lurus. "Lily, kamu itu api. Adit itu bahan bakar. Kalian saling melengkapi. Dia tidak pernah meragukanmu. Sama sekali. Kamu tahu, waktu dia cerita ke aku tentang kamu, dia bilang kamu itu penulis paling jujur yang dia kenal. Dia bilang kamu punya cara untuk melihat keindahan di hal-hal yang orang lain anggap biasa. Itu yang bikin dia percaya kamu akan menulis esai terbaik di dunia."
Aku terdiam. Kata-kata Mayadi, yang mengulang pujian Adit, menghangatkan hatiku yang dingin. Mata seniman. Mayadi memang punya mata itu.
"Dia... dia bilang aku punya 'mata seniman'?" tanyaku, merasa aneh mendengar itu dari Mayadi.
Mayadi mengangkat bahu. "Lebih kurang begitu. Dia bilang kamu bisa lihat 'jejak-jejak' yang nggak semua orang bisa lihat. Jejak di debu, jejak di angin, jejak di ingatan." Ia menatapku, sorot matanya yang intens seolah menembusku. "Apa itu yang kamu rasakan sekarang, Lil? Jejaknya?"
Jantungku berdebar kencang. Ia tahu. Atau setidaknya, ia merasakannya. Aku memeluk diriku sendiri, mencoba menahan emosi yang bergejolak. Bagaimana aku bisa menceritakan rahasia ini?
"Aku... aku tidak tahu apa maksudmu," ujarku, mencoba mengelak, tetapi suaraku bergetar.
Mayadi tersenyum tipis, senyum yang kali ini terasa penuh pengertian, bukan sinis. "Tidak apa-apa, Lil. Kamu tidak perlu cerita semuanya. Aku cuma tahu, Adit itu tidak pernah benar-benar pergi dari kita. Dia selalu meninggalkan jejaknya. Di mana-mana." Ia menunjuk ke arah lapangan sepak bola yang kosong di kejauhan. "Dulu, kalau dia lagi suntuk, atau nggak bisa dapat ide buat lagunya, dia selalu lari ke sana. Sendirian. Dia bilang, di sana, dia bisa dengar melodi dari angin."
Melodi dari angin. Jantungku berdesir. Itu yang Adit katakan di Bab 7: Dengarkan anginnya. Dengarkan hatimu. Di sana... ada sesuatu yang menantimu. Apakah ini yang Adit maksud? Lapangan sepak bola yang kosong?
"Mayadi... apa kamu pernah... merasakan hal aneh setelah Adit pergi?" tanyaku, memberanikan diri. Mataku terpaku pada ekspresinya, mencari petunjuk, mencari validasi.
Mayadi terdiam sesaat, tatapannya menerawang. "Aneh? Tentu saja. Semua ini aneh. Rasanya seperti... ada lubang di dadaku yang nggak bisa diisi. Dan kadang, aku dengar suaranya. Samar-samar, seperti dia lagi nyanyi. Padahal, aku tahu itu cuma imajinasiku." Ia menatapku. "Kenapa? Kamu juga?"
Aku terdiam. Jembatan itu. Ada kesamaan dalam pengalaman kami. Ia juga "mendengar" Adit. Bukan tulisan di jurnal, tapi gema suaranya. Perbedaan itu penting, tapi kesamaan intinya adalah, kami berdua masih merasakan kehadirannya.
"Aku... aku rasa begitu," bisikku. "Kadang-kadang."
Mayadi mengangguk, seolah aku baru saja mengonfirmasi sesuatu yang sudah lama ia duga. "Dia itu orang yang... meninggalkan jejak yang kuat. Nggak gampang dilupakan." Ia menatapku dengan sorot mata yang penuh empati. "Kamu harus lanjut, Lil. Untuk Adit. Dan untuk dirimu sendiri." Ia bangkit dari bangku. "Aku ada latihan band setelah ini. Kamu mau ikut?"
Aku terkejut. Latihan band. Mayadi dan musik. Ini adalah sisi Adit yang lain. Sisi yang belum pernah kucoba sendiri.
"Latihan band?" tanyaku, merasa bingung.
"Ya. Bandku. Kami lagi coba beberapa lagu baru. Mungkin kamu bisa kasih masukan," Mayadi tersenyum. "Adit pernah bilang, kamu itu ahli lirik. Dia selalu cerita tentang bagaimana kalian berdua nulis lagu bersama. Dia bilang, kamu dan dia adalah 'dua bagian dari sebuah lagu'. Dia musiknya, kamu liriknya."
Kata-kata itu menghantamku. Dua bagian dari sebuah lagu. Ya, Adit pernah mengatakan itu. Di jurnal. Di masa lalu. Ini bukan kebetulan. Ini adalah jejak yang semakin jelas.
"Aku... aku tidak tahu," kataku, ragu.
"Ayolah, Lil. Sekalian kamu bisa lihat bagaimana Adit bergaul dengan anak-anak musik," Mayadi terkekeh. "Dia kan dulu suka mendadak muncul di latihan band orang lain, cuma buat ngasih saran 'berharga'nya dia."
Aku tersenyum tipis. Kenangan itu... Adit memang begitu. Selalu ingin tahu, selalu ingin terlibat. Mungkin ini adalah cara untuk menemukan bagian dari Adit yang masih hidup di dalam diriku.
"Baiklah," kataku akhirnya. "Aku akan ikut."
Mayadi tersenyum lebar. "Oke! Latihan di studio sekolah, setelah pulang. Jangan telat." Ia mengacak rambutku pelan, lalu bergegas pergi.
Aku duduk di bangku itu, menatap ke arah lapangan sepak bola yang kosong. Angin berembus, membawa desiran samar. Aku menutup mataku, membiarkan kenangan dan petunjuk itu berputar di benakku. Adit ingin aku melangkah. Adit ingin aku "cari teman". Adit ingin aku "mengukir jejak". Dan Adit ingin aku "menemukan diri".
Aku membuka buku catatan biru tuaku. Tulisan Adit masih ada di sana, samar namun jelas. Jangan takut, Lil. Ikuti saja... jejaknya. Sampai kau menemukan... dirimu.
Aku meraih pena. Kali ini, aku tidak menulis pertanyaan. Aku mulai menulis. Bukan tentang duka, bukan tentang kehilangan. Tapi tentang Mayadi. Tentang lapangan sepak bola. Tentang "mata seniman". Aku mulai menuliskan apa yang kulihat, apa yang kurasakan, tanpa perlu menunggu balasan dari Adit. Aku menulis untuk diriku sendiri, dengan jejak-jejak yang ditinggalkan Adit sebagai panduan.
Malam itu, aku menghabiskan berjam-jam di kamarku. Bukan hanya menulis di jurnal, tetapi juga mencari informasi tentang musik, tentang cara menulis lirik, tentang band-band lokal. Pikiran Adit, jejaknya, seolah membimbingku ke arah yang baru. Sebuah arah yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, lepas dari bayangan Harvard. Sebuah arah yang terasa... seperti diriku sendiri.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"