Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
MENU
About Us  

Kata-kata Adit—Melepaskan hal yang paling kamu cintai—terus terngiang di benakku, mengukir lubang perih di hatiku. Duduk di "singgasana pemikir" di lapangan hijau itu, angin sepoi-sepoi yang semula menenangkan kini terasa seperti bisikan peringatan. Bagaimana aku bisa melepaskan satu-satunya jembatan yang menghubungkan aku dengan Adit? Bagaimana aku bisa mengucapkan selamat tinggal pada ilusi kehadirannya yang begitu kuharapkan?

Aku kembali ke rumah dengan langkah gontai, membawa buku catatan biru tua itu seolah itu adalah benda paling rapuh di dunia. Setiap goresan tinta Adit terasa lebih berat, lebih menuntut. Aku tahu, secara rasional, ini adalah bagian dari proses. Adit ingin aku melangkah maju. Tapi secara emosional, itu adalah sebuah siksaan.

Malam itu, aku mencoba melanjutkan personal statement-ku di laptop. Kursor berkedip-kedip di bawah kalimat pembuka yang Adit tulis. "Jejak kita di dunia ini akan diukir oleh pilihan yang berani, Lil." Kata "pilihan yang berani" kini terasa ironis. Apa pilihan berani yang bisa kuambil jika setiap langkah terasa seperti mengkhianati seseorang yang telah pergi?

Aku membalik halaman ke percakapan terakhirku dengan Adit di jurnal.

Adit, aku tidak bisa. Bagaimana aku bisa melepaskanmu? Aku tidak bisa menulis esai ini jika itu berarti aku harus melupakanmu.

Ada jeda yang sangat panjang sebelum tulisan Adit muncul. Kali ini, tidak hanya samar, tetapi juga sedikit bergetar, seolah ia juga berjuang.

Lil... bukan melupakan. Hanya... menerima. Ada sesuatu yang menantimu di dunia nyata. Jangan biarkan masa lalu menahanmu. Aku ingin kamu bahagia. Aku ingin kamu... bebas.

Bebas. Kata itu terasa begitu asing di telingaku. Bagaimana mungkin aku bebas saat sebagian diriku masih terpenjara oleh dukaku, oleh rahasia ini, oleh komunikasi yang tak seorang pun akan percaya?

Aku ingin membantah. Aku ingin berteriak bahwa ia tidak mengerti. Tapi aku juga tahu ia benar. Setiap kali aku terlalu tenggelam dalam percakapan kami, aku semakin menjauh dari duniaku sendiri. Aku mengabaikan Maya. Aku menghindar dari teman-teman lain. Deadline Harvard semakin dekat, tapi aku tidak bisa fokus.

Aku menutup buku catatan itu, menyimpannya di bawah bantal. Aku butuh istirahat dari ini. Aku butuh istirahat dari Adit, dan dari diriku sendiri.

Keesokan harinya, di sekolah, aku memutuskan untuk tidak lagi menghindar. Aku mencari Maya saat jam istirahat. Ia duduk di meja yang sama, menatapku dengan sorot mata yang masih menyimpan luka.

"Maya," panggilku, menghampirinya.

Maya menoleh, ada sedikit keterkejutan di matanya. "Hai," jawabnya singkat.

Aku duduk di sampingnya. "Aku... aku minta maaf soal kemarin. Aku tahu aku keterlaluan."

Maya menghela napas. "Kamu memang keterlaluan, Lil. Kami semua khawatir. Ibu Adit juga. Dia selalu menanyakan kabarmu."

Dadaku sesak mendengar nama Ibu Adit. Aku tahu betapa beratnya ini bagi beliau. Aku belum berani menghubunginya sejak Adit tiada. "Aku tahu," bisikku. "Aku hanya... tidak tahu harus berkata apa."

"Kamu tidak perlu berkata apa-apa. Cukup datang. Cukup ada," Maya menyentuh tanganku. "Kami semua merindukan Adit. Aku merindukan tawa kita bertiga. Dulu kita selalu bersama. Sekarang... rasanya aneh."

Aku mengangguk. "Aku juga merindukan itu." Ada kerinduan yang mendalam akan masa-masa sebelum semua ini terjadi, masa-masa di mana impian kami begitu jelas, begitu nyata.

"Tadi pagi, Bu Arini menanyakanku tentang progres personal statement-mu," kata Maya, mengubah topik, seolah ingin meringankan suasana. "Dia bilang deadline Early Action sudah di depan mata. Kamu beneran masih mau lanjut?"

Pertanyaan itu menusukku. Personal statement. Impian yang kini terasa hampa. "Aku... aku tidak tahu, Maya," jawabku jujur. "Rasanya... tidak sama lagi. Bagaimana aku bisa menulis tentang impian itu kalau Adit tidak ada?"

Maya menatapku lekat. "Adit ingin kamu melanjutkan, Lil. Dia sudah berhasil. Sekarang giliranmu. Kamu nggak boleh menyerah. Itu bukan kamu."

Kata-kata Maya, yang begitu yakin, terasa seperti tamparan dingin. Ia tidak tahu apa yang kurasakan, tidak tahu bahwa Adit sendiri pun sedang "memintaku" untuk melepaskan. Tapi ia juga benar. Menyerah bukan diriku. Menyerah bukan apa yang Adit inginkan dariku.

"Aku tahu," kataku, menghela napas. "Aku hanya... merasa tersesat. Aku tidak tahu harus menulis apa lagi. Semua yang kutulis terasa seperti... kebohongan."

Maya mengerutkan kening. "Kebohongan? Kenapa begitu?"

Aku menggelengkan kepala, tidak bisa menjelaskan. "Aku hanya butuh... inspirasi baru. Atau... petunjuk baru."

Maya terdiam sejenak, lalu matanya beralih ke Mayadi yang sedang duduk di meja seberang, sibuk dengan buku sketsanya. "Mungkin kamu bisa coba bicara sama Mayadi," usulnya, suaranya pelan. "Dia juga... terpukul banget dengan kepergian Adit. Tapi dia punya cara unik untuk melihat dunia. Adit selalu bilang, Mayadi itu punya 'mata seniman' yang bisa melihat keindahan di setiap sudut. Mungkin dia bisa memberimu perspektif baru."

Aku terkejut. Maya menyarankan Mayadi. Sama seperti petunjuk Adit di jurnal. Apakah ini kebetulan? Atau memang ini yang harus kuikuti? Mayadi. Dia yang selalu terlihat acuh tak acuh, namun kemarin menunjukkan kesedihan yang sama denganku. Aku menghela napas. Petunjuk ini terasa begitu kuat.

(Flashback)

Itu adalah pameran seni sekolah, tahun lalu. Aku sedang melihat-lihat lukisan abstrak yang warnanya membingungkan, mencoba mencari makna di baliknya. Adit berada di sampingku, tersenyum geli.

"Seni itu nggak perlu dipahami, Lil," bisiknya. "Cukup dirasakan."

Mayadi muncul di samping kami, wajahnya datar, menatap lukisan itu. "Ini sampah."

Aku dan Adit menoleh padanya. "Mayadi!" tegur Adit.

Mayadi mengangkat bahu. "Apa? Memangnya itu bukan sampah? Cuma coret-coretan asal. Buat apa dipajang?"

"Bukan begitu cara kerjanya, Mayadi," Adit menjelaskan dengan sabar. "Seni itu punya perspektif yang beda-beda. Kadang, keindahan itu justru ada di kekacauan. Kayak hidup. Kamu harus melihatnya dari sudut lain."

Mayadi hanya mendengus. "Aku cuma melihat sampah."

Adit menggelengkan kepala, lalu menoleh padaku. "Jangan dengarkan dia, Lil. Mayadi itu memang begitu. Dia punya 'mata seniman', tapi kadang dia nggak mau pakai kacamatanya. Dia cuma mau melihat hal yang dia mau lihat. Padahal, kalau dia mau sedikit saja membuka mata, dia akan melihat dunia yang jauh lebih indah dari yang ia bayangkan."

(Flashback Berakhir)

Aku menatap Mayadi yang kini duduk di meja seberang. Mata seniman. Adit benar. Mayadi memang melihat dunia dengan cara berbeda. Mungkin itulah yang aku butuhkan sekarang. Perspektif baru untuk melihat kehancuran ini.

"Lily?" Suara Maya menarikku kembali. "Jadi... kamu mau coba bicara sama dia?"

Aku mengangguk perlahan. "Ya. Aku akan coba."

Malam itu, aku kembali pada jurnal biru tuaku. Aku membiarkan jari-jariku menelusuri tulisan Adit, tulisan yang kini terasa semakin penting, semakin mendesak.

Jejak-jejak yang tertinggal... petunjuk baru... seseorang yang melihat dunia dengan cara berbeda.

Aku menuliskan di bawahnya:

Adit, aku mencoba memahami. Aku bicara dengan Maya. Dan aku akan mencoba bicara dengan Mayadi. Apakah itu maksudmu? Apakah mereka 'petunjuk baru' itu? Aku merasa takut. Takut kalau aku salah menafsirkanmu. Takut kalau ini hanya ilusi.

Aku menunggu. Jeda itu kembali. Lebih panjang dari sebelumnya. Ketakutan itu mencengkeramku. Aku khawatir ia akan menghilang. Aku khawatir ini adalah salah satu dari "batas" yang ia bicarakan. Bahwa ia akan pergi selamanya.

Akhirnya, setelah penantian yang terasa seperti keabadian, goresan tinta muncul. Sangat samar, nyaris tak terlihat, seolah napas terakhir yang terembus di atas kertas.

Jangan takut, Lil. Ikuti saja... jejaknya. Sampai kau menemukan... dirimu.

Tulisan itu begitu rapuh, begitu nyaris tak ada. Dadaku bergetar. Apakah ini berarti koneksi kami semakin melemah? Apakah Adit benar-benar akan pergi? Pesan itu, Sampai kau menemukan... dirimu, seolah adalah kalimat perpisahan yang samar, sebuah dorongan terakhir sebelum ia menghilang sepenuhnya.

Rasa dingin merayap dari kertas, melingkupiku. Aku memeluk buku catatan itu erat-erat, seolah ingin menahan Adit di sana, di antara halaman-halaman itu. Aku tidak ingin ia pergi. Belum. Aku belum siap. Aku belum menemukan diriku. Aku masih butuh dia.

Pikiran itu terus mengganggu, membuatku gelisah. Jika koneksi ini semakin melemah, aku harus melakukan sesuatu. Aku harus menyelesaikan personal statement itu. Aku harus membuktikan padanya, pada dunia, dan pada diriku sendiri bahwa aku bisa. Aku akan mengambil 'pilihan yang berani'.

Aku membalik halaman. Jurnal itu terasa berat di tanganku. Berat dengan rahasia, berat dengan duka, dan berat dengan sisa-sisa harapan yang rapuh. Malam itu, aku tidak tidur. Aku hanya menatap halaman kosong, memikirkan petunjuk Adit, dan memikirkan bagaimana aku bisa melanjutkan jejak ini sendirian.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • itsbooo

    😭😭😭😭

    Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"
  • lizuyy

    Brooo ide nya fresh bangettt, sumpil sumpill bedaaa..
    pliss ngeship lily dan siapa yak?

Similar Tags
dr. romance
943      557     3     
Short Story
melihat dan merasakan ucapan terimakasih yang tulus dari keluarga pasien karena berhasil menyelamatkan pasien.membuatnya bangga akan profesinya menjadi seorang dokter.
Moira
25439      2580     5     
Romance
Diana adalah seorang ratu yang tidak dicintai rajanya sendiri, Lucas Jours Houston, raja ketiga belas Kerajaan Xavier. Ia dijodohkan karena pengaruh keluarganya dalam bidang pertanian dan batu bara terhadap perekonomian Kerajaan Xavier. Sayangnya, Lucas sudah memiliki dambaan hati, Cecilia Barton, teman masa kecilnya sekaligus salah satu keluarga Barton yang terkenal loyal terhadap Kerajaan Xavie...
Bunga Hortensia
1610      68     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Photograph
1638      783     1     
Romance
Ada banyak hal yang bisa terjadi di dunia dan bertemu Gio adalah salah satu hal yang tak pernah kuduga. Gio itu manusia menyenangkan sekaligus mengesalkan, sialnya rasa nyaman membuatku seperti pulang ketika berada di dekatnya. Hanya saja, jika tak ada yang benar-benar abadi, sampai kapan rasa itu akan tetap ada di hati?
Lantunan Ayat Cinta Azra
808      530     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
H : HATI SEMUA MAKHLUK MILIK ALLAH
31      29     0     
Romance
Rasa suka dan cinta adalah fitrah setiap manusia.Perasaan itu tidak salah.namun,ia akan salah jika kau biarkan rasa itu tumbuh sesukanya dan memetiknya sebelum kuncupnya mekar. Jadi,pesanku adalah kubur saja rasa itu dalam-dalam.Biarkan hanya Kau dan Allah yang tau.Maka,Kau akan temukan betapa indah skenario Allah.Perasaan yang Kau simpan itu bisa jadi telah merekah indah saat sabarmu Kau luaska...
Selepas patah
202      166     1     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Harmonia
4299      1356     4     
Humor
Kumpulan cerpen yang akan membuat hidup Anda berubah 360 derajat (muter ke tempat semula). Berisi tentang kisah-kisah inspiratif yang memotivasi dengan kemasan humor versi bangsa Yunani. Jika diterbitkan dalam bentuk cetak, buku ini akan sangat serba guna (bisa untuk bungkus gorengan). Anda akan mengalami sedikit mual dan pusing ketika membacanya. Selamat membaca, selamat terinspirasi, dan jangan...
Life
315      219     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu
Dunia Sasha
6405      2176     1     
Romance
Fase baru kehidupan dimulai ketika Raisa Kamila sepenuhnya lepas dari seragam putih abu-abu di usianya yang ke-17 tahun. Fase baru mempertemukannya pada sosok Aran Dinata, Cinta Pertama yang manis dan Keisha Amanda Westring, gadis hedonisme pengidap gangguan kepribadian antisosial yang kerap kali berniat menghancurkan hidupnya. Takdir tak pernah salah menempatkan pemerannya. Ketiganya memiliki ...