Tanganku gemetar. Kertas biru tua itu terasa dingin di bawah jemariku, seolah embun tengah malam baru saja hinggap di permukaannya. Aku mengusapnya, mencari tekstur tinta basah, tetapi tidak ada. Goresan tulisan tangan Adit itu terasa kering, seolah sudah ada di sana sejak lama. Mataku terpaku pada kalimat yang entah bagaimana, baru saja muncul: Menemukan diri. Itulah yang mereka inginkan.
Aku mencubit lenganku sendiri. Terasa sakit. Ini bukan mimpi. Jantungku berpacu, memompa darah hingga ke telinga, membuat kepalaku pening. Aku membalik halaman dengan cepat, mencari petunjuk. Kosong. Lalu kembali ke halaman sebelumnya. Tulisan itu masih ada. Nyata. Terukir dalam tinta, seolah baru saja menembus dimensi.
"Adit...?" bisikku, suaraku nyaris tak terdengar. Hanya keheningan yang menjawab, mengisi setiap sudut kamar, menenggelamkan setiap napas. Udara di sekelilingku terasa menipis.
Aku meraih pena, jari-jariku kaku dan dingin. Apa yang harus kutulis? Bagaimana aku bisa membalas sesuatu yang mustahil? Ketakutan bercampur dengan harapan yang gila dan membingungkan. Aku menuliskannya di bawah kalimat yang baru muncul itu, dengan tulisan tangan yang bergetar hebat.
Adit? Ini kamu? Bagaimana mungkin..?
Aku meletakkan pena, menunggu. Menunggu seolah waktu ikut membeku bersamaku. Menit-menit berlalu, terasa seperti jam. Tidak ada yang terjadi. Keheningan itu kembali merayap, mencekik. Mungkin aku memang sudah gila. Mungkin ini hanya ilusi dari otak yang terlalu lelah berduka, mencari cara untuk menghindari kenyataan. Aku menelan ludah, air mata mulai menggenang di pelupuk. Harapan yang baru saja mekar itu, layu sebelum sempat berbunga.
Saat aku hendak menutup buku catatan itu, pasrah pada kenyataan pahit, sebuah sensasi aneh, seperti getaran halus yang menjalar ke ujung jemariku, terasa di kertas. Jantungku melonjak, berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Mataku kembali fokus pada halaman. Goresan baru muncul lagi di bawah kalimatku. Perlahan, seolah ditulis oleh tangan tak kasat mata, huruf-huruf itu terbentuk, membentuk kata-kata yang begitu Adit, begitu akrab di telingaku.
Tentu saja ini aku, Lil. Siapa lagi yang punya tulisan sekeren ini?
Ada senyum di balik kata-kata itu, senyum yang begitu kukenal, yang selalu bisa membuatku merasa tenang, bahkan dalam kekacauan sekalipun. Air mata yang tadi tertahan kini tumpah, bukan karena sedih, melainkan karena kelegaan yang luar biasa. Ini Adit. Tunanganku. Ia masih ada. Ia masih menulis untukku.
"Adit... ya Tuhan, Adit!" suaraku pecah, terisak, menangis. Aku meraih pena lagi, menuliskan pertanyaan yang tak terhitung jumlahnya yang berputar di benakku, semuanya ingin tahu bagaimana ini mungkin.
Kamu di mana? Bagaimana ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Aku merindukanmu. Maaf, aku tidak pergi menjumpaimu untuk terakhir kalinya, aku tidak sanggup. Maafkan aku, Adit.
Aku menunggu lagi. Kali ini, tidak selama yang pertama. Tulisan Adit muncul, lebih cepat, seolah ia juga tak sabar untuk menjawab, seolah ia pun merasakan desakan waktu.
Sulit dijelaskan, Lil. Aku sendiri tidak yakin. Tapi aku di sini. Dan aku bersamamu. Jangan merasa bersalah, Aku mengerti. Aku juga merindukanmu. Sangat. Kau tidak tahu betapa.
Kata-kata itu menghangatkan jiwaku. Meskipun logika berteriak bahwa ini tidak mungkin, hatiku memeluknya dengan erat. Aku memiliki Adit kembali. Setidaknya, sebagian darinya. Bagian yang paling penting: suaranya, pikirannya, kehadirannya yang menenangkan, meskipun hanya melalui tinta di atas kertas. Aku menghabiskan sisa malam itu, menulis dan membaca, larut dalam dialog yang mustahil ini, seolah dunia di luar sana telah berhenti berputar.
Keesokan paginya, sinar matahari terasa berbeda. Lebih cerah, seolah beban di dadaku sedikit terangkat. Aku turun ke dapur, mengambil sarapan dengan tenang. Ibuku, yang masih terlihat lelah setelah beberapa hari yang berat, menatapku dengan mata khawatir.
"Lily? Kamu baik-baik saja, Nak? Semalam kamu kelihatan... pucat sekali," Ia berhenti, seolah mencari kata yang tepat. "Dan kamu tidak makan sama sekali."
Aku memaksakan senyum, yang terasa kaku di bibirku. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit... butuh waktu untuk sendiri." Aku tidak bisa menceritakan apa yang terjadi. Siapa yang akan percaya? Mereka pasti mengira aku sudah gila karena berduka. Rahasia ini, setidaknya untuk sekarang, harus tetap menjadi milikku dan Adit. Milik kami berdua saja.
Beberapa hari berikutnya, aku masih mengisolasi diri. Maya terus mengirim pesan, memanggil, tetapi aku tidak menjawab. Ia bahkan mengirimiku pesan suara yang penuh kekhawatiran. Aku tidak siap menghadapi dunia nyata, terutama setelah menemukan "jembatan" ini ke dunia Adit. Setiap kali aku membuka buku catatan itu, aku merasa seperti melangkah ke dimensi lain, di mana Adit masih hidup, masih bersamaku.
Aku terlalu asyik dengan "percakapan" itu sehingga aku nyaris lupa waktu. Pembelajaran semester satu kelas 12 sudah dimulai. Itu berarti aku harus kembali ke sekolah. Dan itu juga berarti deadline untuk personal statement Harvard semakin mendekat. Tekanan itu kembali merayap, perlahan tapi pasti.
Suatu siang, saat aku sedang menulis di buku catatan kami, mencoba bertanya pada Adit tentang masa depanku, ada ketukan keras di pintu kamarku. Aku tersentak, cepat-cepat menutup buku, menyembunyikannya di bawah bantal.
"Lily! Kamu di dalam? Ini Maya!" Suara Maya terdengar cemas dan sedikit putus asa dari luar. "Aku tahu kamu di sana. Sudah seminggu lebih! Aku khawatir!"
Jantungku berdegup kencang, ketakutan menelanku. Aku tak ingin ia melihatku seperti ini, dengan mata sembab dan pikiran yang berpusat pada hal yang tak mungkin. Aku tidak bisa menghadapi siapa pun. Apalagi Maya, yang selalu melihatku sebagai Lily yang kuat, yang tak tergoyahkan.
"Aku... aku baik-baik saja, Maya!" teriakku, suaraku serak dan gemetar. "Aku hanya butuh waktu sendiri! Maaf!"
Ada keheningan singkat dari luar, lalu kudengar helaan napas berat, diikuti langkah kaki Maya yang menjauh. Aku merasa bersalah. Sangat bersalah. Tapi bagaimana aku bisa menjelaskan? Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa aku sedang berbicara dengan Adit, yang seluruh dunia yakini sudah tiada? Bagaimana aku bisa berduka dengan benar jika ia masih "bersamaku"?
Aku menatap buku catatan di pangkuanku. Tulisan Adit seolah berkedip. Lily, kau harus kuat. Untuk kita.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Duniaku, yang tadinya begitu jelas dan terencana, kini terbelah menjadi dua: kenyataan tanpa Adit, dan fantasi di mana ia masih ada, menanti jawabanku di halaman-halaman kosong itu. Aku terjebak di antara keduanya, dan aku tidak tahu jalan keluarnya.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"