Jakarta, Juni 2024
Aroma kopi susu dari dapur dan samar-samar wangi melati dari pot di beranda menyusup ke kamarku, beradu dengan dengung kipas angin di dinding. Itu bulan Juni. Liburan semester telah tiba, dan di depanku terhampar waktu luang yang seharusnya berarti kebebasan. Tapi bukan itu yang kurasakan. Di layar laptop, kursor berkedip-kedip, menantangku. Sebuah halaman Microsoft Word yang nyaris kosong.
"Masih kosong, Lil?"
Suara Adit, sehangat mentari pagi yang menerobos celah tirai, membuatku menoleh. Ia bersandar di kusen pintu, rambut hitamnya jatuh lembut di dahi, senyum tipis terukir di bibirnya. Kaos putih polos yang dikenakannya menonjolkan kulitnya yang kecokelatan, warisan dari liburan musim panasnya di Indonesia. Matanya yang cokelat gelap, selalu memancarkan binar rasa ingin tahu dan kepercayaan yang tak pernah ku ragukan.
"Lihat ini," ia melangkah mendekat, jarinya menunjuk layar laptop. "Bagaimana bisa satu paragraf pembuka membuatku merasa begitu... telanjang?"
Adit tertawa pelan, tawanya seolah mengalirkan kehangatan ke seluruh ruangan. "Itulah seni menulis personal statement, Lil. Kamu harus berani membuka diri. Toh, mereka ingin mengenalmu, bukan cuma angka-angka di rapor." Ia mengambil buku catatan bercover biru tua yang tergeletak di samping laptop. Jurnal itu, yang dulu kuberikan padanya sebagai hadiah ulang tahun, kini penuh coretan tangannya dan tanganku. Sebuah kolaborasi tak terucapkan dari impian kami.
"Tapi ini kan Harvard, Dit," desisku, membetulkan letak laptop di pahaku, seolah ingin bersembunyi di baliknya. "Bukan cuma sekadar 'mengenal'. Mereka ingin tahu apakah aku bisa mengubah dunia dengan satu esai."
"Kamu bisa, Lil," Adit berbisik, mendekatkan wajahnya. Hembusan napasnya menerpa pipiku, membawa aroma maskulin yang akrab, perpaduan aromatic woody dan citrus yang segar. "Bukankah kita sudah bahas ini? Kamu adalah 'api' dalam hubungan kita. Aku cuma 'bahan bakar' yang membantu kamu menyala." Ia membalik halaman jurnal, menunjukkan tulisan tangannya yang rapi di sana, beberapa kalimat pembuka yang ia tuliskan untukku semalam. Kata-kata itu, meski singkat, terasa begitu kuat, seolah mengandung seluruh ambisi kami.
"Jejak kita di dunia ini akan diukir oleh pilihan yang berani, Lil."
Membaca itu, ada getaran aneh di hatiku. Jejak kita di dunia ini. Pilihan yang berani. Sebuah tema yang terdengar begitu agung, begitu filosofis, namun terasa begitu jauh saat ini. Aku tahu, Adit sudah berhasil. Pengumuman penerimaan Early Action-nya ke Harvard bulan Desember lalu adalah puncak impian kami berdua. Setiap detail kecil dari penerimaannya masih terekam jelas di benakku: email yang tiba di tengah malam, teriakan kegembiraan Adit yang membangunkan seisi rumah, dan pelukan erat kami yang terasa seperti seluruh dunia ikut berputar. Kini giliranku. Dan aku, entah bagaimana, merasa lumpuh.
"Aku akan membantumu sampai tuntas, janji," kata Adit, mengambil pena dari meja. Gerakan tangannya begitu percaya diri, begitu pasti, seolah setiap coretan pena adalah langkah menuju masa depan yang telah kami rancang bersama. "Toh, ini impian kita bersama, kan?"
Aku mengangguk, mataku terpaku pada pena yang menari di tangannya, membentuk kalimat-kalimat di jurnal kami. Harvard. Kota di pesisir Timur. Apartemen kecil hangat yang kami impikan di sana. Studio musik untuk Adit, meja tulis yang menghadap jendela kota untukku. Semua itu terasa begitu nyata, begitu dekat, tergambar jelas di benakku. Adit adalah kompas dan petaku. Tanpa dia, aku tidak tahu harus ke mana. Ia adalah alasan dan kekuatanku.
Malam itu, setelah Adit pulang, aku mencoba melanjutkan sendiri. Pena kugenggam di tanganku, menatap halaman di laptop yang masih setengah kosong, mencoba memanggil kembali inspirasi yang Adit bawa. Aroma tinta pena yang baru dan kertas segar memenuhi indraku. Aku menulis beberapa kalimat. Menghapus. Menulis lagi. Frustrasi, aku beranjak dari meja. Lebih mudah jika Adit ada di sini.
"Lil, ini dia draf kedua. Aku yakin kamu pasti suka," Adit mengirimkan pesan padaku keesokan paginya, sebelum ia pergi mengantar orang tuanya ke bandara untuk penerbangan pagi. "Jangan lupa, jam 3 nanti kita ke toko buku Pak Herman. Cari referensi untuk esai." Pesannya begitu khas Adit; selalu antusias, selalu merencanakan.
Aku tersenyum membaca pesannya. Adit selalu begitu. Selalu punya rencana. Selalu menjadi yang pertama untuk bertindak. Aku mencetak draf itu, berencana untuk menulis ulang dan menambahkan catatan di buku catatan kami. Setiap pagi, aku menanti pesan atau kunjungannya, menunggu inspirasi itu datang lagi.
Waktu berlalu begitu cepat. Juni beralih ke Juli. Sesi menulis kami di kafe favorit di sudut jalan, di bangku taman kota, atau di perpustakaan yang sunyi, menjadi rutinitas menyenangkan yang tak bisa kutinggalkan. Adit tak pernah lelah mendorongku, memberiku ide, dan menantang pikiranku. Ia adalah motivator terbesarku, cermin bagi ambisiku. Aku merasa bahwa impian Harvard ini bukan hanya milikku, tapi impian kami berdua. Aku tidak bisa membayangkan melakukannya tanpanya.
"Pokoknya, awal Agustus aku harus balik ke Amerika, Lil," kata Adit suatu sore di akhir Juli, saat kami duduk di kafe, sambil membolak-balik jurnal. "Kamu harus bisa lanjut sendiri, ya? Aku yakin kamu akan diterima." Sorot matanya saat mengatakan itu begitu penuh keyakinan padaku, seolah ia melihat masa depan kami terbentang jelas.
"Tentu saja," jawabku, meskipun ada getaran di hatiku. Keberanianku terasa bergantung sepenuhnya padanya. "Aku pasti akan menyusulmu."
Adit tersenyum, menyentuh pipiku. Jemarinya dingin, namun sentuhannya meninggalkan kehangatan yang merambat di kulitku. "Aku tahu itu," ucapnya lembut.
Beberapa hari kemudian, duniaku runtuh. Panggilan telepon di tengah malam. Suara Maya yang terisak-isak, tak bisa bicara jelas. Ayah yang bergegas pergi dengan wajah pucat. Aku hanya bisa membeku. Adit. Meninggal. Kecelakaan. Kata-kata itu berputar-putar di benakku, kehilangan maknanya. Mustahil. Adit akan kembali ke Amerika awal Agustus. Ini tidak mungkin.Beberapa hari kemudian, duniaku runtuh. Panggilan telepon di tengah malam. Suara Maya yang terisak-isak, tak bisa bicara jelas. Ayah yang bergegas pergi dengan wajah pucat. Seketika, kilatan cahaya terang dan suara decitan rem keras samar-samar melintas di kepalaku, seolah ingatan yang terkubur dalam. Lalu... keheningan yang menakutkan. Aku hanya bisa membeku. Adit. Meninggal. Kecelakaan. Kata-kata itu berputar-putar di benakku, kehilangan maknanya. Mustahil. Adit akan kembali ke Amerika awal Agustus. Ini tidak mungkin.
Aku menolak untuk percaya. Aku tidak pergi ke pemakaman Adit. Tidak, aku tidak bisa. Aku mengunci diri di kamar. Ponsel tergeletak begitu saja di meja, pesan dan panggilan tak terjawab bertumpuk, seolah dunia di luar sana berhenti peduli. Maya mencoba datang, Mayadi juga, kudengar suara ketukan di pintu. Tapi aku tidak bisa menghadapi siapa pun. Mereka berduka, tapi duka mereka terasa berbeda. Aku tidak bisa. Rasanya seperti ada dinding tak terlihat di antara aku dan dunia. Aku hanya bisa memeluk buku catatan bercover biru tua itu, yang berisi tulisan tanganku dan Adit, seolah itu satu-satunya hal yang tersisa darinya, satu-satunya bukti bahwa ia pernah ada. Aroma tinta pena yang baru dan kertas segar kini bercampur dengan bau air mata dan putus asa.
Malam itu, dalam kesendirian yang menyesakkan, aku membuka buku catatan itu. Pada halaman terakhir yang kami tulis bersama, ada kalimat penutup Adit untuk sebuah paragraf yang ia bantu rumuskan untukku: "Ini adalah perjalanan menemukan diri, dan aku siap melangkah..."
Mataku membaca kalimat itu berulang kali, setiap kata terasa seperti tusukan. Perjalanan menemukan diri. Bagaimana aku bisa menemukan diri jika bagian terpenting dari diriku telah hilang? Pena tergeletak di sampingku, dingin. Aku menghela napas, menatap halaman yang kosong di bawah tulisan Adit. Hampa.
Tiba-tiba, aku melihatnya. Tulisan baru muncul di bawah kalimat Adit. Tidak, itu tidak mungkin. Sebuah goresan halus, seolah baru saja ditulis, muncul perlahan di atas kertas yang sama. Tulisan tangan itu... Aku kenal sekali. Itu tulisan tangan Adit. Jantungku berdegup kencang, memukul-mukul rusukku seperti burung terperangkap.
Apakah aku gila?
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"