Loading...
Logo TinLit
Read Story - Winter Elegy
MENU
About Us  

 

Ketika kedua mata terpejam, Kayra merasa beban berat di pundaknya sedikit demi sedikit menjadi ringan. Tak jauh darinya, suara Dr. Indira masih memberi arahan untuk dirinya merasa rileks. Kini sofa panjang yang menaungi seluruh tubuhnya telah menjadi spot ternyaman di ruangan itu. Setelah merasa rileks, Kayra membuka matanya kembali. Dilihatnya Dr. Indira sedang tersenyum melihatnya. 

Kayra bertanya dalam hatinya, bagaimana seseorang bisa dengan mudahnya tersenyum?

“Apa di kantor kamu sering ngobrol dengan rekan kerjamu?” tanya Dr. Indira setelah membaca Jurnal pertama Kayra.

Kayra bingung dengan definisi mengobrol yang ditanyakan Dr. Indira barusan. “Jika topiknya hanya soal pekerjaan, apakah itu bisa disebut mengobrol?”

“Tentu saja.”

“Tidak sering. Hanya untuk beberapa issue yang penting. Selain itu, kami berkoordinasi melalui room chat.”

“Bagaimana perlakuan mereka kepadamu? Apakah baik?”

Kayra mengangguk. “Mereka baik. Aku yang lebih suka menghindar. Aku lebih senang jika mereka tidak melihatku.”

Dr. Indira merapatkan kedua tangan di depan wajahnya. “Siapa yang paling sering mengajakmu mengobrol?”

“Office bo.”

Kedua mata Dr. Indira tampak membulat, “Kamu dekat dengan Office boy? Kalian seumuran?”

Kayra hanya menggeleng. “Usianya sekitar 40 tahun kalau tidak salah. Setiap jam makan siang, dia sering berbicara. Aku hanya mendengar.”

“Kamu nyaman mendengar cerita-ceritanya?”

“Terkadang. Aku pernah melihatnya bercerita sambil menangis. Waktu itu kucing kesayangannya di kampung mati. Banyak sekali yang dia ceritakan. Aku sampai lupa.”

Dr. Indira mengangangguk-angguk, lantas menuliskan sesuatu di dalam jurnal bertuliskan nama Kayra. Di sana dia mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan Kayra. Ini sesi kedua mereka, sehingga arsip khusus untuk Kayra masih sedikit. Hanya Jurnal dan kertas-kertas yang sudah di isi Kayra.

“Cobalah membuka diri dengan orang lain, Kayra. Bahkan jika orang itu adalah orang asing sekalipun. Kamu bisa memutuskan untuk berhenti jika usahamu tidak membawa perubahan sedikitpun.”

“Bagaimana jika aku tidak bisa?”

“Untuk itu, kamu tidak boleh hanya sekali mencoba.”

“Apakah itu akan berhasil?”

“Coba saja!” jawab Dr. Indira. “Kita tidak akan pernah tahu sebelum mencobanya,” Dia terlihat jauh lebih bersemangat dari Kayra.

Kayra belum pernah mengindahkan saran Dr. Indira itu. Baginya, membuka diri dengan rekan kerja adalah hal yang sangat sulit dia lakukan. Dia pernah berusaha mencoba. Setidaknya kepada Office Boy yang dia singgung saat sesi kedua, namun lagi-lagi dia hanya bisa menjadi pendengar. Kayra merasa tidak ada hal yang harus dia ceritakan kepada orang lain. Baginya semua yang berkaitan dengan dirinya tidak penting. Maka tidak ada gunanya bercerita.

“Apa kau mau makan mie instan bersamaku?”

Dulu, Bapaknya selalu menawarkan makanan yang ada di dapur pada setiap tamu yang datang ke rumah. Office boy di kantornya sering menawarkan bekal yang dia masak kepadanya. Meski sering ditolak, dia tidak pernah jera menawarkan. Dari sanalah ide menawarkan Mie Instan kepada pria asing itu muncul.

Belakangan dr. Indira mengatakan bahwa hal kecil seperti menawarkan sesuatu yang kita punya itu dapat membangun relasi baru atau mempererat relasi dalam kehidupan sosial.

Lagipula dia tidak punya sesuatu yang bisa dia bagi selain Mie Instan yang dia bawa dari Jakarta.

Namun Kayra tidak tahu mengapa Jinan malah tersedak setelah mendengar penawarannya. Dia bertanya-tanya, apakah dia salah bicara? Kayra hanya bisa membeku di tempat ketika melihat Jinan berlari ke wastafel dengan batuk yang intens. Dia bahkan memukul-mukul dada sebelum menenggak air dari keran.

Kayra berencana menarik kembali omongannya. Ketika dia berniat mengucapkannya, Jinan berdeham lantas mengucapkan terima kasih dengan suara yang terbata-bata. Kayra sempat berpikir bahwa ajakannya ditolak, namun ternyata tidak.

“Aku belum pernah mencoba, jadi aku penasaran dengan rasanya—ng—maksudku mie instan yang kaubawa.”

Jinan menghampiri kursinya kembali. “Seperti apa mie instan yang kau bawa?”

Kayra tidak langsung menjawab. Dia masih berdiri di tempatnya sembari membuka laman internet. Dia harus menunjukkan rupa mie instan yang dia bawa terlebih dahulu, baru akan kembali ke kamar untuk memberikannya pada Jinan.

“Aahh, sudah lama aku mencari-cara mie instan ini. Kau punya? Beruntung sekali aku.” Jinan tampak sangat kegirangan.

Kayra bisa melihat kedua mata Jinan berbinar di balik kacamatanya. Namun yang membuat Kayra heran, mengapa Jinan mengeluarkan tawa, padahal tidak ada yang lucu.

“Ah, aku mau yang ini. Aku suka pedas,” kata Jinan dengan tawa canggung. Dia masih belum bisa menyingkirkan rasa canggung setelah mendengar kalimat pertama Kayra padanya.

“Aku ambil dulu mie-nya.”

“Oke. Aku akan memanaskan air!” balas Jinan.

Kayra lalu bangkit dan menghilang di balik pintu. Langkah kakinya tergesa-gesa, Jinan dapat mendengar suara kayu berdentum. Dia kemudian memanaskan air di dalam panci. Ketika pikiran itu muncul kembali, Jinan spontan menggetok kepalanya.

“Dia itu orang asing, bodoh! Bagaimana bisa kau langsung berpikir ke sana—ahh! Jeongsin charyeo, Baek Jinan!”

**

 

Setelah menuangkan air panas ke dalam mangkuk mie instan, Jinan mengambil tempat di hadapan Kayra yang lebih dulu duduk. Kayra sudah menutup kertas penutup mangkuk mie instan dan menunggu mie instannya melunak sembari mengecek ponselnya. Dia sedang dilanda kecanggungan, tidak tahu harus memulai pembicaraan dengan topik apa. Sedari turun dari mengambil mie instan, dia belum berbicara sekalipun, begitu dengan Jinan. Dia juga masih diam.

Jinan sedang memikirkan topik apa yang akan dia usung untuk memulai pembicaraan dengan gadis dingin yang mulai bersahabat ini. Dia ingin menanyakan banyak hal namun tidak ingin terkesan ingin tahu. Bagaimanapun mereka orang asing, Jinan tidak ingin gadis dingin yang mulai mencair ini kembali menutup diri karena merasa tidak nyaman dengannya.

Jinan melihat Kayra menuliskan sesuatu di ponselnya, setelah selesai Kayra menyodorkannya pada Jinan. Kayra menuliskan sesuatu di aplikasi penerjemah.

“Maaf jika aku tidak sopan beberapa hari kebelakang,” Jinan membaca tulisan yang ada di ponsel.

“Ah, tidak apa-apa. Itu biasa terjadi diantara orang asing.” Jinan menjawab dengan senyum lebar yang membuat kedua matanya menghilang.

Kayra mengangguk-angguk lalu mengucapkan terima kasih dalam bahasa inggris.

“By the way, walau bahasa inggrisku tidak bagus tapi aku bisa mengerti jika kau ingin berbicara dalam bahasa inggris,” Jinan memberitahu Kayra agar tidak selalu menggunakan aplikasi penerjemah demi membuatnya mengerti.

“Oh, ok.” Kayra langsung menyingkirkan ponselnya.

Tak lama, Kayra dan Jinan serentak mengecek isi mangkuk kertas mereka. Mie mereka sudah lunak, maka keduanya mulai menikmatinya.

“Setelah Osaka, kau akan pergi ke mana?

“Aku ingin pergi ke gunung fuji. Maksudku berada di sekitar gunung fuji, bukan mendakinya. Lalu aku berencana ke Tokyo.”

“Wah, itu rute yang bagus. Kau memang harus ke gunung Fuji. Di sana sangat indah.”

Setelah itu suasana menjadi canggung kembali.

“Apa kau sendirian ke sana?”

Kayra mengangguk tanpa keraguan.

“Kapan kau akan memulai perjalananmu ke sana?”

“Besok.”

Ponsel Jinan berdentang. Dia melirik dan mendapati pemberitahuan pesan dari Yoora. Dari pop-up yang muncul itu dia bisa melihat isinya, namun Jinan memilih untuk mengabaikannya. Dia mengaduk-aduk mi instan-nya. Ketika mi instan berada dalam kunyahannya, Jinan mendapatkan sebuah ide. Ide untuk menjauh dari Osaka, juga Yoora.

“Apa kau keberatan jika aku ikut denganmu?”

**

 

“Apa tidak apa-apa?”

Malam itu setelah masuk ke kabin masing-masing, Kayra memberitahu dr. Indira bahwa seseorang ingin ikut bersamanya.

“Apa dia orang baik?”

“Tidak tahu. Aku hanya merasa tidak nyaman. Aku memberanikan mengobrol dengannya tadi karena aku berpikir ini hari terakhirku di Osaka jadi aku memberanikan diri. Namun dia ingin ikut bersamaku, maksudku dia ingin bepergian denganku, bagaimana menolaknya?”

“Aku tidak yakin,” dr. Indira menggaruk dagu berulang kali. Kedua matanya tidak melihat layar ponselnya, itu artinya dia sedang memikirkan sesuatu.

Kayra menunggu dengan gelisah. Dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Dia memikirkan ide-ide untuk kabur dari pria itu, tapi sesaat kemudian dia ingat, mengapa dia harus kabur dari orang itu? Sejurus kemudia, Kayra menyadari bahwa dia tidak cukup berani untuk menolak pria asing itu.

“Okay Kayra, tampaknya itu bukan ide yang buruk.”

“Hah?” Kayra berharap dia salah dengar.

Alih-alih menjelaskan lebih detail, dr. Indira malah memberi beberapa tips untuk melindungi diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dari orang asing. Meski tidak sepenuhnya setuju, Kayra mencatat semua tips tersebut.

“Yah, payung adalah senjata yang sewaktu-waktu bisa kamu gunakan.”

Kayra memutuskan video call dengan helaan napas yang berat. Dia masih belum siap mental untuk pelesiran dengan orang asing. Masih besar harapannya semesta akan membantu dengan cara membuat pria itu berubah pikiran. Dengan begitu dia tidak perlu dihinggapi rasa bersalah.

“Semoga dia punya schedule dadakan,” lirihnya. Kayra menutup jurnalnya, lalu mematikan lampu kamarnya.

Tampaknya, apa yang diharapkan Kayra tidak terkabul. Esoknya, Jinan sudah siap dengan kopernya, menunggu di tempat di mana mereka makan mi instan bersama. Untuk sesaat Kayra terdiam sembari memerhatikan kedua kakinya.

“Morning…! Tidurmu nyenyak malam ini?”

Sapaan itu semakin membuat Kayra lemas. Namun tak lama kemudian, suara dr. Indira memenuhi kepalanya.

“Okay, tidak apa-apa,” ujarnya dalam hati,

Kayra menengadah dan memberikan anggukan. “M-morning,” lirihnya. Kayra bergegas berbalik, mengambil ransel dengan gelagatnya limbung. Dia kemudian celingukan ke ransel di tangannya, juga di koper di sisi satunya.

“Ada yang bisa kubantu?” Jinan bahkan maju selangkah untuk mengecek apakah dia bisa melakukan sesuatu untuk mempermudah Kayra.

Kayra menggeleng tanpa melihat ke arah Jinan barang sebentarpun, lalu kembali celingukan. Dia seperti mencari sesuatu.

“Kau mencari sesuatu?”

Semakin ditanya, Kayra semakin bingung. Dia terus celingukan, mencari satu barang yang dia juga tidak tahu apa. Dia hanya celingukan karena merasa ada barang yang dia lupakan. Entah apa itu. Tak lama dia berbalik, kembali ke atas dan memeriksa kabinnya. Tidak ada apa-apa di sana. Dia tidak melupakan sesuatu. Maka dia turun kembali. Namun sebelum turun, dia memegangi  menarik napas dalam dan membuangnya perlahan-lahan.

“Bagaimana, sudah ketemu?” tanya Jinan. Kedua mata dibalik kacamatanya itu tampak membola.

Kayra buru-buru mengambil goodie bag yang tergantung di pegangan koper, dan menunjukkannya di depan Jinan. “I-ini dia, yang kucari.” Setelah mengingat, Kayra memang sedang mencari goodie bag hitam berisi buku dan tumblernya.

Jinan mengangguk-angguk dengan bibir-nya yang membulat.

Dan pada akhirnya, di sinilah Kayra dan Jinan berada, di depan loket untuk memesan dua tiket bus ke perfektur Shizuoka.

“Tiketnya ada, namun duduknya terpisah.”

Kayra menyela, “tidak apa-apa.” Itu lebih baik.

“Kau yakin?”

Jinan sudah memberi opsi untuk menunggu bus berikutnya namun Kayra menolak.

“Aku tidak ingin menunggu lama,” jawabnya sebisa mungkinn tidak terdengar bahwa dia merasa lebih baik duduk terpisah.

Pemesanan dua tiket bus ke perfektur Shizuoka sudah selesai. Meski pergi berdua—dengan orang asing, Kayra mengangkat barang-barangnya sendirian, meskipun Jinan sudah menawarkan bantuan. Keduanya duduk berjauhan. Kayra duduk di bagian belakang sebelah kiri—bersebelahan dengan jendela, sementara Jinan duduk di bagian depan sebelah kanan—bersebelahan dengan koridor bus.

**

 

Sesekali Jinan menoleh ke belakang, ke arah tempat duduk Kayra untuk memastikan bahwa gadis itu duduk dengan nyaman. Setelah itu dia duduk dengan benar, menegakkan tubuh, dan menyandarkan kepalanya. Perjalanan ini memang diakuinya sebagai tindakan yang impulsif. Kini sebuah penyesalan menelusup di dadanya. Dia tidak seharusnya menghindari Yoora sejauh ini. Dia mengakui bahwa dia memang pengecut. Seharusnya dia bisa pergi jika masalahnya sudah selesai.

Jinan mengambil ponsel di dalam ransel-nya, di sana dia telah melihat banyak panggilan tak terjawab, juga beberapa pesan dari Yoora. Dia tadinya ingin membuka pesan dari kakak-nya, yang mengirimkan foto keponakannya yang lucu, namun jarinya malah membuka pesan dari Yoora. Dia mengeluh, namun karena sudah terlanjur maka dia melanjutkan membaca pesan Yoora.

Jinan, bisakah kita bertemu?

Jinan menggulir layar ponselnya.

Aku ingin sekali menjelaskan semuanya, tolong temui aku sekali saja.

Maaf, Jinan, aku terus kepikiran tentanmu yang selalu menghindariku. Aku ingin menjelaskan semuanya, please, balaslah pesanku ini.

Seluruh pesan Yoora bernada sama, ingin bertemu, ingin menjelaskan, minta bertemu. Jinan menutup layar ponsel dan menutup kedua matanya. Dia ingin melalui perjalanan ini dengan tertidur. Nanti jika pikirannya sudah lebih jernih, dia akan memikirkan apakah dia akan menemui Yoora dan berbicara dengannya, atau tidak sama sekali dan kembali ke Seoul dengan segenap rasa benci terhadap gadis yang dicintainya.

Pepatah itu memang benar.

Jika terlalu mencintai seseorang maka kau akan mudah dikecewakan.

**

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1320      785     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
225      188     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Interaksi
449      333     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Imperfect Rotation
182      160     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
2041      785     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Unframed
709      481     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Can You Be My D?
97      87     1     
Fan Fiction
Dania mempunyai misi untuk menemukan pacar sebelum umur 25. Di tengah-tengah kefrustasiannya dengan orang-orang kantor yang toxic, Dania bertemu dengan Darel. Sejak saat itu, kehidupan Dania berubah. Apakah Darel adalah sosok idaman yang Dania cari selama ini? Ataukah Darel hanyalah pelajaran bagi Dania?
Langit Tak Selalu Biru
83      70     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Dimension of desire
232      192     0     
Inspirational
Bianna tidak menyangka dirinya dapat menemukan Diamonds In White Zone, sebuah tempat mistis bin ajaib yang dapat mewujudkan imajinasi siapapun yang masuk ke dalamnya. Dengan keajaiban yang dia temukan di sana, Bianna memutuskan untuk mencari jati dirinya dan mengalami kisah paling menyenangkan dalam hidupnya
Smitten Ghost
213      175     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.