Mianhae— Yoora terus memaksaku. Kau tahu aku tidak pernah tega padanya.
Pesan dari Sohee itu semakin membuat Jinan kesal. Memang tidak ada gunanya mencari dukungan dari sahabatnya itu karena Sohee malah terlihat lebih berpihak pada Yoora. Tidak ada yang diinginkan Jinan selain merahasiakan keberadaannya dari Yoora.
Di peron kereta yang tak pernah sunyi, Jinan duduk sambil bertopang dagu. Pertemuan mendadak dengan Yoora tadi membuatnya bingung. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia tampak seperti pengecut yang menghindari masalah. Seharusnya dia bisa menghadapinya, bahkan bila akhirnya sangat buruk, seharusnya dia tidak membuat masalah ini berlarut-larut.
Jika kau melihat kekasihmu berselingkuh, apakah kau masih berharap hubungan kalian akan baik-baik saja?
Jinan tidak mau menuduh Yoora berselingkuh?
Apakah kejadian malam itu belum cukup sebagai bukti bahwa Yoora berselingkuh?
Jinan tidak mau berasumsi. Dia harus mendengarnya sendiri dari Yoora. Pria itu bisa siapa saja yang memang menyukai kekasihnya.
Dia membalas ciuman itu, kau bahkan bisa melihatnya dengan jelas.
Tidak. Tidak. Mungkin ada yang salah dengan penglihatannya malam itu. Yoora tidak mungkin berselingkuh. Hubungan mereka tidak terjalin secepat kilat, Yoora tidak mungkin tega berselingkuh darinya.
Lalu mengapa dia meminta maaf? Apa kau ingin kembali padanya setelah apa yang kau lihat?
Sirine kereta menyelamatkan Jinan dari debat kusir di dalam kepalanya. Dia menghela napas panjang seraya menggaruk kepala dengan sebelah tangan. Semua perdebatan itu tidak akan berakhir jika dia masih berlari menjauh.
Jinan menyandarkan punggung ke sandaran bangku, dia meliarkan pandangan tanpa alasan. Melihat orang berlalu-lalang membuatnya ingat pada tujuannya. Sesungguhnya, tujuan itu tidak begitu menarik jika saja Jieun Noona tak menitip satu barang yang hanya dapat dibeli di sana. Hari ini akan menjadi hari terakhirnya di Osaka. Dia ingin pergi ke tempat lain di Jepang. Tempat-tempat yang sudah direncanakan dikunjungi bersama Yoora harus tetap direalisasikan, dengan atau tanpa Yoora.
Jinan memasuki kereta yang akan membawanya ke stasiun Universal-City. Dia dengan tenang berdiri diantara penumpang lain. Perjalanan menuju stasiun tujuan berjalan lamban karena Jinan hanya melihat Osaka dari jendela kereta. Dia tidak berniat mendengarkan musik, karena dia tidak ingin melewatkan stasiun akhir tujuannya. Dia memindahkan perhatiannya dari jalanan ke orang-orang di dalam kereta. Dia melihat banyak remaja, beberapa orang tua dan anak balitanya, juga beberapa pasang kekasih.
Jinan mendesah pelan. Melihat sepasang kekasih yang sedang mengobrol di ujung gerbong membuatnya berdejavu. Terakhir kali mengunjungi Osaka, ada Yoora yang menemaninya. Mereka pergi ke tempat-tempat populer di Osaka berdua. Mereka juga banyak mengobrol dalam perjalanan.
“Bagaimana jika kau tinggal saja di Osaka.”
Jinan masih ingat satu kalimat yang pernah diucapkan Yoora padaya.
“Di sini ada banyak pekerjaan untuk warga asing. Bahkan kaubisa bekerja di restauran ayahku.” Yoora masih berusaha untuk membujuk kekasihnya.
“Sangat sulit mendapatkan izin bekerja. Lagipula, aku sudah cukup nyaman dengan perusahaan tempatku bekerja. Sohee sangat baik sudah memberi informasi, bagaimana bisa aku meninggalkannya.”
Jinan waktu itu bersikeras. Dia tidak punya keinginan untuk pindah kerja ke Osaka.
“Aku bosan sekali. Di sini tidak ada teman sepertimu dan Sohee.” Yoora memberenggut.
“Kuyakin kautidak akan bosan jika sudah bekerja nanti,” ucap Jinan yang tidak pernah menyangka sama sekali bahwa awal perubahan sikap Yoora padanya ketika dia mulai bekerja.
Bertahun-tahun dia berusaha menyangkal, malam itu dia buktikan sendiri bahwa firasatnya tidak salah.
Jinan menutup kedua mata, dia lelah sekali mengingat masa lalu yang cukup getir jika diingat sekarang.
**
Kereta yang membawa Kayra berhenti di stasiun tujuan. Di sepanjang perjalanan tadi, dia sibuk membuka laman daring untuk memastikan kembali bahwa dia tidak salah jalur. Setelah mengecek berulang, dia pun bisa duduk di kereta dengan tenang. Dia menajamkan telinga dan kedua matanya setiap kali kereta berhenti di stasiun. Dia kemudian menjadi tidak begitu khawatir setelah melihat beberapa remaja yang mengenakan pakaian penyihir. Dia berasumsi bahwa remaja-remaja itu juga akan pergi ke tempat yang sama, maka dia hanya memerhatikan remaja-remaja itu.
Universal Studio adalah salah satu destinasi wisata paling popular di Osaka, namun bukan itu alasan utama Kayra mengunjunginya. Dia tidak menyukai keramaian, namun dia harus pergi dimana orang-orang bergumul sebagai bagian dari terapinya.
Menghadapi kekhawatiran dan ketakutan.
Di hari pertama berada di tempat ramai, Dontoburi, Kayra gagal beradaptasi. Dia tanpa sadar langsung menolak keramaian tanpa ada usaha untuk tinggal beberapa menit. Kali ini dia ingin melawan apa yang biasa dia lakukan. Dia percaya Universal Studio setidaknya akan membawa satu implementasi emosi dalam dirinya. Apapun itu.
Benar saja. Ketika dia baru keluar dari kereta, keramaian langsung menyergap. Meski tidak memiliki gangguan panik, tanjakan berundakan di hadapannya tetap membuatnya gugup.
Ayo Kayra. Kau di sini bukan untuk memanjakan diri.
Kayra menelan ludah. Dia baru saja ditantang.
Seharusnya aku ikut travel saja. Kayra bergumam, lantas melangkahkan kaki melewati rintangan pertama. Meski berjalan sangat lamban, jika dibandingkan orang-orang Jepang, akhirnya Kayra sampai di gerbang menuju Universal Studio. Kali ini dia bisa lega. Jalanan di depan tidak akan menambah nyilu di kakinya.
Rupanya, jalanan menuju gerbang masuk Universal Studio lebih ramai dari yang dibayangkan Kayra. Karena sudah bertekad untuk melakukan eksperimen, dia berusaha mengabaikan kekhawatirannya. Dia berjalan hati-hati, menuju gerbang utama. Setelah memasuki halaman utama Universal Studio, dia mengaktifkan kamera ponsel, ingin mengabadikan momen. Ini juga salah satu upaya untuk melihat perubahan emosi melalui wajah. Dr. Indira yang menyarankannya.
Setelah melakukan selfie, Kayra melanjutkan perjalanannya. Dia tidak tahu akan mencoba wahana apa, dia hanya berjalan sembari melihat hasil temuannya di laman daring. Hari gini, sosial media memang cukup dapat diandalkan.
Tidak ingin terburu-buru, Kayra memilih Jurassic Park sebagai wahana pertamanya. Katanya, wahana ini serupa dengan wahana rumah hantu, menegangkan dan akan membuat siapapun berteriak. Kayra ingin mencobanya. Barangkali dinasaurus di Universal Studio lebih menakutkan dari hantu-hantu di Indonesia.
**
Jinan sedang memilah-milah topi Mario Bross di rak salah satu toko yang menjual merchandise Universal Studio. Dia tidak tertarik masuk ke arena wahana. Dia sudah pernah ke sana. Kali ini dia hanya ingin berjalan-jalan di sekitar lalu menunggu hari berlalu di sebuah café ataupun restauran terdekat. Dia hanya ingin membeli merchandise untuk keponakannnya.
“Kau yakin tidak punya barang lain yang ingin dibeli?” tanya Jinan kepada Jieun melalui sambungan telepon.
“Kurasa itu saja cukup. Jika kau ingin membelikan barang lain, belikan saja. Jio pasti suka. Ulang tahunnya bulan depan, anggap saja kado lebih awal.” Nada suara Jieun terdengar penuh maksud.
“Kau harus membayarnya untuk itu.”
“Aku akan membayarnya dengan semangkuk bibimbap.”
“Tidak usah. Bibimbap-mu tidak pernah enak.”
“Ya!” Jieun terdengar tersinggung. “Oh, ya, mana Yoora? Aku tidak melihatnya dari tadi.”
Jieun belum tahu masalah yang terjadi, jadi dia berpikir Jinan pergi ke Universal Studio bersama Yoora. Jinan memang tidak bermaksud memberitahu Jieun karena tidak ingin Ayah dan ibunya tahu. Dia masih memiliki harapan bahwa adegan di malam tahun baru itu hanyalah khayalannya semata.
“Dia sedang di toilet. Sudah ya. Semakin lama nanti kau semakin banyak mau.” Tanpa menunggu balasan dari Jieun, Jinan langsung memutuskan hubungan video dengan kakaknya.
Setelah membeli barang pesanan Jieun, Jinan pergi ke sebuah café yang tidak begitu ramai. Dia memesan segelas americano panas dan sepiring sandwich telur. Sembari menunggu pesanannya datang, Jinan meminjam sebuah majalah. Meski tidak bisa membaca, dia hanya ingin melihat-lihat. Halaman terakhir majalah itu sudah dicapai, Jinan mulai bosan. Dia mengambil ponsel dan membuka aplikasi musik. Setelah memasang penyelia suara, dia memutar lagu secara acak. Tidak banyak yang bisa dia lakukan di café itu selain mendengarkan lagu dan melihat lalu lalang orang dari dalam. Kedua matanya kini sibuk memerhatikan setiap orang yang lewat. Dia terus memerhatikan dengan tenang, sampai akhirnya dalam sepersekian detik dia tampak terkejut melihat seseorang yang tampak familiar lewat.
“Bukannya itu si gadis dingin?” julukan itu datang begitu saja. Untuk sejenak, Jinan lupa nama gadis itu.
Jinan sempat menyangkal. Mungkin hanya mirip. Namun cara berjalan gadis itu yang sedikit lamban, membuatnya yakin bahwa dia melihat orang yang sama.
“Rupanya dia ke sini juga,” ujar Jinan seraya mengangguk-angguk.
Mengingat perlakuan dingin Kayra tadi pagi, Jinan tidak yakin jika dia akan disambut dengan baik jika menghampirinya. Maka Jinan membiarkan Kayra berlalu begitu saja. Dia melanjutkan aktifitas dengan membuka laptop. Dia akan menonton sebuah video daring.
**
Jurrasic Park The Ride tidak memberi kesan sesuai yang Kayra inginkan. Sama ketika menonton film-film horor yang mudah ditebak, Kayra juga tidak mendapatkan sensasi terkejut sama sekali. Dia hanya duduk diam, sesekali bergeser karena medan yang tidak konstan. Jadi dia keluar dari wahana dengan perasaan yang tidak berubah sama sekali.
Kayra mencoba berjalan, menelusuri setiap wahana, namun dia tidak memiliki ketertarikan pada wahana lainnya. Dia hanya berjalan dari satu tempat, sesekali berhenti ketika menemukan tempat duduk untuk mengistirahatkan kakinya, lalu berjalan kembali hingga perutnya bergemuruh. Matahari sudah mulai turun, membuat udara semakin dingin, dia mulai haus dan lapar. Alih-alih ikut mengantri di outlet makanan, Kayra memutuskan untuk keluar Universal Studio. Dia mencari outlet yang tidak dipenuhi manusia, namun hasilnya sia-sia. Tidak ada satupun outlet makanan yang tidak memiliki antrian. Kayra tidak tertarik untuk mengantri, maka dia memutuskan untuk pulang saja. Universal Studio tidak menarik lagi baginya. Selayaknya dufan yang hanya membuat capai, Kayra keluar tanpa merasa bersalah karena sudah menyia-nyiakan tiketnya.
Seraya menanti kereta datang, Kayra membuka jurnal hariannya.
Hari ini aku pergi ke Universal Studio dengan harapan yang tinggi. Namun minat dan harapanku menghilang begitu saja. Wahana-wahana di sana tak ubahnya wahana di dufan yang tak menarik. Aku memutuskan pulang setelah berupaya menemukan minat, namun antrian manusia membuatku lelah. Kedua kakiku memang sudah tidak apa-apa, namun aku bosan. Perjalanan ini tampaknya akan sia-sia.
Kayra menulis Jurnal hari ini dengan kalimat pesimis. Kalimat-kalimat yang tidak beda jauh dengan hari-hari sebelumnya. Setelah membubuhkan foto selfie polaroid¸ Kayra menutup jurnalnya. Hari masih panjang, namun dia ingin segera mengakhirinya.
**
Jinan nyaris ketiduran di dalam kereta jika saja seseorang tidak menyenggol lututnya. Dia melihat ke layar yang berada di atas pintu, memastikan bahwa dia tidak kelewatan. Untungnya, masih ada satu stasiun lagi. Jinan lantas berdiri, merelakan tempat duduknya untuk penumpang lain dan bersiap turun. Setelah tiba di stasiun akhir, dia keluar dengan langkah gontai.
Matahari bersiap sembunyi di bentala saat Jinan menjangkau penginapannya. Ketika dia menggeser pintu kamar, dia terkejut ketika melihat sedang berdiri tegak di pojok ruangan. Orang itu mengenakan pakaian yang menutupi seluruh wajahnya, bergeming dalam beberapa menit kemudian melakukan gerakan yang begitu asing. Jinan mengelus dada berulang karena sempat merasa takut. Dia tidak tahu apa yang dilakukan orang itu—tunggu, orang itu tampak familiar. Jinan menautkan kedua alis sembari berjalan menuju kasurnya. Ketika dia sampai di kasur dan menutup rapat tirai, dia terus penasaran mengapa orang itu begitu familiar. Dia kemudian menyembulkan kepala keluar tirai dan melihat orang itu sudah bersujud. Kini Jinan ingat. Orang itu tak lain tak bukan adalah si gadis dingin.
“Sedang apa, ya, dia?” tanyanya dalam hati, lantas kembali masuk ke dalam tirai.
“Bukannya dia tadi sedang ada di Universal Studio. Mengapa sekarang sudah di sini? Apa tadi aku salah lihat?”
Jinan membiarkan pertanyaannya mengambang tanpa jawaban. Setelah membuka jaketnya, dia berbaring, lantas terlelap. Dia bahkan tidak mendengar gawainya berdering, Yoora menelepon bahkan mengirim pesan berulang. Jinan sudah larut di dalam mimpinya yang abstrak. Yang ketika terbangun, dia tak mengingat apapun. Hanya ada sensasi berat di kepala yang secara bersamaan disambut dengan gemuruh di perutnya.
Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 9 malam. Jinan lapar. Dia terakhir kali mengisi perutnya dengan sandwich di Universal Studio. Pantas saja perutnya sudah minta jatah lagi.
Jinan membuka koper yang menyimpan mie instan dari Jieun, sesuatu yang tidak begitu merepotkan untuk sebuah tujuan besar. Tadinya, Jinan menolak membawa bekal itu, namun setelah berpikir ulang, tidak ada salahnya memberi oleh-oleh pada Yoora. Dia pasti sudah lama tidak memakan mie instan Korea.
Jinan turun ke dapur sembari mengecek ponselnya. Ada beberapa pesan dari Jieun Noona, rekan kerjanya, juga Yoora. Dia membuka dan langsung membalas semua pesan yang masuk. Hanya pesan dari Yoora yang enggan dia balas. Dia masih butuh waktu untuk mengulur.
Ketika tiba di dapur, Jinan melihat Kayra sudah lebih dulu di sana. Dengan sudut matanya, Kayra terlihat menikmati makan malamnya. Mengingat perkataan Kayra tadi pagi padanya, Jinan mendadak sungkan. Dia hati-hati memanaskan air. Sembari menunggu airnya mendidik, Jinan sekali melirik ke arah Kayra yang tampak bergeming. Seketika itu pula, dia terganggu kembali dengan sosok yang dilihatnya di Universal Studio. Itu jelas mengganggu. Setelah menuangkan air panas ke dalam mangkuk kertas mie instan-nya, Jinan menghampiri meja makan. Dia ingin jawaban.
“Eung… Maaf sebelumnya, apakah benar kau tadi ke Universal Studio?”
Kayra mendongak. Dilihatnya Jinan berdiri dengan mangkuk mi instan di tangannya. Kedua kacamatanya terlihat penuh embun oleh uap yang menyembul dari dalam mangkuk.
“Ya. Aku ke sana tadi.”
Jinan spontan membelalak, lantas sepersekian detik dia tampak menggenggam sebelah tangannya, seolah dia baru saja menang bertaruh dengan seseorang. Dengan sigap dia menarik kursi, meletakkan santapan malamnya, lantas duduk tanpa berpaling sedikitpun dari Kayra yang sudah menunduk kembali.
Jinan mengambil ponselnya lalu mengatakan sesuatu di sana.
“Lalu bagaimana kau bisa sampai lebih dulu dibanding aku?”
Kayra mengangkat wajah, alisnya berkerut. “Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Tadi pagi, aku tidak sengaja melihat seseorang yang mirip denganmu. Ternyata benar, itu memang kau. Tetapi mengapa kau sudah berada di sini, lebih dulu dariku.”
Kayra sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya membalas dengan berkata, “Aku hanya sebentar.”
Jinan lagi-lagi tidak bisa menghentikan ekspresi keterkejutan di wajahnya. Dia kaget sekaligus heran, “Mengapa hanya sebentar? Apa kau benar-benar sudah berkeliling? Maksudku, Universal Studio bahkan tidak cukup jika dijelajahi seharian, sementara kau—” Jinan merasa dia terlalu banyak bicara.
“Aku tidak tertarik berkeliling.”
“Wae?”
“Tidak menarik.” Kayra kembali mengaduk-aduk mi di atas mangkuknya, bersiap menyuap.
“Wae?”
“Tidak menarik saja,” ujarnya seraya memasukkan sejumput mie ke dalam mulutnya.
“Ah, coba saja tadi kaubilang kau mau ke sana. Aku bersedia menemani sehingga kau tidak cepat bosan. Apa itu karena kau pasti sudah sering ya ke Universal Studio? Memangnya sesering apa kau ke sini?”
Kayra hanya mengangkat wajahnya, menunjukkan bahwa dia tidak mau menjawab pertanyaan terakhir Jinan, lantas kembali menyuapkan kuah mie demi menghindari pertanyaan Jinan.
Respon Kayra barusan dianggap sebagai tanda bahwa dia sudah mengganggu. Saat itu juga dia sadar bahwa dia sedang berhadapan dengan wanita terdingin yang pernah dia temui. Jinan kemudian menyibukkan diri dengan makan malam alakadarnya. Sesekali dia melirik Kayra yang makan dengan kidhmat, seolah tidak ada dirinya di sana. Jinan menelan mie-nya seolah dia menelan tanpa mengunyah, berat sekali. Dia tidak pernah berada di situasi secanggung ini dengan orang asing.
Setelah mangkuk-nya bersih tak menyisakan sedikitpun kuah dan mie, Kayra bangkit menuju wastafel untuk membersihkan mangkuknya. Setelah membersihkan meja tempatnya makan, dia membiarkan—jika bisa dibilang—roommate-nya itu begitu saja.
Jinan menyaksikan Kayra yang berbalik tanpa sepatah katapun. Dia heran mengapa Kayra masih sebegitu dingin terhadapnya. Dia pun menyesali sikap terlalu ingin tahu banyaknya itu.
Kayra baru saja menapaki anak tangga pertama ketika suara Dr. Indira tiba-tiba bergema di kepalanya.
Cobalah membuka diri dengan orang lain, Kayra. Bahkan jika orang itu adalah orang asing sekalipun.
Kayra memutar balik, kembali ke dapur dan menghampiri Jinan yang terlihat lahap menyantap mie instan di dalam mangkuk kertasnya.
Dia mengangkat ponsel untuk mengatakan sesuatu. Jinan menunggu dengan kedua mulutnya yang baru saja menyeruput mie terakhirnya. Kunyahannya menjadi pelan ketika Kayra selesai berbicara lantas menyodorkan ponsel ke hadapannya.
“Aku punya mie instan yang lebih enak daripada punyamu. Apa kau mau makan mie instan bersamaku?”
Di tempat duduknya, Jinan tersedak. Dia spontan berlari ke wastafel, menampung air, lantas meminumnya hingga dia merasa lebih baik. Wajahnya memerah. Kedua pipinya menghangat. Napasnya tersengar memburu. Dari kacamatanya yang bernoda air, Kayra masih bergeming di tempatnya. Dia mengigit bibir bawah, tampak canggung.
Jinan menggaruk kepala, berusaha menormalkan pikirannya yang sempat tidak keruan. Dia berusaha memberi pengertian kepada dirinya bahwa makna dibalik kalimat Kayra tadi tidaklah sama dengan apa yang dia pikirkan. Kayra hanya berusaha ramah dengan menawarkan mie instan kepadanya, seolah mengerti bahwa satu porsi mie instan tadi tidak cukup membuat perutnya kenyang.
“Ehm, terima kasih tawarannya. Tapi sekarang aku—” Jinan berhenti, dia berubah pikiran. “Ah, ya, aku juga bosan dengan Mie Instan ini. Aku belum pernah mencoba, jadi aku penasaran dengan rasanya, ng, maksudku mie instan yang kaubawa.”
Jinan kembali ke tempat duduknya, membuang mangkuk kertasnya, lantas duduk kembali. Saat itu Jinan merasa penghangat di ruangan itu tidak berfungsi dengan baik, karena dia sedang kegerahan saat ini.
“Seperti apa mie instan yang kau bawa?”
**