Jinan terbangun ketika seseorang meneleponnya. Dia dengan kedua matanya yang setengah terbuka, meraih ponsel dan mengecek siapa yang mengganggu tidurnya. Melihat nama Yoo Ra di sana membuat kedua matanya terbuka lebar. Dia tidak sengaja menjawab panggilan itu. Dia sadar kelakuannya agak kekanakan, namun untuk saat ini dia belum siap untuk berbicara dengan Yoo Ra, maka dia menutup telponnya.
“Aaahh!” Jinan mengerang kesal. Diacak-acaknya rambut dengan kedua tangannya. Harusnya dia tidak mengulur waktu. Harusnya urusannya dengan YooRa dapat segera selesai hingga dia bisa fokus membenahi perasaannya. Jika dia terus menjauh, bagaimana dia bisa melupakan Yoo Ra?
Apa benar dia siap melupakan semuanya?
Jinan membuka tirai kasur, bersiap membersihkan wajahnya. Dengan langkah frustasi dia menyusuri koridor kamar. Ketika dia melewati tempat tidur ‘gadis dingin’ kemarin, dia melihat salah satu kaki gadis itu terjulur dari tirai. Jinan dapat melihat telapak kaki gadis itu ditempel plester persegi berwarna putih. Itu tampak seperti pereda nyeri bagi Jinan. Dia mengerutkan kening, bertanya dalam hati, “Apa kakinya masih nyeri?”
Memikirkannya membuat perasaan bersalah Jinan muncul kembali. Dia lantas mengambil ponsel untuk mencari tahu apa yang dapat dia lakukan untuk membantu gadis itu. Banyak artikel yang sudah dia baca, namun tidak ada yang membuatnya yakin bisa membantu, kecuali yang satu ini.
“Merendam kaki di air hangat atau air dingin.”
Jinan turun ke lantai dua, mencari wadah yang bisa digunakannya untuk menampung air hangat. Setelah mengobrak-abrik dapur dan daerah kamar mandi, dia tidak menemukan wadah yang cukup untuk menampung dua kaki. Jinan putus asa. Dia pikir dia tidak bisa membantu gadis itu, maka dia menyerah. Dia memilih untuk keluar penginapan dan memutuskan untuk membeli sesuatu yang dapat dimakan saja. Mungkin ada jenis makanan yang dapat membantu mengurangi rasa nyeri di kaki. Jinan terus mencari di internet sembari turun. Akan tetapi hasil temuannya membuatnya frustasi. Tidak ada satupun jenis makanan itu yang dapat ditemukan di minimarket. Jika dia bersikeras membelinya, dia harus pergi ke pasar yang lebih besar, dan dia tidak tahu letak pasar itu.
Begitu keluar dari penginapan, Jinan baru menyadari bahwa dia tidak mengenakan pakaian yang sesuai untuk cuaca yang dingin. Jinan refleks bergidik. Tak ingin mati kedinginan, Jinan memutuskan untuk kembali ke kamar. Akan tetapi langkahnya terhenti ketika melihat sebuah ember di luar. Jinan tampak sumringah, seolah dia baru menemukan harta karun.
Dia lantas membawa ember berukuran kecil itu ke atas. Setelah membersihkannya, dia menampung air hangat di sana. Jinan tak sabar untuk memberikan seember air hangat itu pada Kayra. Dia berharap bantuan ini sangat berguna.
Tempat tidur Kayra masih tertutup tirai ketika Jinan sampai di kamar. Jinan meletakkan bantuannya di depan tempat tidur Kayra dan berniat untuk membangunkan gadis itu, maka dia memilih untuk menunggu. Jinan bolak-balik di koridor kamar, lantas berakhir dengan duduk di salah satu kasur yang kosong sembari mengamati ember air panasnya. Dia secara bergantian memerhatikan ember dan tirai yang tertutup. Jinan masih menunggu hingga tanpa sadar kedua kakinya bergerak-gerak.
Jinan mengecek jam tangannya, sudah 10 menit. Dia mengecek air di dalam ember. Suhunya sudah kembali normal. Jinan berpikir harus mengganti air tersebut. Dia pun kembali turun ke lantai bawah. Kali ini Jinan membawa air yang lebih hangat, bahkan mendekati panas, dari air sebelumnya. Ketika Jinan baru melewati pintu masuk, dia terkejut melihat Kayra sudah berdiri di depan tempat tidurnya.
Jinan tanpa sadar menjadi sumringah. Usahanya kali ini akan berhasil. Gadis itu melihat ke arahnya dengan kedua mata yang membulat.
Jinan buru-buru meletakkan ember berisi air hangat di depan Kayra. “Kudengar. Air. Hangat.” Dia agak terbata-bata. Dia tidak begitu lancar berbahasa inggris, sehingga dia takut ucapannya tidak dapat dimengerti Kayra. Maka jurus andalannya kembali digunakan. Jinan mengambil ponsel dan mengucapkan sesuatu.
“Kudengar air hangat dapat membantu meredakan nyeri kaki. Pakai lah. Kuharap kakimu lekas sembuh.”
Setelah mendengar keseluruhan ucapan Jinan, Kayra tertunduk menatap ember berisi air di hadapannya. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Kayra mengambil tempat duduk di tepi kasur. Kali ini dia ragu untuk menerima bantuan pria itu, karena sedang malas berkilah. Maka dia merendam kedua kakinya setelah melepaskan koyo di telapak kakinya.
Gerakan kaki Kayra sangat berarti bagi Jinan. Pria berkacamata itu tampak sumringah karena bantuannya diterima tanpa ada penolakan sedikitpun.
“Terima kasih,” ujar Kayra.
Jinan membalas ucapan Kayra dengan anggukan kepala yang berulang. “Jika airnya sudah tidak hangat, katakan saja padaku. Aku akan menggantinya hingga kedua kakimu merasa lebih baik.”
Kayra mendekatkan wajahnya pada ponsel Jinan lantas berbicara.
“Mengembalikan cincinmu itu keputusanku, jadi kau tidak perlu merasa bertanggung jawab atas kakiku. Aku baik-baik saja.”
Jinan memberi respon dengan seruan, “Ahh…! Nggak apa-apa. Aku hanya tidak tahu harus melakukan apa selama di sini. Aku tidak keberatan jika kau butuh ban—”
“Tapi aku keberatan dan merasa tidak nyaman.”
Kalimat terakhir Kayra membuat Jinan kaget. Benarkah itu yang Kayra maksud? Jinan sampai mengecek ponselnya dua kali. Tidak ada yang salah dengan aplikasi terjemahannya. Kayra benar-benar mengemukakan rasa keberatannya.
Tidak mungkin!
**
Kayra sudah berada di lantai dua sebelum memulai sesi konsultasinya dengan Dr. Indira. Jika biasanya dia akan lebih senang berada di dalam kamar untuk melakukan sesi daring, kali ini Kayra tidak ingin menggangu tamu lain dengan suaranya. Untunglah, ruangan di lantai dua tidak digunakan oleh siapapun, sehingga dia bisa dengan nyaman melakukan konsultasi dengan Dr. Indira.
Sebelum membuka tab-nya, Kayra lebih dulu memasang penyuara telinga tanpa kabel, lantas menunggu Dr. Indira membuka kanal daring-nya. Dia duduk berselonjor kaki di sofa sembari memangku tablet agar lebih rileks. Setelah menunggu setengah menit, Dr. Indira memanggil-nya. Kayra mengambil napas dalam sebelum mengangkatnya.
“Hai Kayra, bagaimana liburanmu di Jepang?” itu kalimat pertama yang Kayra dengar ketika berhasil tersambung dengan Dr. Indira.
Kayra tidak merespon. Dia hanya sedang berpikir, berita mana dulu yang harus dia beritahukan kepada psikiaternya itu.
“Kalau begitu mulai dengan hari pertama ketika kamu mendarat. Apa yang kamu rasakan?” tanya Dr. Indira seolah dapat membaca pikiran Kayra.
“Biasa saja, Dok.”
“Oh, Ya? Kamu yakin nggak melewatkan sesuatu yang menarik?” dr. Indira berusaha memancing.
Kayra tidak menjawab, dia hanya menggelengkan kepala satu kali.
“Misalnya suasananya. Orang-orangnya. Gimana soal cuacanya? Kamu suka salju, kan? Udah siapin sirop?”
Kayra terdiam sejenak. Dia ingin menjawab dengan alasan dibalik perjalanannya hari ini, namun dia merasa alasan itu hanya akan menjadi klise bagi lawan bicaranya, maka dia tidak tertarik untuk menceritakannya. “Di sini belum ada salju,” katanya lirih.
“Baiklah, semoga kamu beruntung bisa bertemu dengan salju pertamamu.”
Kayra dapat melihat dengan jelas lirikan mata Dr. Indira yang sedang menggodanya. Seolah-olah dia paham dengan apa yang diinginkan Kayra.
Kayra pernah menemukan satu kalimat yang mengatakan bahwa seseorang akan merasakan sensasi terbaik dalam hidupnya ketika mengalami hal-hal yang belum pernah dia alami sebelumnya. Kayra belum pernah melihat salju seumur hidupnya, maka dia ingin merasakan sendiri kesan pertama itu. Dia percaya bahwa kesan pertama ini akan membuat hatinya berdebar-debar. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak pernah dia rasakan.
Namun perihal salju, bukan sesederhana itu.
“Baiklah, sudah waktunya memeriksa jurnalmu. Ehmm…” Dr. Indira terlihat fokus mengamati catatan di monitornya. “Apa sulit menyesuaikan waktu Jakarta dengan Osaka?”
Dr. Indira menemukan bahwa jam tidur Kayra belum ada perubahan.
“Kupikir itu karena kakiku. Tidak ada yang bisa kulakukan jadi aku tertidur di jam-jam yang tidak seharusnya.”
Dr. Indira kembali melihat ke layar, “kenapa dengan kakimu?” kini Dr. Indira tampak melipat kedua tangannya di meja.
“Hanya kelelahan. Aku tidak menyangka sama sekali kalau kebiasaan jalan kakiku di Jakarta, tidak ada apa-apanya jika kugunakan di sini.”
Dr. Indira tersenyum mendengarnya. “Aku banyak mendengar bahwa budaya jalan kaki di sana tidak cocok bagi muggle seperti kita. Syukurlah kamu tidak terluka parah.”
“Aku sempat diinfus di klinik.”
Pernyataan Kayra barusan membuat Dr. Indira membelalak kaget. “Seserius itu? Bagaimana bisa?”
Kayra kemudian menceritakan bagaimana dia bisa berakhir di sebuah klinik dengan infus terpasang di tangannya.
**
Tangan Jinan berhenti menelusuri lama-laman di ponselnya begitu ucapan Kayra bergema di kepalanya. Dia tidak mengerti mengapa dia diperlakukan seperti itu, padahal dia hanya ingin membantu. Jinan tidak bisa mengabaikan perlakuan itu begitu saja, meskipun dia ingin.
Jinan yang sedari tadi bergelung di kasurnya sembari membuka sosial media-nya, kini bangkit dan melongokkan kepalanya ke luar tirai. Dia melihat ke arah kasur Kayra, dia menajamkan pendengarannya, dia tidak dapat mendengarkan apa-apa.
Apa dia sudah pergi? Memangnya kakinya sudah kuat untuk jalan-jalan?
Jinan tidak mengerti mengapa dia terus memikirkan Kayra. Dia tidak seharusnya terganggu dengan perangai orang asing yang tidak ada hubungan apapun dengannya. Alih-alih melanjutkan pencarian daringnya, Jinan keluar dari tempat persembunyiannya, dia berniat untuk berjalan-jalan di sekitar sebelum memutuskan kemana akan pergi seharian ini. Dia mengambil jaket kebesarannya, mengenakan ransel dan masker, lantas memasang penyuara telinga.
Ketika dia tiba di lantai dua, dia melihat Kayra sedang duduk berselonjor kaki di sofa. Dia tampak berbicara di depan tablet yang dia pangku. Dia bahkan tidak mengalihkan pandangannya sama sekali ketika Jinan melewatinya. Begitu pula Jinan yang berusaha untuk tidak teralihkan dari Kayra dan terus melanjutkan langkah hingga keluar dari penginapan.
Namun yang paling mengejutkan bagi Jinan ada di luar penginapan. Seseorang yang dihindarinya ada di sana dengan ajaibnya.
“Ya—” Jinan tidak sempat melarikan diri karena Yoora sudah menahannya lebih dulu.
“Aku mencarimu.”
Jinan menghela napas panjang. Dia tidak seharusnya memberitahukan keberadaannya saat ini kepada orang lain, meski itu adalah teman sendiri. Dia bersumpah dalam hati akan membuat perhitungan dengan Sohee nanti.
“Yoora-ya, aku belum siap untuk bertemu denganmu.” Hanya itu kalimat yang bisa diucapkan Jinan.
Alih-alih protes, Yoora malah menundukkan kepala. Dia menggenggam erat tangannya, lantas berkata lirih. “Mianhae,” ujarnya seraya menggapai tangan kanan Jinan, sebagai upaya agar Jinan tidak pergi.
“Jangan teruskan. Aku belum siap mendengarnya!” suara Jinan penuh peringatan. Dia mengalihkan pandangannya dari Yoora, berharap emosinya tidak meledak.
“Mianhae…” Yoora masih merunduk dengan perasaan bersalahnya. Semua kalimat yang ingin dia sampaikan untuk menyelesaikan masalahnya dengan Jinan, buyar sudah. Dia tidak bisa mengucapkan apapun selain kata maaf.
Jinan menarik tangannya secara paksa, lantas pergi begitu saja. Rasa nyeri menyergap ulu hatinya. Melihat Yoora yang terus meminta maaf membuat hatinya semakin hancur. Tanpa disadarinya, sebelah pipinya sudah basah. Udara Osaka begitu sejuk, namun dia merasa sangat sesak.
**
Seusai sesi daring dengan Dr. Indira, Kayra kembali ke kamarnya. Dia tampak termenung, membayangkan kembali ekspresi Dr. Indira ketika mendengar cerita sialnya. Diam-diam dia memerhatikan kedua bola mata yang berbinar, juga mulut yang terbuka lebar. Ekspresi semacam itu sudah membanjiri kepalanya seharian ini.
Dia lupa kapan terakhir kali merasa begitu terkejut setelah melihat ataupun mendengar satu kejadian. Film horor yang direview begitu menakutkan di semua sosial media, dinilai memiliki humor yang dapat membahanakan satu studio. Tapi Kayra tidak merasakan apa-apa. Jumscare yang menggertak di film itu dapat ditebak, sementara humor yang menggemparkan studio, tidak berarti. Kayra menghabiskan 2 jam waktunya tanpa ekspresi apapun. Ah, dia menguap, sesekali.
Kayra menghela napas dalam sebelum membuka jurnal hariannya. Dr. Indira yang meminta, agar setiap sesi konsultasi mereka berakhir, dia menuliskan sesuatu di sana. Apapun itu, Dr. Indira menyarankan Kayra rajin untuk mengisinya.
Setiap kali sesi konsultasinya dengan Dr. Indira berakhir, ingatan-ingatan yang telah lama terlupakan seolah terpanggil. Ada yang masih samar-samar, ada pula yang terngiang dengan jelas.
Pada sesi kali ini, tidak ada ingatan yang berarti selain ingatan-ingatan di masa sekolah. Ketika dia masih dikelilingi teman-temannya. Namun ingatan itu tak sepenuhnya menyenangkan.
Memiliki teman tak selamanya menyenangkan. Menjadi sendirian tak selamanya menyedihkan. Jika waktu bisa diputar, aku ingin tak memiliki seorangpun.
Kayra menutup jurnalnya, lantas memijat-mijat kedua kakinya secara bergantian. Dalam pikirannya yang tak setenang wajahnya, Kayra sedang bergulat, mempertimbangkan saran Dr. Indira untuk pergi ke satu tempat yang mungkin akan menambah endorpin. Tidak ada salahnya jika dia memaksakan. Dia sudah terlalu lama berdiam diri di kamar. Jika dia terus memanjakan diri, akan ada banyak waktu yang terbuang percuma. Dia tidak seharusnya berlama-lama di Osaka, karena Jepang tidak berhenti di Osaka.
**