Loading...
Logo TinLit
Read Story - Winter Elegy
MENU
About Us  

“K—Kayra.”

Jinan menarik kedua ujung bibirnya, “Aku akan bertanggung jawab hingga kau keluar dari klinik.”

Jinan tidak tahu apakah keputusannya menunggu gadis itu sudah benar atau malah akan menambah masalah baru? Sepertinya, mulutnya bertindak lebih cepat daripada isi kepalanya.

“Aku sudah tidak apa-apa. Kau bisa pergi. Terima kasih.”

Jinan terkejut mendengarnya. Gadis itu sangat dingin. Dia tidak menunjukkan ekspresi berterima kasih sedikitpun. Apa dia kesal? Mengapa kesal? Bukan dia yang meminta gadis itu mengembalikan barang yang sudah dia buang.

“Aku akan pergi jika kau menghabiskan makanan ini,” katanya bersikeras. Jinan hanya tidak ingin dihantui rasa bersalah karena menyaksikan gadis itu pingsan di depannya.

Tak lama suara gemuruh datang dari perut Kayra. Jinan bisa mendengarnya dengan jelas. Namun gadis itu hanya menunduk, menghindari tatapan meledek darinya.

“Nah! Kau lapar, kan? Makan ini!” Jinan menyodorkan kotak plastik berisi nasi dan irisan daging di atasnya. “Kau harus tau kalau Nasi Tonkatsu ini yang terenak di Jepang. Aku sudah mencobanya.”

“Ton—tonkatsu?”

Jinan mengangguk cepat. Dia kemudian sadar untuk segera membuka penutup kotak itu, lantas menyodorkan kepada Kayra agar dia tergugah dengan aromanya.

“Ini masih hangat.”

Kayra menelan ludah. Dia tampak resah.

“Maaf sekali. Aku—” Kayra menutup mulutnya.

“Ya?” Jinan bahkan sudah siap jika harus menyuapi gadis itu.

“Aku—tidak suka Tonkatsu. Maaf!” katanya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.

“Hah? Serius?” Jinan ingin mencela, bagaimana bisa ada orang yang tidak suka makan Tonkatsu? Sepertinya Alien pun akan suka dengan Tonkatsu.

“Yang itu saja.” Dia memilih buah potong berisi nanas, kiwi, dan pir.

“Kau yakin ini cukup?”

Kayra mendorong Tonkatsu kepada Jinan. “Untukmu saja.”

Jinan bisa mengatakan bahwa dia tidak lapar, tetapi gemuruh yang datang dari perutnya sangat kentara. Akhirnya dia membiarkan Kayra memakan buah potong sementara dia memakan Nasi Tonkatsu itu dengan lahap.

Tanpa sadar, Jinan yang sekarang makan dengan lahap bukan lagi Jinan yang tadi pagi.

**

 

Langit Osaka mulai berwarna keemasan ketika Kayra diperbolehkan pulang. Setelah infusnya dicabut, dengan langkah tertatih dia melepaskan diri dari perangkap ranjang klinik. Jinan tidak tampak di sekitar, namun Kayra malah lega. Kayra berpikir lebih baik jika mereka tidak bertemu lagi.

Namun pada akhirnya, Kayra hanya bisa menghela napas pelan.

“Kubantu!” Jinan mendatanginya dengan kursi roda. “Perjalanan ke Guest House memang tidak jauh, tetapi akan lebih nyaman jika pakai ini.”

“Aku masih bisa berjalan.”

Jinan menepuk udara, “Hei… Lebih baik menghemat tenaga. Ini akan berguna untuk mempercepat pemulihan.”

Kayra tidak merespon. Dia masih berdiri di tempatnya, memandangi Jinan yang mendorong kursi roda mendekatinya.

“Ayo duduk. Aku akan mendorongmu sampai Guest House.” Jinan terdengar antusias melakukannya.

Kayra tidak tahu harus bagaimana merespon kebaikan orang asing ini. Dia tidak terbiasa menerima pertolongan. Namun pada akhirnya dia tidak bisa menolak karena Jinan tidak memberi kesempatan. Kayra duduk di kursi roda penuh rasa sungkan. Dia hanya bisa berharap perjalanannya tidak begitu panjang.

Setelah Kayra tampak nyaman di kursi roda, Jinan berkata, “Aku akan mendorongnya sekarang.”

Kayra hanya bisa meremas ujung bajunya. Ketika dia berhasil keluar klinik, angin langsung menyergap tubuhnya. Turtle neck berlengan panjang yang dia kenakan sama sekali tak dapat menepis udara dingin. Dia refleks memeluk tubuhnya.

Melihat reaksi spontan Kayra, Jinan refleks berkenti. “Kenapa? Kau butuh sesuatu?” Dia bahkan berjalan mendahului kursi roda. “Ah, maaf. Aku lupa.”

Tanpa banyak basa-basi, Jinan berjalan ke belakang. Dia mengambil koper yang dia titipkan di klinik untuk sementara, lantas membongkar isinya hingga menemukan sebuah jaket biru muda. Setelah kopernya kembali rapi, dia setengah berlari menuju Kayra dan menawarkan jaket tersebut.

“Pakai ini saja.” Jinan menumpukan jaket puff itu di bahu Kayra yang tampak terbelalak menerima serangannya. “Sshiihh… Bisa-bisanya kau pergi tanpa pakaian hangat,” rometnya dengan bahasa ibunya.

Kayra tidak punya pilihan selain merapatkan jaket pemberian Jinan ke tubuhnya.

Perjalanan menuju guest house pun berlanjut. Jinan mendorong kursi roda di sepanjang trotoar dengan tenang. Berbeda dengan Kayra yang sepanjang perjalanan merasa tidak nyaman. Di sepanjang perjalanan dia hanya bisa meremas-remas telapak tangan yang disembunyikan lengan jaket Jinan.

“Omong-omong kau dari mana? Vietnam?” tanya Jinan berusaha mencairkan suasana. Sejak dari klinik, Kayra hanya diam. Dia bahkan tak menoleh ke kiri dan kanan layaknya orang yang sedang berpergian.

“Indonesia.” Singkat sekali. Membuat Jinan skeptis.

“Ah, Bali…” dia hanya tahu satu kata itu saja. “Kau tidak tampak seperti orang Bali.”

Kayra tidak membalas ucapan itu. Dia tidak akan membantah apapun sebab menjelaskan Indonesia bukan hanya Bali kepada orang asing hanya akan menguras tenaga.

Jinan menahan kursi roda di depan pembatas zebra cross. Sembari menunggu lampu pejalan kaki menghijau, dia membayangkan satu tempat. “Itu tempat yang bagus. Kenapa kau ke Osaka?” Jinan cepat mengatupkan bibir.

“Tunggu! Kenapa aku menanyakannya?”

Untungnya pertanyaan-pertanyaan yang dia rasa konyol tadi dilisankan dalam bahasanya, maka itu tidak akan terdengar memalukan.

Ketika lampu pejalan menyala, Jinan mendorong kursi roda kembali tanpa sepatah kata lagi. Dia terus mendorongnya hingga tiba di Guest House.

“Terima kasih.” Kayra langsung bangkit dan bersiap menaiki anak-anak tangga penginapan. Rasa canggung dan sungkannya terhadap Jinan membuat dia lupa bahwa kamar penginapannya berada di lantai tiga. Yang dia pikirkan saat ini hanyalah mengusir orang asing ini.

“Biar kubantu.” Jinan lagi-lagi menawarkan bantuan. Dia mengangkat kedua tangan, memberi isyarat bahwa dia siap memapah Kayra hingga kamar penginapannya.

Kayra mundur satu langkah. “Kau sudah banyak membantu. Tidak perlu.” Kayra bersungguh-sungguh menolak.

Jinan menautkan kedua alisnya seraya berkata, “Kau berhutang padaku. Biarkan aku menagihnya di kamarmu.”

Benar juga, batin Kayra.

Setelah mengesampingkan kursi roda di bawah kanopi penginapan, Jinan buru-buru menaiki beberapa anak tangga, bermaksud untuk membantu Kayra yang masih belum dapat berjalan dengan normal. Dia masih tertatih-tatih. Wajahnya yang pucat berusaha menyembunyikan rasa sakit.

“Akan lebih cepat jika kau mau kubantu.” Jinan menggerakkan kedua lengannya, meminta Kayra menggapainya.

Kayra menggeleng. Alih-alih menerima uluran tangan Jinan, dia malah memegangi selasar tangga. Sebisa mungkin akan dilakukan untuk menghindari Jinan.

“Ya sudah kalau begitu. Aku akan menjagamu dari bawah saja.”

Kayra tidak menggubris. Dia terus berjalan dengan pahanya yang pegal melewati Jinan. Setidaknya, kali ini dia dapat menyembunyikan wajahnya yang meringis menahan sakit setiap menaiki anak tangga.

Sebenarnya, Jinan hanya ingin memastikan Kayra sampai di kamarnya dengan baik. Tagihan infus hanya alasan agar Kayra mengizinkannya tetap ada di sana hingga rasa bersalahnya hilang. Lagipula, dia tidak punya hal yang bisa dia kerjakan selain membantu orang yang celaka karena mengejarnya.

Ketika akhirnya Kayra berhasil menjangkau lantai kamarnya tanpa bantuan darinya, Jinan hanya bisa menunggu di depan pintu kamar. Dia merapatkan punggungnya ke dinding. Jinan menyilangkan kedua tangan di dada saat Kayra mengatakan bahwa dia akan segera kembali membawa uang yang dipinjam darinya. Dia menunggu dengan sabar meski beberapa kali harus menggaruk pelipis karena rasa canggung.

Ketika langkah Kayra sudah mendekat, Jinan menegakkan tubuhnya. Dia dengan sungkan menerima beberapa lembar uang dari Kayra. Dia tidak seharusnya menagih biaya klinik, akan tetapi tidak ada pilihan lain. Jinan merasa hal itu lebih baik daripada membuat orang asing ini merasa sungkan padanya.

“Itu.” Jinan menunjuk jaket yang masih dikenakan Kayra.

Gadis itu hanya membuka mulut, seolah berkata, ah ya aku lupa!

Setelah menerima kembali jaket kesayangannya, Jinan berpamitan. Itu jelas melegakan bagi Kayra.

Kayra merebahkan seluruh tubuhnya di atas kasur guest house dengan helaan napas panjang. Akan lebih baik dirinya kembali sendirian di tempat asing ini. Dia mungkin akan segera melupakan kecelakaan yang menimpanya ini setelah kedua kakinya sudah bisa berjalan normal.

Kayra memejamkan kedua matanya. Seiring dengan suhu kamar yang semakin hangat, Kayra pun tertidur.

**

 

Kayra terbangun ketika rasa lapar menyergap. Dengan kepala yang masih berat, Kayra bangun, membuka koper untuk menemukan sebungkus mi instan yang dia bawa dari Jakarta. Selain baju musim dingin, Kayra juga mempersiapkan makanan cepat saji seperti mi instan dan nasi instan. Dia hanya berjaga-jaga. Sebelum berangkat dia telah menemukan banyak rekomendasi barang yang harusnya di bawa dari beberapa blog para traveller, dan rupanya, mi instan sangat bisa diandalkan.

Meski menuruni anak-anak tangga akan membuat kedua pahanya semakin nyeri, Kayra tak peduli, dia bisa menahannya. Mau tidak mau dia harus turun satu lantai, dikarenakan dapur di guest house tersebut berada di lantai bawah. Yang paling penting saat ini adalah perutnya yang harus diberi makan. Dengan dua bungkus mi instan di tangannya, Kayra menuruni anak tangga satu demi satu sembari memegangi susuran.

Sesampainya di dapur, dia mulai memasak. Sembari menunggu dia terus berpikir. Dia memikirkan cara-cara yang diresepkan Dr. Indira kepadanya. Salah satunya untuk menjaga pola makan. Kayra melirik kembali dua bungkus mie instan yang kosong, lantas menghela napas panjang.

Kayra mengaduk-aduk mi agar tingkat kematangannya menjadi rata. Dia membiarkan api terus menyala meski airnya sudah mendidih. Kayra ingin membuat mie-nya sematang mungkin. Dia suka mi instan yang dimasak terlalu lama. Mie yang terlalu matang memiliki tekstur yang lebih lembut. Itu membuatnya tidak harus mengunyah lebih lama.

Ketika Kayra baru menyantap mie instan-nya, dia mendengar seseorang berjalan, menaiki anak tangga, yang tak lama bunyi bip bip, menyusul. Ada seseorang yang datang. Entah penghuni kamar lain atau mungkin itu tamu baru. Kayra mulai panik. Ingin sekali rasanya segera mengosongkan isi mangkuk lalu berlari ke kamar, namun mi-nya baru berkurang tiga sendok. Kayra semakin panik ketika langkah-langkah dari lantai bawah semakin terdengar. Terlebih ketika dia mendengar suara koper yang digeret, tamu baru itu sudah dekat dengan tempatnya. Kayra lekas merunduk, lantas melanjutkan makan. Hanya itu yang dapat dia lakukan untuk menyambut tamu baru itu.

“Oh. Kau rupanya.”

Kayra mengangkat wajah, setelah dua detik melihat tamu baru itu, dia kontan terbelalak. Mulutnya yang masih dipenuhi mi, tidak bisa berkata-kata, meski hanya sekadar ‘halo’.

Tamu baru itu berjalan mendekat, “Kamarku ada di lantai yang sama denganmu,” ujarnya seraya menunjukkan bukti dari ponselnya.

Kayra tidak tahu harus bagaimana meresponnya. Setelah menelan makanannya, dia membalas pemberitahuan tamu itu dengan satu kata singkat, “oh.”

Nice to meet you, Kayra.”

**

 

Ada yang mengganjal di dalam dadanya ketika dia sampai di anak tangga terakhir guest house. Dia menoleh ke belakang untuk memastikan hal apa yang membuatnya berat meninggalkan guest house tersebut. Namun, hingga kedua tangannya menggapai kursi roda, dia juga belum menemukannya. Dengan berat hati, dia kembali ke klinik.

Tiba di klinik, Jinan merapikan kopernya. Dia sudah siap melanjutkan perjalanan menuju stasiun yang akan membawanya ke Bandara. Di sana dia masih diam, mencaritahu mengapa dirinya kembali bimbang. Harusnya dia sudah tidak punya alasan untuk tetap tinggal di Osaka, namun mengapa hatinya merasa berat? Apa lagi yang bisa dia harapkan dari negara yang telah merebut hidupnya yang sempurna?

Jinan menghela napas berat. Semoga besok, ketika dia tiba di Seoul, dia akan benar-benar melupakan Yoo Ra, meski presentase kemungkinannya sangat kecil. Yoo Ra bukan orang asing yang tiba-tiba mengisi relung hatinya. Mereka bersahabat sejak di sekolah dasar. Jinan tidak bisa melihat wanita lain selain Yoo Ra. Dia sudah pernah mencobanya, namun gagal. Hatinya selalu terpaut pada gadis itu. Akan tetapi, setelah kejadian kemarin, Jinan tidak ingin kembali pada Yoo Ra.

Tring!

Lamunan Jinan tergugah. Sebuah pesan masuk. Dari Yoo Ra.

Jinan-ah, maafkan aku. Bisa kah kita bertemu?

Tidak berniat membalas, Jinan kembali menyimpan ponselnya di dalam saku jaket. Di tempat duduknya, dia menyandarkan bahu ke sandaran, lantas menilik kembali jadwal kereta. Masih ada kegalauan di dalam dirinya.

Kereta memasuki peron. Melihat orang-orang yang merapat, Jinan punya tanda tanya besar di kepalanya.

Memangnya kenapa jika dia tetap tinggal?

Jinan bangkit dari tempat duduknya. Dia tidak berniat melanjutkan perjalanan. Dia akan kembali. Dia tidak berbuat salah. Yoo Ra lah yang mengkhianatinya. Maka, dia tidak boleh pergi begitu saja. Dia harus menyelesaikan semuanya dengan Yoo Ra, agar hatinya yang sakit tidak berkelanjutan.

Maka di sinilah dia berada. Di lantai dua sebuah guest house. Senyumnya melebar ketika melihat seseorang yang dikenalnya di sana.

“Kamarku ada di lantai yang sama denganmu,” katanya seraya mengangkat ponselnya. Dia hanya tidak ingin dikira sebagai penjahat. Dia memberi bukti bahwa dia telah menyewa ulang salah satu kasur di lantai 3.

“Oh.”

Ooohh? Jinan kaget mendapat respon sedatar itu. Benar-benar tidak ramah, pikirnya.

“Ah ya, silakan lanjutkan makanmu.” Jinan menarik koper dengan perasaan tidak enak. Dia merasa diabaikan, itu bukan perasaan yang bagus.

Gadis itu dingin sekali.

**

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Glitch Mind
47      44     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Andai Kita Bicara
674      520     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Merayakan Apa Adanya
488      351     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
FINDING THE SUN
529      257     15     
Action
Orang-orang memanggilku Affa. Aku cewek normal biasa. Seperti kebanyakan orang aku juga punya mimpi. Mimpiku pun juga biasa. Ingin menjadi seorang mahasiswi di universitas nomor satu di negeri ini. Biasa kan? Tapi kok banyak banget rintangannya. Tidak cukupkah dengan berhenti dua tahun hanya demi lolos seleksi ketat hingga menghabiskan banyak uang dan waktu? Justru saat akhirnya aku diterima di k...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
415      294     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Finding the Star
1338      959     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Switch Career, Switch Life
406      342     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
No Life, No Love
1277      951     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Dalam Satu Ruang
158      106     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Penantian Panjang Gadis Gila
325      245     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.