Loading...
Logo TinLit
Read Story - Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
MENU
About Us  

Coba bayangin ya, kalau diri sendiri itu kayak aplikasi di HP. Pagi-pagi bangun, ada notifikasi: “Versi terbaru dari dirimu sudah tersedia. Silakan update untuk pengalaman hidup yang lebih lancar.”

Terus muncul list fitur baru:
• Bug overthinking diperbaiki
• Penambahan fitur percaya diri
• Waktu loading saat ngobrol sama orang baru dipercepat
• Emosi lebih stabil saat lihat orang sukses di Instagram

Kalau ada update kayak gitu, sumpah aku langsung pencet tombol “INSTALL NOW”.
Nggak pakai mikir dua kali. Bahkan kalau harus restart diri sendiri, aku rela.

Karena sejujurnya…
Aku capek banget sama versi diriku yang sekarang. Versi yang sering ragu-ragu, mikir dua puluh kali sebelum kirim chat, dan bisa overthinking hanya karena orang nggak bales “wkwkwk”. Sumpah, kalau hidup ini punya App Store,
aku pasti kasih bintang 3, terus komennya begini:

“Aplikasinya suka nge-lag di situasi sosial, perlu banget fitur percaya diri. Tolong segera diperbaiki, ya.”

Tapi ya gimana… ini diri sendiri.
Bukan HP yang bisa di-reset. Nggak ada “settingan pabrik” yang bisa dikembalikan kalau aku mulai rusak. Aku cuma bisa bertahan, sambil sesekali ngomong ke diri sendiri, “Tenang, kamu nggak seburuk yang kamu pikirin.”

Walaupun, jujur aja, kalimat itu kadang nggak mempan.
Apalagi kalau lagi di situasi yang butuh keberanian level dewa, kayak ngomong depan umum, atau… ngajak gebetan ngobrol.

Aku pernah loh, bener-bener latihan ngomong di depan kaca.

Bukan karena aku narsis. Tapi karena aku pengen nyiapin kata-kata kalau suatu hari nanti aku bisa ngobrol sama orang yang bikin deg-degan.

Tapi yang terjadi?

Pas akhirnya aku benar-benar ketemu orangnya, semua script di kepala hilang.
Yang keluar cuma senyum kaku dan suara kecil yang bahkan semut pun nggak denger.

Gagal total.

Kadang aku iri sama orang yang bisa ngomong lancar, yang bisa masuk ke ruangan baru dan langsung jadi pusat perhatian.

Aku?
Masuk ruangan baru aja udah mikir,
“Aku harus duduk di mana biar nggak kelihatan mencurigakan?”

Lucunya, dari luar orang bilang aku terlihat tenang.
Tapi dalam hati?
Ada parade rasa ragu, dengan iringan marching band overthinking.

Aku sadar, percaya diri itu bukan barang yang bisa dibeli.

Dia bukan hoodie keren yang tinggal dipakai. Dia juga bukan filter Instagram yang bisa bikin kamu keliatan glowing dalam 0.5 detik. Percaya diri itu seperti otot.
Harus dilatih, harus dikuatkan, dan kadang… ya, tetap pegal juga. Aku belajar sedikit demi sedikit, bahwa percaya diri bukan berarti harus selalu yakin 100%.
Kadang cukup 30% aja, sisanya tinggalin ke Tuhan dan keberuntungan.

Kayak waktu aku nekat ngajuin ide di grup kerja. Tangan dingin, suara bergetar, tapi aku paksa juga ngomong.
Dan ternyata?
Ideku diterima.

Aku bengong. Ternyata rasa takutku tuh lebih kejam dari kenyataan.

Tapi jangan salah ya, ada hari-hari juga di mana aku merasa kayak file corrupt.

Nggak bisa dibuka, nggak bisa diproses, dan bawaannya pengen di-delete aja. Di hari-hari kayak gitu, aku cuma ingin menyendiri dan bilang ke dunia:
“Maaf, aku lagi maintenance. Coba hubungi lagi besok.”

Sayangnya, hidup nggak punya tombol “pause”.
Kita tetap harus jalan, walau kadang baterainya tinggal 5%.

Dan dari situ aku mulai belajar satu hal penting: Aku nggak butuh jadi sempurna buat percaya diri.

Aku cuma perlu jujur sama diri sendiri: “Iya, aku masih takut. Tapi nggak apa-apa. Takut itu manusiawi.”

Lama-lama, aku sadar…
Keberanian bukan muncul karena nggak ada takut. Keberanian itu muncul justru saat aku tetap melangkah walau masih deg-degan.

Aku juga belajar dari orang-orang di sekitarku.

Teman yang kelihatan pede saat presentasi, ternyata sebelumnya muntah dulu di toilet.
Teman yang aktif di komunitas, dulunya susah banget bilang "halo" ke orang baru.

Dan itu bikin aku sadar,
percayalah: semua orang sedang berjuang. Ada yang di mode “trial”, ada yang lagi “reboot”, ada juga yang “force close karena kelelahan”.

Jadi kalau aku boleh ngajuin update ke “tim developer” yang menciptakan aku,
aku cuma minta satu: “Tolong tambahkan fitur percaya diri. Tapi kalau bisa, jangan dalam bentuk drama. Biar bisa jalanin hidup dengan senyum, bukan sambil ngumpet di balik meja.”

Sampai saat ini, aku masih belajar. Percaya diri bukan tujuan akhir, tapi proses.
Proses untuk tetap sayang sama diri sendiri, bahkan saat diri ini belum sebaik yang aku mau.

Kadang aku juga latihan ngomong ke kaca. Tapi bukan lagi latihan biar keliatan keren. Sekarang, aku ngomong begini: “Hei, kamu sudah cukup. Kamu nggak harus sempurna untuk pantas didengar. Kamu layak dihargai, walau belum bisa tampil luar biasa.”

Dan tahu nggak?

Itu kalimat yang paling susah aku ucapkan dengan percaya diri.
Tapi itu juga yang paling menyembuhkan. Aku pernah nangis sendirian, cuma karena ngerasa nggak berguna. Pernah ngumpet di kamar mandi kantor karena takut bikin kesalahan.
Pernah nolak kesempatan bagus, cuma karena ngerasa “aku belum pantas”. Tapi tiap kali aku berhasil keluar dari momen itu, walau cuma selangkah, aku selalu bilang ke diri sendiri:

“Good job. Kita update versi sedikit hari ini.”

Kalau kamu juga pernah ngerasa kayak aku, tenang. Kamu nggak sendirian.

Kita ini kayak aplikasi yang masih dikembangin. Kadang error, kadang gagal login, kadang force close tanpa alasan. Tapi tetap aja: masih bisa dipakai, masih bisa diperbaiki, dan masih layak dicintai.

Kalau diri sendiri bisa di-update,
aku akan minta:

• Fitur percaya diri
• Tambahan ruang untuk memaafkan diri
• Notifikasi pengingat bahwa “semua orang juga pernah takut”
• Dan tentunya, dark mode buat hari-hari kelabu

Tapi karena nggak bisa update instan,
aku belajar satu hal penting:

Terus jadi dirimu.
Walau masih takut.
Walau masih ragu.
Karena di balik semua itu,
kamu tetap berkembang.

Dan itu keren.
Banget.

Kalau kamu masih nunggu update percaya diri dari langit, ingat: mungkin kamu nggak perlu nunggu. Mungkin kamu cuma perlu mulai jalan, dan kepercayaan diri itu akan menyusulmu dari belakang.

Pelan-pelan.
Tapi pasti.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (13)
  • limbooo

    Eh eh eh eh bab selanjutnya kapan ini? Lagi seru serunya padahal.. kira-kira Nara suka Nata juga ga ya??? Soalnya kan dia anhedonia🧐 .

  • limbooo

    Nara yang OCD, aku yang sesak nafas 🫠
    Ceritanya sampe ke relung hati🥹

  • rirydudidam

    aku memang sedang terlalu kacau, lalu baca ini, nangis lagi lah aku. padahal aku tidak pernah seperti Nara, tapi aku tetap nangis.

  • ervina

    Kasian si Nara

  • patraya

    Can't believe that the author could convey the emotion so thoroughly in the story.. this story simply bring the reader into an emotional rollercoaster. Love it!

  • niningdoyosyi

    Ceritanya perlahan ku baca, benar benar sesuai realita, hampir semua orang mengalaminya kurasa,,,
    Semakin nagih bacanya😍

  • iin

    Ceritanya bagus

    Comment on chapter PROLOG
  • amandabee

    Ini novel bener2 keren bgt sih, tata penulisannya, alurnya, bener kita terbawa ke ceritanya jadi bacanya bikin canduuuu bgttttt

  • witri

    Ceritanya seru, nagih bacanya.
    Ditunggu kelanjutannya 🫶🏻

    Comment on chapter PROLOG
  • sabitah

    sedih banget sumpah, bergetar bacanya

Similar Tags
Finding the Star
2469      1548     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Warisan Tak Ternilai
1004      489     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Fragmen Tanpa Titik
80      74     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
736      506     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Lovebolisme
410      358     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
3664      1606     2     
Inspirational
Raina, si Gadis Lesung Pipi, bertahan dengan pacarnya yang manipulatif karena sang mama. Mama bilang, bersama Bagas, masa depannya akan terjamin. Belum bisa lepas dari 'belenggu' Mama, gadis itu menelan sakit hatinya bulat-bulat. Sofi, si Gadis Rambut Ombak, berparas sangat menawan. Terjerat lingkaran sandwich generation mengharuskannya menerima lamaran Ifan, pemuda kaya yang sejak awal sudah me...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
619      440     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
372      283     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
Kelana
1631      1055     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
437      343     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...