Siang itu, langit tampak mendung. Awan-awan kelabu menggantung rendah, seolah menyelimuti kawasan tempat Tara tinggal dengan selimut sunyi. Usai membeli beberapa camilan dari warung, ia menutup pagar rumahnya perlahan. Hari ini, Tara mengambil cuti dari kantor. Bukan karena alasan yang besar atau darurat, tapi karena ia ingin memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk beristirahat, menyelam dalam sunyi, dan menulis.
Di dalam kamar, Tara duduk di depan meja belajarnya. Laptop sudah menyala. Ia menyusun satu per satu perbekalannya: segelas matcha hangat, beberapa camilan ringan, dan satu tarikan napas yang dalam. Sebuah rutinitas kecil yang membuat dunia terasa lebih tenang.
Ia membuka draft ceritanya, Lukisan Tanpa Warna. Namun sebelum larut dalam semesta imajinasi, ia membuka Gmail. Matanya menyapu daftar pesan masuk. Beberapa adalah email yang sudah lama tak tersentuh, sebagian lainnya adalah tanda diam dari naskah yang pernah ia kirimkan. Tomorrow, cerita yang sudah ia ajukan ke beberapa penerbit mayor belum juga mendapat jawaban, bahkan setelah empat bulan berlalu.
Tara terdiam. Ia tahu, dalam dunia perbukuan, tak ada kabar setelah tiga bulan biasanya berarti penolakan tanpa kata. Ia menghela napas. Lalu membuka platform menulisnya, dan melihat bahwa Tomorrow masih tertahan di angka 51 ribu pembaca. Tak buruk, tapi terasa jauh dari mimpi besar: melihat bukunya terpajang di rak Gramedia.
Namun, Tara bukan tipe yang menyerah begitu saja. Ia memutuskan untuk mencoba satu jalan lain, mengajukan naskah ke sebuah penerbit self-publishing yang cukup dikenal, Lestari Publishing. Bukan lewat email, kali ini ia memilih jalur lebih personal: mengirim pesan melalui WhatsApp, dari nomor yang ia temukan di Instagram penerbit tersebut.
Tara mulai mengetik. Cukup lama:
| "Halo, selamat siang Kak. Mohon maaf sebelumnya. Perkenalkan, saya Tara Aksara, salah satu penulis aktif di platform menulis digital. Sejauh ini, saya telah mempublikasikan dua cerita, dan salah satunya berjudul Tomorrow. Sampai hari ini, cerita tersebut telah dibaca lebih dari 51,5 ribu kali dan jumlah pembacanya terus bertambah setiap harinya.
Saya tertarik dengan unggahan dari Instagram Lestari Publishing mengenai 'cari naskah seleksi dan terbit gratis'.
Beberapa waktu lalu saya juga telah mengirimkan naskah Tomorrow melalui tautan yang disediakan, karena saya merasa cerita ini memiliki kriteria yang sesuai dengan yang sedang dicari.
Semoga saya bisa mendapat kesempatan dan kabar baik. Terima kasih banyak, Kak."
Belum ada balasan. Tara kembali menenggelamkan diri dalam cerita yang sedang ia tulis. Jemarinya menari di atas keyboard, menggambarkan perjalanan seorang pelukis yang jatuh cinta dalam diam. Di sela-sela itu, ia menyeruput matcha yang mulai mendingin dan mengunyah camilan dengan tenang.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah balasan.
| "Hai Kak Tara, salam kenal yaa! Aku Mila, customer service dari Lestari Publishing. Makasih banget udah hubungi duluan. Wah, keren banget Kak! Ceritanya tentang apa, ya? Boleh minta link-nya? Aku mau cek dulu, siapa tahu bisa lolos seleksi."
Balasan yang ramah itu membuat hati Tara menghangat. Ia langsung mengirimkan sinopsis singkat beserta tautan cerita. Tak lama, balasan kedua datang:
| "Mungkin besok aku baru bisa kasih keputusan ya, Kak."
Tara mengangguk, membalas dengan kalimat yang tak kalah sopan. Baginya, besok bukanlah waktu yang lama. Mendapat balasan pun sudah cukup membuat hari ini terasa lebih berarti.
Ia kembali menulis. Kali ini, tokoh utama dalam ceritanya terasa begitu dekat. Seorang introvert, misterius, tak banyak bicara, tokoh yang, tanpa sadar, mencerminkan dirinya sendiri. Mungkin, Tara memang sedang menuliskan dirinya melalui tokoh itu. Atau mungkin, ia sedang menuliskan seseorang yang selama ini ia kagumi dari jauh.
Di akhir Bab Lima, Tara mengetikkan sepenggal dialog, suara hati tokohnya:
"Bicaralah, untuk membuktikan bahwa kamu mampu.
Berbuatlah, untuk menunjukkan bahwa kamu sanggup.
Keluar dan taklukkan dunia, alih-alih menyendiri dalam fantasi yang tak jelas."
"Yang diam akan kalah oleh yang pandai bicara."
kata si ekstrovert pada si introvert.
***
Keesokan harinya, langit menghadiahkan Tara pemandangan yang berbeda. Cerah. Biru. Seolah semesta ingin ikut merayakan sesuatu yang belum sepenuhnya terjadi, tapi sudah mulai terasa.
Tara bersiap kembali bekerja. Hari ini, ia naik angkot karena Awan, kekasihnya, mengabari bahwa ia akan berangkat lebih siang karena ada keperluan. Di dalam angkot yang cukup padat, Tara duduk terhimpit. Tak bisa melihat ke luar jendela. Ia pun membuka Instagram, sekadar mencari distraksi.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul. Dari Lestari Publishing.
| "Halo Kak Tara, selamat pagi! Aku mau kasih informasi bahwa tim Lestari Publishing bersedia meminang cerita Tomorrow untuk diterbitkan di sini. Setelah meninjau isi cerita, rate, dan gaya penulisan Kakak, kami rasa naskah ini layak untuk terbit. Jika Kakak bersedia, aku akan kirimkan S&K terbit gratis serta format MOU-nya. Mohon segera konfirmasi ya, terima kasih!"
Tara menahan napas. Tangannya bergetar pelan. Ada rasa yang meledak, namun ia simpan baik-baik di dalam dada. Bahagia, haru, juga rasa percaya diri yang mulai tumbuh kembali setelah sekian lama diragukan, terutama oleh dirinya sendiri.
Di tengah hiruk pikuk pagi, dalam angkot yang berderit pelan, Tara menatap layar ponselnya. Matanya memburam oleh air mata. Tapi kali ini, bukan karena kecewa. Melainkan karena harapan yang akhirnya menjelma nyata.
Sesampainya di kantor, Tara menyempatkan diri duduk sebentar di bangku taman kecil sebelum masuk ke gedung. Ia membuka ponselnya, membaca ulang pesan dari Lestari Publishing. Berkali-kali. Ada rasa yang tak bisa diungkapkan hanya dengan senyum atau tawa. Ini adalah momen yang menggetarkan jiwanya, menguatkan luka-luka yang selama ini ia sembunyikan di balik layar laptop, di antara barisan kata dan dialog fiktif.
Hari itu, dunia terasa lebih terang meski mendung mulai menggantung di langit. Tara tahu, perjalanan ini belum selesai. Justru baru dimulai. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa: “Aku tidak salah memilih jalan ini.”
Di sela pekerjaan kantor, Tara mencuri waktu membuka MOU dan S&K yang dikirimkan. Ia membaca seksama. Semua terasa nyata. Nama pena “Tarasaraa” akan segera tertulis di halaman depan buku cetak pertamanya. “Tomorrow” bukan lagi sekadar judul, melainkan bukti bahwa harapan akan selalu hidup selama seseorang mau percaya dan terus menulis, meski dunia tak selalu mendengar.
***
Tara membaca syarat dan ketentuan yang dikirimkan penerbit dengan saksama. Kalimat demi kalimat ia pahami, seolah menelusuri peta dari sebuah perjalanan panjang yang telah lama ia nantikan.
Ia menyetujui seluruh ketentuan yang tertulis. Bahwa pihak penerbit tak akan menyunting keseluruhan naskah. Typo, ejaan, bahkan susunan kalimat akan menjadi tanggung jawab penuh penulis. Bagi Tara, itu bukan hal yang memberatkan. Ia siap. Lagipula, sebagai seseorang yang mencintai kata-kata, membenahi tulisan sendiri terasa seperti merawat taman. Melelahkan, tapi menenangkan.
Selain itu, penerbit menjanjikan desain sampul, tata letak isi buku, dan bahkan flyer promosi. Tara menganggap itu lebih dari cukup. Baginya, bisa melihat Tomorrow menjelma menjadi buku fisik saja sudah seperti mimpi yang jadi nyata.
Namun, ada satu syarat yang membuatnya berhenti sejenak. Matanya membacanya berulang-ulang.
"Pada pemesanan awal (PO pertama), buku harus terjual sedikitnya 20 eksemplar. Jika tidak terpenuhi, maka sisa eksemplar akan dibebankan kepada penulis."
Tara terdiam.
Tak ada yang salah dengan angka dua puluh. Itu bukan angka yang besar, bukan pula jumlah yang mustahil. Tapi di kepalanya, ada suara kecil yang bertanya: bisakah aku menjualnya? Bukan karena ragu pada karyanya, tetapi karena takut tak ada yang benar-benar peduli.
Ia menatap ke luar jendela. Langit sore tampak buram, seolah menyatu dengan pikirannya yang mulai diselimuti keraguan. Tapi suara lain muncul dalam dirinya—lebih tenang, lebih tegas.
Tomorrow sudah dibaca oleh lebih dari lima puluh ribu mata. Mungkin tak semuanya benar-benar membaca sampai akhir. Tapi dari jumlah itu, pasti ada satu, dua, atau mungkin dua puluh orang yang akan mengulurkan tangan, yang akan mendukung tanpa diminta.
Tara mengangguk. Ia belajar untuk percaya. Sekali lagi.
Dengan hati yang mantap, ia membalas pesan dari Mila. Ia menyatakan kesediaannya, lengkap dengan lampiran format MOU yang telah ditandatangani.
Dan hari-hari berikutnya, Tara hidup dalam kesibukan baru. Ia menyunting naskahnya, membuka kembali setiap bab dengan mata baru, mencari typo yang luput, memperbaiki kalimat yang terasa goyah, dan menyempurnakan dialog yang dulu terasa cukup, tapi kini bisa jadi lebih.
Selama satu minggu penuh, hidupnya berputar di antara halaman-halaman Tomorrow. Ia hampir melupakan rasa lelah, karena tiap perbaikan seperti detak jantung yang membuat naskahnya lebih hidup, lebih bernyawa.
Ia tak lagi hanya menjadi penulis. Ia menjadi editor bagi karyanya sendiri, dan juga pembaca pertama yang jatuh cinta lagi, dan lagi, pada cerita yang ia bangun dengan ketulusan.
Dan ketika segalanya selesai, ia menekan tombol kirim.
Naskah lengkap Tomorrow ia serahkan kepada tim Lestari Publishing. Tak lama berselang, sebuah pesan masuk.
| "Terima kasih, Kak Tara. Naskahnya sudah kami terima. Setelah dicek, semuanya sudah lengkap dan rapi. Kami konfirmasi bahwa Tomorrow akan diterbitkan bulan depan."
Tara menatap layar ponselnya lama-lama.
Bulan depan.
Dua kata yang terdengar sederhana, tapi baginya adalah gerbang menuju dunia yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.
Bulan depan, Tomorrow bukan lagi sekadar judul cerita digital. Ia akan berubah menjadi lembar-lembar nyata, yang bisa disentuh, dibuka, dan mungkin—dicintai.
Dan di dalam dirinya, sebuah suara berbisik pelan: mungkin ini bukan tentang menjual dua puluh eksemplar. Tapi tentang membuktikan bahwa kamu, yang dulu hanya bermimpi, kini sedang melangkah.
real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii
Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik