Hari-hari berjalan seperti biasanya. Hanya saja, ada yang berubah. Ada sebuah perasaan baru yang tertanam, teman baru, dan kisah baru bersama lelaki yang kini disebut Tara sebagai kekasihnya. Ia tetap berangkat bekerja seperti biasa; kadang menaiki angkot, kadang dijemput Awan. Begitu pula saat pulang. Meski hubungan mereka masih tersembunyi, karena Tara belum siap jika rekan-rekan kantornya mengetahuinya, mereka tetap bekerja seperti biasa, tanpa bumbu kebucinan atau hal-hal yang bisa mencuri perhatian.
Hari itu, Tara sibuk menyusun laporan penjualan dan merangkum summary akhir. Ia mengerjakannya dengan hati-hati dan penuh ketelitian. Namun di tengah-tengah kesibukannya, gejolak itu kembali hadir. Menakutkan, tak diundang, dan tak bisa dicegah. Dunianya mendadak oleng, warna-warna di sekelilingnya memudar menjadi abu-abu. Jantungnya berdetak tak menentu, tubuhnya melemas, pandangannya kabur, dan kepalanya terasa berputar tanpa arah.
Tara memegangi dadanya yang mulai terasa nyeri. Psikosomatis itu datang lagi, menyergap bagian tubuh yang rapuh. Ia meringis, menunduk, menahan semuanya sendiri. Tak ia sadari, Awan dari kejauhan sesekali melirik, memperhatikan gerak-geriknya. Tapi demi menjaga rahasia mereka, Awan memilih diam dan mengetik sesuatu di ponselnya.
Sebuah notifikasi muncul di layar Tara.
| "Ra, kamu nggak apa-apa? Sakit?"
Tara mengangkat wajah, menatap Awan sejenak. Pandangannya sedih, namun ia mencoba tegar. Lelaki itu belum tahu, bahwa ada kekurangan dalam diri Tara, badai yang sulit dijelaskan kepada siapa pun. Badai yang hanya Tara sendiri yang tahu betapa mengerikannya.
Tara tersenyum tipis dan membalas pesan itu.
| "Nggak apa-apa kok."
| "Serius???"
| "Iya."
Awan tak membalas lagi, mungkin karena Tara berusaha terlihat baik-baik saja. Ia kembali menatap layar laptopnya, berpura-pura fokus pada pekerjaan. Padahal, di bawah meja, kakinya sudah gemetaran dan tak bisa diam.
Tapi gelombang itu makin menggila. Bukan memberi jeda, ia justru makin menyiksa. Tara tak sanggup lagi menahan, ia bangkit dan berlari ke kamar mandi. Pintu ditutup cepat-cepat, lalu ia berjongkok di sana, menangis dalam diam. Membiarkan kepanikan itu menguasai tubuh dan pikirannya.
Ketika merasa tak sanggup lagi, Tara menyerah. Ia mengetik pesan kepada Nura. Nura adalah satu-satunya orang di kantor yang tahu soal kecemasan dan kepanikan yang sering menyerangnya.
Tak lama, pintu toilet diketuk. Nura datang, membawa segelas air putih.
"Ra, jangan jongkok di sini," ucap Nura pelan, lalu membantu Tara yang sudah setengah lemas menuju kursi di dekat toilet. "Nih, minum dulu."
Tara menerima air itu perlahan, mencoba menata napasnya yang tercekat. Diteguknya air itu sedikit demi sedikit, seolah air itulah satu-satunya harapan untuk kembali waras.
"Udah baikan?" tanya Nura, memastikan.
Tara mengangguk lemas. "Makasih ya, Nura."
Di saat yang bersamaan, Awan keluar dari ruangannya dan melihat Tara yang terduduk lemah bersama Nura. Pandangannya tertuju pada kekasihnya yang tampak rapuh, tapi ia tetap bersikap biasa. Diam-diam, ia memperhatikan, khawatir Nura menyadari.
Tara yang tadi sempat berkata bahwa ia baik-baik saja, kini merasa bersalah. Seolah ia telah membohongi Awan. Dalam hatinya, ia berharap semoga Awan bisa memahami, meski tak pernah benar-benar mengerti.
***
Sore itu, Tara pulang bersama Awan seperti biasa. Ia menunggu di halte depan kantor, menanti lelaki itu datang menjemputnya. Tak seperti biasanya, Tara yang selalu diantar pulang tanpa perantara apa-apa. Tapi kali ini, motor Awan berhenti di depan sebuah kafe rooftop delapan lantai di Jakarta.
Tara terperangah. Di hadapannya, city light mulai menyala seiring langit yang meredup. Mereka duduk di sudut kafe, posisi terbaik untuk menyaksikan pemandangan kota. Tak lama, segelas matcha dan kopi tersaji di hadapan mereka. Tara menyeruput matcha favoritnya perlahan.
"Ra, tadi kamu kenapa?" tanya Awan tiba-tiba.
Tara tak menyangka, bahwa alasan mereka ke sini adalah untuk membicarakan siang tadi. Ia sempat kikuk, tapi ketika tangan Awan menyentuh punggung tangannya dengan lembut, ada keberanian yang muncul begitu saja.
"Aku punya anxiety disorder, Mas."
"Anxiety disorder? Cemas maksudnya?" Awan bertanya, bingung.
Tara mengangguk. "Kurang lebih begitu. Anxiety itu sebenarnya cuma rasa cemas biasa, tapi dia sulit diusir. Lama-lama dia menumpuk, jadi panik. Rasanya kayak meledak dari dalam."
Awan diam. Mencerna.
"Tadi itu, kamu panik?"
Tara kembali mengangguk. "Panik karena anxiety tuh beda, Mas. Bikin kita takut akan hal-hal yang nggak pasti. Takut gila, takut hilang kendali, bahkan... takut mati."
"Sejak kapan kamu ngerasain itu?"
"Mungkin udah setahun, atau lebih. Aku nggak ingat persisnya," jawab Tara sambil menunduk.
"Dan tahu nggak?" lanjutnya lirih, "Pertama kali diserang panik, aku sampai masuk IGD. Satu keluarga panik."
Awan mendengarkan. Diam, namun tak acuh. Tara terus bercerita tentang bagaimana semuanya bermula, bagaimana rasanya hidup dengan kecemasan, dan bagaimana ia perlahan-lahan belajar untuk menghadapinya. Tak ada penghakiman. Hanya anggukan dan tatapan yang mencoba memahami.
"Maaf ya, tadi aku nggak tahu... Maaf karena nggak peka."
Hati Tara hampir meleleh. Lelaki ini tak salah apa-apa, tapi ia meminta maaf seolah ikut merasa bersalah atas luka yang tak ia ciptakan.
Tara menggeleng. "Kenapa harus minta maaf?"
Awan menatap langit malam yang mulai kelam. Di sana, tak ada bintang, hanya awan tebal yang menutupi purnama.
"Aku nggak tahu apa itu anxiety disorder, atau panic attack. Tapi setelah denger cerita kamu, aku percaya... semua yang kamu rasain itu nyata. Kamu nggak ngarang. Dan mulai sekarang, kalau kamu butuh seseorang... kamu boleh cari aku."
***
Tara menatap lelaki itu, seakan ingin memastikan kalau yang baru saja ia dengar bukan hanya ucapan pelipur lara. Tapi Awan tak berpaling, justru menatapnya dengan keyakinan yang baru, seperti seseorang yang tengah mencoba memahami lautan yang tak pernah ia selami sebelumnya.
Ada jeda. Bukan karena hening, tapi karena hati Tara pelan-pelan meleleh dalam diam. Ucapan Awan tadi terasa lebih hangat dari segelas matcha, lebih dalam dari city light yang kini berkelap-kelip di bawah sana.
"Ra..." ucap Awan lagi, kali ini suaranya lebih lirih, lebih jujur. "Kamu gak sendirian ya. Aku tahu aku bukan penyembuh, bukan obat, tapi aku mau jadi seseorang yang kamu tahu bisa kamu andalkan... kapan pun kamu ngerasa dunia kamu runtuh."
Tara menggigit bibirnya pelan. Bukan karena sedih, tapi karena matanya mulai terasa berat oleh air yang sebentar lagi jatuh.
"Terima kasih, Mas," bisiknya.
Malam itu, langit tampak biasa saja. Tak ada bintang, tak ada pertanda apa pun. Tapi bagi Tara, malam itu adalah langit paling istimewa. Di bawahnya, ia menemukan seseorang yang tak lari saat tahu dirinya retak. Seseorang yang memilih tetap tinggal, meski tak mengerti seluruh isi labirin yang ada dalam dirinya.
***
Hari-hari setelahnya berjalan seperti biasanya. Masih dengan tumpukan laporan, deadline, dan kopi matcha saset yang setia menemaninya. Tapi ada yang sedikit berbeda: kini Tara tak merasa sendirian. Setidaknya, ia tahu ada seseorang yang bisa ia tuju ketika perasaan-perasaan aneh itu kembali mengetuk tanpa permisi.
Ada masa ketika panik itu kembali menyerang, namun Awan akan langsung mengirim pesan seperti,
| "Kamu lagi apa? Tarik napas, pelan-pelan. Aku di sini."
Kadang, tak perlu kehadiran secara fisik. Cukup satu pesan, cukup satu suara, cukup satu keyakinan bahwa ada yang peduli, itu sudah membuat Tara merasa lebih kuat.
Ia memang masih berjuang, dan mungkin akan terus begitu. Tapi kini, ia tahu, perjuangan itu tak harus dilalui sendirian.
real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii
Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik