Hari-hari berlalu dengan pelan tapi penuh degup. Tara kini berada di fase penantian, masa paling sunyi sekaligus paling bising di dalam kepala. Naskah sudah dikirim, semuanya sudah ditandatangani. Yang tersisa hanyalah menunggu. Menunggu kabar, menunggu layout, menunggu desain, dan yang terpenting: menunggu pre-order dibuka.
Pada suatu pagi, notifikasi dari WhatsApp kembali berbunyi. Dari Kak Mila, customer service Lestari Publishing.
| “Kak Tara, ini aku kirim draft covernya ya. Desain ini kami sesuaikan dengan isi dan nuansa cerita Tomorrow. Semoga suka!”
Tara membuka dokumen pdf dari Lestari Publishing dengan hati yang berdebar. Di dalamnya, tersisip sebuah gambar lampiran: desain sampul novel Tomorrow berwarna biru yang mendominasi, berpadu dengan garis horizon yang tenang, seolah pantai itu sedang membisikkan kedamaian.
Tara tertegun.
Biru itu bukan sembarang biru. Ia bukan hanya tentang laut atau langit, tapi tentang hatinya sendiri; yang sering pasang-surut, diam-diam bergemuruh, tapi selalu berharap menjadi tenang. Sampul itu seperti menggambarkan dirinya: seseorang yang pernah karam, namun tak henti berenang menuju permukaan.
Tangannya bergetar saat menyentuh layar. Ia mengusap sampul digital itu seolah bisa disentuh. Ia membaca ulang nama penanya yang terpampang di bawah judul: Sebuah Buku Novel Karya Tarasaraa. Rasanya tak nyata. Seperti mimpi yang diam-diam tumbuh dan sekarang berani mengetuk dunia.
Lalu masa PO pun dibuka dengan rentang waktu selama satu minggu.
Tara menyusun kata-kata pengumuman dengan hati-hati. Ia unggah di Instagram Story, Twitter, dan beberapa grup WhatsApp. Kalimat-kalimatnya singkat, tapi mengandung doa yang panjang. Ia tidak berharap banyak, tapi juga tidak ingin kehilangan harapan. Tak kelewatan, ia juga menyetujui kolaborator, postingan untuk flyer promosi dan pengumuman PO novelnya.
Hari pertama, beberapa pesan masuk.
| “Aku udah PO yaa. Bangga sama kamu, Tar.” pesan dari Nura.
Lalu, Putri menyusul.
| “Akhirnya kamu berani terbitin. Selamat ya! Aku percaya Tomorrow bakal sampai ke banyak hati.”
Dan, Awan kekasihnya pun ikut mengirim bukti pembayaran tanpa kata-kata panjang. Hanya satu kalimat.
| “Aku ikut PO. Selamat ya Ra! Aku tahu tulisan kamu layak dibaca dunia.”
Tara menahan air matanya. Bukan karena jumlah pesan yang datang, tapi karena makna di baliknya. Kata-kata mereka menghangatkan hatinya, seperti matahari kecil yang menyusup lewat celah jendela pagi.
Namun hari terus berjalan, dan PO perlahan mencapai ujung.
Hari ketujuh, di sore hari Tara menerima pesan dari penerbit:
| “Halo Kak Tara, kami ucapkan terima kasih karena PO sudah selesai. Total penjualan buku Tomorrow untuk PO pertama adalah 15 eksemplar.”
Tara membacanya perlahan.
Lalu pesan kedua menyusul:
| “Sesuai S&K, karena belum mencapai target minimal 20 eksemplar, maka 5 eksemplar sisanya perlu dibeli oleh penulis.”
Diam.
Rasanya seperti duduk sendirian di stasiun yang perlahan sepi. Bukan kecewa yang datang, tapi semacam sunyi yang menggigit pelan. Tara tahu ini adalah kemungkinan yang sempat ia pikirkan, tapi tetap saja, saat kenyataan datang, tetap terasa berat.
Ia menunduk, mencoba menerima. Lalu menulis balasan:
| “Baik, Kak. Saya setuju. Saya akan ikut PO juga untuk 5 buku lainnya.”
Malam itu, Tara membuka formulir PO. Mengisi datanya sendiri. Memesan bukunya sendiri. Lima eksemplar Tomorrow. Lima buku yang akan ia simpan, atau mungkin ia berikan diam-diam kepada orang-orang yang pernah menguatkannya. Lima bukti bahwa meski dunia belum sepenuhnya melihat, ia tetap percaya pada cahayanya sendiri.
Tara tak marah, tak kecewa. Hanya... sedikit sunyi. Tapi ia tahu, ini bagian dari perjalanan. Kadang, sebelum buku kita dibaca orang lain, kita harus cukup mencintainya lebih dulu, cukup untuk membelinya, mempercayainya, dan tetap menyimpannya saat dunia belum melirik.
Dan ia melakukannya.
Karena Tomorrow bukan hanya cerita.
Ia adalah sebagian jiwanya yang dicetak dalam lembaran-lembaran kertas.
Dan siapa tahu, besok atau lusa, mungkin saja buku itu sampai ke tangan seseorang yang membacanya dengan hati. Dan saat itu tiba, Tara tahu, ia sudah melangkah sejauh ini bukan tanpa alasan.
***
Tiga puluh hari terasa lambat berjalan, seperti waktu sengaja meniti langkah demi langkah di atas hati Tara. Ia menanti diam-diam, tidak banyak bertanya, tidak berisik di media sosial, hanya sesekali menyimpan harapan. Harap bahwa buku pertamanya akan benar-benar datang, bukan hanya sebagai mimpi yang dibicarakan dalam sunyi.
Dan sore itu, bunyi ketukan terdengar dari depan rumah. Sebuah paket besar dengan nama pengirim: Lestari Publishing.
Tara tidak perlu berpikir dua kali. Tangannya refleks menyambut kardus itu seolah ia telah mengenalnya sejak lama. Senyum kecil terselip di bibir, seperti seseorang yang akhirnya pulang setelah perjalanan jauh.
Di ruang tengah, keluarganya tengah bercakap ringan; tentang harga sayur, tentang kabar saudara jauh, tentang hal-hal yang biasa, tapi malam itu terasa lebih hangat.
Dengan penuh semangat, Tara menyobek lakban pelan-pelan. Bubble wrap yang tebal menjadi penghalang terakhir antara dirinya dan impiannya.
Suara gesekan plastik menyatu dengan tawa Mamah dan komentar Sekar yang ramai.
Lima buku.
Masih tersegel. Masih wangi cetakan baru. Masih menyimpan seluruh perjalanan panjang dalam lembar-lembar halusnya. Tara memegang salah satunya, membukanya perlahan, mendapati pembatas buku yang disisipkan manis seperti ucapan selamat yang tidak bersuara.
Ia mengelus sampulnya sekali lagi. Biru itu kini benar-benar ada dalam genggamannya.
Dan untuk pertama kalinya, Tara merasa:
impian itu bukan lagi sekadar bayangan.
Ia adalah benda nyata, bisa disentuh, bisa dibuka, bisa dibaca.
"Aku liat dong, Kak. Aku buka satu ya?" tanya Sekar antusias. Tara mengangguk ringan, dan adiknya membuka satu eksemplar dengan rasa penasaran yang riang.
Mamah ikut mendekat, memegang buku itu seperti memegang sesuatu yang baru saja tumbuh di tengah rumah mereka. "Bagus, Ra. Keren judulnya," ucap Mamah. Tara hanya membalas dengan senyuman. Singkat, tapi menghangatkan.
Ayah dan Kak Dira pun akhirnya bangkit dari duduk, tertarik oleh suara-suara kecil yang riuh. Mereka ikut memperhatikan sampai mencoba menggenggam bukunya, membaca blurb di belakangnya, mengangguk-angguk kecil seolah mencoba memahami dunia yang Tara bangun dengan jemarinya.
"Keren lah, lanjutin Ra," puji Kak Dira sambil menepuk bahunya.
Tara tertawa kecil. "Iyalah, keren!" jawabnya percaya diri.
Namun di antara semua itu, matanya menyisir sosok yang paling ia nantikan: Ayah. Ia sedang menatap buku itu lama, membolak-balik halamannya, seperti tengah mencari sesuatu yang tak ia temukan. Tara menunggu, berharap akan ada pujian kecil—walau hanya satu patah kata.
Tapi yang keluar justru...
"Tebel juga bukunya, Ra. Kapan nulisnya kamu? Perasaan Ayah perhatiin, kalau di rumah kamu tidur sama makan aja deh."
Kalimat itu masuk seperti angin dingin di tengah sore yang hangat.
Tara diam sejenak. Bukan karena ia kaget, tapi karena ia sudah seringkali merasakan hal yang sama. Keinginan diakui, tetapi yang datang justru gurauan yang terasa menohok.
Namun kali ini, ia tak memilih diam sepenuhnya.
Dengan tawaan ringan yang menyamarkan kecewa, Tara menjawab:
"Itulah makanya Ayah jangan salahin aku kalau di kamar terus. Karena aku buat semua ini."
Kalimat itu tidak keluar dengan marah.
Hanya pelan. Tapi dalam. Seperti bisikan dari hati yang sudah lama ingin didengar.
Ayah tidak menjawab. Tapi ia kembali menatap buku itu, lebih lama dari sebelumnya.
Dan malam itu, meski tak semua pujian datang seperti yang Tara harapkan, ia tahu:
buku itu adalah bukti. Bahwa ia benar-benar menulis. Benar-benar mencipta. Benar-benar hidup.
Tara kembali memandangi bukunya sebelum menyimpannya di rak. Mungkin, tak semua orang akan segera memahami perjuangannya.
Dan bagi seorang penulis, kadang itulah awal dari segala keberanian.
***
Setelah semua reda, setelah buku-buku itu disusun rapi di rak kayu, Tara kembali ke kasurnya. Malam telah larut, tapi matanya belum lelah. Masih ada jejak hangat yang tertinggal dari momen tadi—jejak yang sulit dijelaskan, seperti perasaan ketika hujan reda dan tanah menguapkan bau tenang.
Ponselnya bergetar pelan. Satu notifikasi masuk.
Dari Awan.
| "Ra... bukunya udah sampe barusan. Keren banget! Aku bangga banget sama kamu!"
Tara terdiam sejenak. Membaca ulang kalimat itu.
Seperti menyesap teh hangat di malam yang sunyi. Tara ingin dengar kalimat itu sejak tadi, kata bangga yang ia nanti-nanti dari orang rumah, tapi melihat pesan Awan yang berhasil menyentuh titik lemahnya, Tara merasa, ini sudah lebih dari cukup.
***
Malam telah menyusut pelan di balik tirai biru. Di luar, sunyi menggulung kota seperti selimut usang yang akrab dengan kesepian. Sementara itu, di dalam kamar kecilnya, Tara masih terjaga. Lampu meja menyala temaram. Buku-bukunya sudah ia susun rapi, namun matanya belum ingin terpejam. Ada satu bagian dalam dirinya yang masih hangat, masih menyala pelan, seperti sumbu lilin yang enggan padam.
Dan dari kehangatan itulah, sebuah ide muncul.
Sebelum benar-benar menyerah pada kantuk, Tara membuka kembali aplikasi menulis tempat ia pertama kali menumpahkan ceritanya. Di sanalah Tomorrow hidup, bertumbuh, dan menemukan pembacanya.
Ia membuka kolom komentar, menggulir pelan, membiarkan matanya menari di antara kata-kata yang ditinggalkan para pembaca. Ada yang menulis dengan antusias, ada yang reflektif, ada pula yang hanya menuliskan satu kata sederhana: "terima kasih."
Tara membacanya satu-satu, seolah menyapa jiwa-jiwa yang pernah singgah.
Dan di tengah perjalanan itu, ia terdiam pada satu komentar:
"Cerita ini bikin aku merasa dimengerti, meskipun nggak ada yang pernah benar-benar tanya aku kenapa aku sedih." — @aratamira_
Lalu satu lagi:
"Makasih kak udah bikin cerita indah ini. Aku nangis semalaman loh." — @pengabdisenja07
Ada juga yang penuh canda:
"Meskipun mata ini banjir air, tapi sampai 100 bab pun akan kujabani." — @moonlovers
Dan satu komentar singkat namun dalam:
"Semoga kamu nggak berhenti nulis, ya."— @akubutuhbahasa
Tara menghela napas pelan. Dadanya penuh. Bukan karena sedih, tapi karena rasa syukur yang diam-diam mengembang seperti pagi. Tiba-tiba, ia tahu apa yang ingin ia lakukan malam ini.
Ia membuka kembali lima buku yang masih tersegel. Mengambil empat di antaranya, lalu menulis di notes kecil: Untuk kamu, pembaca sunyi yang pernah singgah diam-diam. Terima kasih sudah membaca dengan hati.
Satu per satu, Tara mencari akun yang meninggalkan jejak itu. Ia mengirimkan pesan pribadi, pelan-pelan, seperti mengetuk pintu kenangan:
"Hai, ini Tara. Aku penulis cerita Tomorrow. Aku pengen bilang makasih banget karena kamu pernah membaca, pernah meninggalkan kata, pernah menyemangati tanpa tahu apa yang sedang aku perjuangkan. Aku ingin kirim novel versi cetaknya ke kamu, sebagai ucapan terima kasih kecil dariku. Gratis, tanpa syarat. Hanya karena kamu adalah bagian dari perjalanan ini. Kalau kamu bersedia, kasih tahu aku alamatmu ya, DM aku di instagram @Tarasaraa."
Lalu ia kirim. Keempatnya. Dan menunggu.
Malam itu, Tara mematikan lampu meja. Tapi hatinya menyala lebih terang dari cahaya. Ia tak tahu bagaimana balasan dari para pembacanya nanti. Tapi yang ia tahu, rasa ini tak bisa dibiarkan membeku begitu saja. Ia harus berbagi. Karena perjalanan ini bukan hanya tentang dirinya dan tinta, tapi tentang hati-hati yang pernah terpaut oleh cerita.
Tepat sebelum tidur, Tara menatap langit-langit kamarnya, mengingat bagaimana dulu ia menulis dengan gemetar, dengan keraguan, dengan malam-malam panjang yang tak berujung.
Dan kini, dari empat buku yang awalnya membuatnya sedih karena tak laku, ia temukan kembali maknanya. Ia kirimkan bukan sebagai beban, tapi sebagai hadiah. Sebagai bentuk cinta yang diam-diam ingin tumbuh di hati orang lain.
Ia membuka aplikasi twitternya, mengetik sesuatu di sana. Seperti biasa dengan sedikit pengikut dan akun yang di gembok.
"Terkadang, hadiah terbaik dari sebuah tulisan bukanlah tepuk tangan atau pujian, melainkan ketika kisahmu diam-diam menjadi pelipur lara bagi seseorang yang tidak kau kenal, namun hatinya pernah merasa sama."
Tara tersenyum. Lalu akhirnya, tertidur.
real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii
Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik