Aku menjalani dua pelajaran pertama dengan tenang. Setidaknya, sebisa mungkin mencoba terlihat biasa saja—meskipun tongkat yang kugunakan tak henti-hentinya menarik perhatian.
Beberapa teman dekat mulai bertanya, tentu saja. Tapi aku hanya tersenyum sekenanya, menjawab dengan kalimat pendek dan enteng.
Yang paling heboh, seperti biasa, Nube. Sepanjang hari dia mondar-mandir mendekati Kenan, mencecarnya dengan pertanyaan seolah sedang menginterogasi tersangka.
“Aku yakin banget kamu penyebabnya!” serunya. “Kau kan orang terakhir yang kulihat bersama Tiara kemarin!”
Kenan hanya menatap datar, tidak mengelak, tidak membenarkan. Diamnya justru membuat Nube makin heboh.
Waktu pelajaran pertama berakhir, tiba-tiba Bu Mari memanggil Kenan dari depan kelas. Nadanya bersemangat, tapi raut wajahnya serius.
John yang duduk di bangku sebelahku langsung bersuara, “Tuh kan, dia dipanggil lagi.”
“Namanya juga ketua kelas,” sahutku, mencoba netral.
Nube menggeleng sambil menyilangkan tangan. “Kalau ekspresi Bu Mari sudah kayak tadi, pasti urusannya itu-itu lagi.”
Aku menoleh penasaran. “Memangnya kenapa?”
“Coba tanya John. Dia pernah nguping,” kata Nube tanpa malu-malu menunjuk John.
Aku menatap John penuh kecurigaan. “Kau yakin tidak bikin-bikin cerita?”
John membela diri cepat-cepat. “Aku nggak ngarang, beneran. Dia belum ngumpulin angket jurusan.”
“Angket?” ulangku.
“Ya. Buat try out dan rekomendasi kuliah. Padahal semua siswa sudah ngisi, tinggal dia.”
Aku mengerutkan dahi. “Aneh juga.”
John mengangguk. “Padahal dia itu pintar. Sayang banget.”
“Dulu dia seharusnya masuk jurusan IPA,” lanjutnya, “tapi karena dia pindahan, dia enggak keburu ikut penjurusan dan akhirnya malah masuk IPS.”
Aku semakin tertarik. “Dia pindahan juga?”
“Iya. Aku juga murid baru waktu itu. Tapi dia lebih aneh sih—di tengah semester kelas satu dia pindah tiba-tiba, terus menjelang naik kelas, dia balik lagi ke sini. Tapi udah beda banget.”
“Beda gimana?” tanyaku pelan.
“Kenan dulu nggak kayak sekarang. Dia aktif, gampang senyum, terus pas ujian masuk dia juara satu. Guru-guru bahkan heran kenapa anak sepintar dia sekolah di tempat ini.”
Aku terdiam. Informasi itu seperti membuka jendela kecil ke dalam dunia yang tak kukenal.
Tak lama, yang sedang kami bicarakan kembali masuk kelas. Ia duduk tanpa bicara. Kami pun pura-pura sibuk dengan buku masing-masing.
Dia hanya berkata datar, “Kau dipanggil Bu Mari. Di ruang UKS.”
Aku mendongak. “Aku?”
Dia mengangguk singkat. Lalu memalingkan wajah.
Aku segera bergegas. Tongkat pinjaman kutopang hati-hati. Perasaanku campur aduk—bingung, cemas, dan sedikit khawatir, jangan-jangan beliau menilai aku lebay karena ke UKS tadi pagi. Padahal aku hanya menerima bantuan.
Di UKS, Bu Mari sudah menunggu.
“Oh, Tiara. Masuklah.” Suaranya lembut.
Aku duduk pelan. “Iya, Bu.”
“Bagaimana kakimu?”
“Masih agak nyeri, Bu.”
“Semoga cepat sembuh ya. Tadi Kenan bilang kamu sementara pinjam tongkat. Kalau dua hari belum membaik, periksa ke dokter ya.”
Aku mengangguk pelan.
“Ini bukan soal itu, kan Bu?” tanyaku hati-hati.
Beliau tersenyum. “Bukan. Ibu cuma mau bicara soal angket profesi. Kamu sudah isi?”
Aku langsung tertunduk. “Belum.”
“Kenapa?”
“Saya... belum tahu harus isi apa.” Jawabanku lirih. Lalu mengangkat bahu dan mengode ke arah telingaku dengan pesimis.
Bu Mari menatapku sejenak, lalu berkata dengan suara yang tenang, “Apa kamu tahu cerita Hellen Keller?”
Aku menggeleng.
“Dia seorang perempuan yang buta, tuli, dan bisu sejak kecil. Tapi dia menjadi penulis, aktivis, dan dosen.”
Aku menatap beliau. “Bagaimana bisa? Dia bahkan tak bisa mendengar atau melihat apalagi berbicara.”
“Iya. Tapi dia belajar. Dan dia yakin. Keyakinan dan harapan itu yang membuat segalanya mungkin. Kekurangan bukan penghalang kalau kita punya tujuan dan percaya diri.”
Aku mengangguk pelan. Tapi entah kenapa, di dalam kepala, suara skeptisku masih berbisik.
Bu Mari melanjutkan dengan sabar, “Di kelas ini, tinggal kamu dan Kenan yang belum mengisi. Sayang sekali, padahal kalian berdua punya potensi besar.”
Aku tidak menjawab.
Lalu beliau berkata, seolah membuka pintu yang lain, “Ibu juga baru di sekolah ini, beberapa minggu sebelum Kenan kembali. Tapi dari berkas-berkas dan cerita guru lain, dia anak yang sangat menonjol. Nilainya bagus sekali. Dia ingin jadi dokter.”
Aku menoleh cepat.
“Iya. Tapi sejak kepindahan pertamanya, sikapnya berubah drastis. Tatapannya sering kosong, katanya tidak semangat belajar. Bahkan orang tuanya sempat khawatir.”
Beliau berhenti sejenak, lalu berkata lebih pelan, “Untungnya, ibu berhasil membujuknya untuk bergabung dengan PMR. Setidaknya sekarang dia punya ruang untuk bergerak, bukan hanya diam dan melamun.”
Aku termenung. Ingat kata-kata Noah. Tentang perubahan. Tentang seseorang yang kehilangan seseorang.
Mungkin benar. Kenan sedang berjuang melawan luka yang tidak kasatmata.
Kupikir sebelumnya dia anak yang sempurna, jauh lebih baik dariku. Tapi ternyata kami tidak terlalu berbeda.
Kupikir dia hanya ingin ikut campur saat menolongku kemarin. Tapi ternyata… mungkin itu caranya bertahan. Caranya tetap merasa berguna.
Dan lucunya, aku mengira bukan hanya aku satu-satunya yang bingung soal masa depan. Ternyata, aku salah.
Bahkan orang-orang yang kita anggap tak punya arah, seperti Misno dan Leo, justru sudah punya tujuan yang lebih jelas.
Misno ingin masuk pertanian. Leo ingin jadi atlet sepak bola dan melanjutkan studi ke luar negeri.
Aku tertawa kecil dalam hati. Dunia ini memang lucu. Kadang, orang yang kita nilai rendah justru memantulkan refleksi kita yang sebenarnya.
Hari itu, aku tidak banyak bicara. Aku lebih banyak berpikir.
Tentang masa depan. Tentang diri sendiri. Tentang bagaimana aku akan melangkah setelah ini.
Bukan untuk jadi siapa-siapa. Tapi untuk tidak terus-terusan diam dalam zona nyaman yang membuatku lupa, bahwa hidup harus terus berjalan. Sekalipun tertatih.
***
Sore hari sepulang sekolah, aku kembali meringkuk di atas kasur. Menatap langit-langit kamar yang tak berubah, seperti memandangi kekosongan yang diam-diam ikut memelukku.
Entah sudah berapa kali aku menarik napas panjang, memeluk bantal, dan menjerit dalam diam. Bukan karena ingin didengar, hanya ingin meredakan sesuatu yang sesak di dalam.
Tongkat pinjaman dari UKS masih tergeletak di sisi ranjang. Kata petugas UKS, aku sebaiknya menggunakannya dua hingga tiga hari ke depan. Tapi entah kenapa, rasanya bukan hanya kakiku yang sedang butuh penyangga.
Ayah belum sempat mengajakku ke dokter. Katanya pekerjaan menumpuk, dan dalam waktu dekat dia akan keluar kota. Aku tidak terlalu mempermasalahkan itu. Jujur saja, aku juga belum siap bertemu orang banyak.
Di luar, hujan turun lagi. Deras. Menyapu atap seng rumah dengan irama yang sayup-sayup seperti doa dari langit. Langit sore mengabur di balik tirai, dan dunia terasa lebih sunyi.
Aku menatap layar ponsel. Sepi. Tak ada notifikasi. Yang tertinggal hanya pesan-pesan lama—saling tanya kabar yang pernah hangat, kini sudah dingin dan diam.
Pikiranku kembali terlempar ke satu momen: surat yang kutaruh diam-diam di loker Noah.
Bukan karena berharap lebih. Bukan karena ingin perhatian. Aku hanya ingin tahu, bagaimana rasanya menyampaikan sesuatu secara jujur, meski tak diketahui siapa pengirimnya.
Aku hanya ingin... memberi ruang bagi diri sendiri untuk berani bicara.
Meskipun itu hanya satu kalimat: “Aku ingin berteman.”
Tapi responsnya waktu itu membuatku ciut.
Entah dia memang tahu, atau pura-pura tidak tahu. Entah dia menolak, atau hanya sedang bermain-main.
Dan aku, seperti biasa, terlalu bingung untuk membedakan mana yang sungguhan dan mana yang basa-basi.
Petir menyambar tak jauh dari rumah. Cahaya kilat menyelinap ke dalam kamar, lalu hilang secepat datangnya. Aku refleks menarik selimut. Bukan karena takut petir, tapi karena ingin menyembunyikan rasa malu dan kebingungan yang tak kunjung reda.
Kupikir dengan tidur semuanya akan reda. Tapi nyatanya, justru semakin sulit memejamkan mata saat kepalaku dipenuhi bayangan Noah, Kenan, dan kata-kata Bu Mari tentang cita-cita.
Cita-cita.
Satu kata yang sederhana, tapi terasa jauh sekali dariku.
Apa aku tidak pantas memiliki mimpi hanya karena aku tidak mendengar seperti orang lain?
Tapi... Hellen Keller bisa. Dia bahkan lebih parah dariku. Buta, tuli, dan bisu. Tapi dia menjadi penulis, aktivis, bahkan dosen.
Lalu, apa sebenarnya penghalangku?
Apakah benar keterbatasanku... atau justru rasa takutku sendiri?
Aku membuka mata pelan. Langit-langit itu masih sama. Tidak berubah, tapi tiba-tiba terasa seperti ruang tanya yang sangat luas.
Aku mengambil buku catatan kosong dari laci meja. Bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk guru, bukan untuk Noah, bukan untuk siapa pun. Hanya untuk diriku sendiri.
Aku menulis pelan, satu kalimat yang lahir dari tempat paling jujur di dalam hatiku:
Hari ini, aku ingin belajar percaya. Bahwa mungkin, di dunia ini masih ada tempat untuk orang sepertiku.
***
Keesokan paginya, aku berangkat ke sekolah dengan tongkat yang masih setia di genggaman. Langkahku pelan dan tertatih, tapi hari ini aku memilih untuk tidak menumpang mobil ayah.
Bukan karena keras kepala—aku hanya ingin mencoba berdiri lebih tegak atas pilihanku sendiri. Meski kaki kananku belum sepenuhnya pulih, setidaknya aku ingin membuktikan bahwa aku masih bisa melangkah.
Saat tiba di gerbang sekolah, pandanganku langsung tertumbuk pada sosok Kenan. Ia berdiri menyilang tangan, menyandang tas di bahu. Matanya menatap ke arah yang tak jelas, kosong tapi tenang—seperti sedang menunggu sesuatu, atau mungkin tidak sedang menunggu apa-apa.
Aku melambat, ragu. Haruskah aku menegur? Atau lewat begitu saja?
Aku memilih yang kedua. Jalan terus. Pura-pura tidak melihat.
Tapi langkahku terhenti ketika dia berkata pelan, tanpa menoleh:
“Masih sakit?”
Aku diam. Lalu menjawab pendek, nyaris berbisik, “Masih.”
Dia mengangguk kecil. Lalu mulai berjalan pelan di belakangku. Tak berkata-kata, tapi seolah sengaja menjaga jarak yang pas. Langkah kami tak seirama, tapi ada semacam ritme yang menyatu dalam diam.
Entah kenapa, suasana itu tidak membuatku kikuk.
Ketika kami sampai di tangga, aku menghela napas. Tangga menuju lantai tiga terasa lebih curam hari ini.
Belum sempat aku menaikinya, Kenan tiba-tiba berkata, “Kalau kamu tidak keberatan... biar aku bantu.”
Aku menoleh, terkejut. Sebelum sempat menjawab, dia sudah meletakkan tasnya ke sisi tembok, lalu berdiri di sampingku.
Tangannya terulur.
Aku hanya menatapnya. Lalu menatapnya ragu. Mungkin dia mengerti pikiranku. Kemudian mengarahkan tasnya ke arahku. Dia menyuruhku memegang tasnya dengan kuat, dan mengambil alih tongkatku. Aku mengangguk pelan pelan.
Tanpa berkata apa-apa. Kami mulai menaiki anak tangga satu per satu. Perlahan. Hati-hati.
Dan untuk pertama kalinya sejak insiden itu, langkahku terasa... ringan.
Bukan karena nyerinya berkurang, tapi karena kali ini aku tidak sendiri.
Sesampainya di lantai tiga, aku buru-buru melepaskan tanganku dari tasnya yang kuat mengait di bahunya. Berusaha terlihat biasa.
“Terima kasih,” kataku cepat. Sekadarnya. Lalu mengode ke arah tongkat yang dari tadi di pegangnya.
Dia hanya mengangguk, menyerahkan tongkat kepadaku. Lalu berjalan beberapa langkah, sebelum berhenti dan berkata pelan, tanpa menoleh: “Kalau kamu butuh sesuatu... kamu boleh bilang.”
Aku terpaku.
Tak ada yang bisa kubalas. Lidahku kelu. Tapi entah bagaimana, ucapannya itu membuat langkahku lebih stabil saat berjalan menuju kelas.
Hari itu berjalan seperti biasanya. Guru mengajar seperti biasa, suara kelas bergema riuh dengan perdebatan pelan, halaman buku berganti—tapi tak ada yang benar-benar masuk ke kepalaku.
Aku terlalu sibuk memutar ulang pagi tadi di dalam pikiranku. Tentang pertolongannya di tangga. Tentang kalimat sederhana yang masih menggema di telingaku.
“Kamu boleh bilang.”
Bukan sekadar tawaran bantuan, tapi mungkin... sebuah izin. Sebuah ruang.
Apakah itu tanda bahwa aku mulai punya teman selain John dan Nube?
Atau hanya simpati sementara?
Entahlah. Dan anehnya, aku tidak merasa perlu tahu jawabannya sekarang.
Yang jelas... hari ini terasa sedikit lebih hangat dari biasanya.
***