Loading...
Logo TinLit
Read Story - The First 6, 810 Day
MENU
About Us  

Aku benar-benar tidak menemukan Nube sepanjang perjalanan pulang. Yang ada justru Noah—diam-diam seperti penjaga bayangan—terus berada di sampingku.

Padahal aku sudah berkali-kali memintanya untuk pulang saja. Aku bukan anak kecil yang butuh diantar, apalagi malam itu jalanan masih cukup ramai, banyak orang keluar dari stadion yang baru selesai digunakan.

Tapi dia tetap di situ. Tidak bergeming. Tidak mundur sejengkal pun. Bahkan saat aku mempercepat langkah, dia seperti magnet yang otomatis ikut merapat.

Jujur saja, aku mulai kesal.

Sepanjang jalan aku mendesah, berharap dia sadar diri dan berhenti mengikutiku. Tapi sepertinya ia tak peka-pela juga. Dan seolah belum cukup, suara gemuruh di langit mulai terdengar.

“Noah...” gumamku pelan, hampir seperti ingin mengusir awan. Aku begitu ragu menyebut namanya yang terkesan asing. 

“Sepertinya tugas pawang hujan sudah selesai,” katanya santai sambil menatap langit yang mulai meneteskan rintik.

Aku menoleh tajam. “Kau dengar kan? Pulang saja. Aku tidak ingin repot menahanmu kalau tiba-tiba... hu—”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, langit seolah menepuk pundakku keras-keras. Hujan turun. Deras. Tiba-tiba. Seolah membalas ucapanku sendiri.

Butiran hujannya besar-besar, seperti memukul wajahku tanpa ampun. Wajahku terasa perih, dan mataku kabur oleh air.

Kami segera berlari mencari tempat berteduh. Jalan ke rumahku masih cukup jauh. Gelap mulai menelan gang-gang kecil. Lampu jalan yang temaram oranye pun tak banyak membantu. Beberapa kali aku hampir terperosok ke lubang kecil yang tertutup genangan. Pergelangan kakiku mulai terasa nyeri.

Sementara Noah masih berada di dekatku, diam-diam mengamati langkah kakiku yang mulai pincang. Tapi tetap saja, aku tidak tahu kenapa dia masih mengikuti.

Aku muak. Tapi... juga bingung. Aku lelah. Dan jujur saja, kacau.

Tiba-tiba dia menarik tanganku. Tanpa banyak bicara, dia membawaku ke sebuah halte kecil di pinggir jalan. Atapnya reyot dan penuh lubang. Sama sekali bukan tempat yang ideal untuk berteduh, tapi setidaknya bisa menahan sebagian hujan.

Kami duduk berdempetan dalam diam. Jarak kering dari tempias hanya beberapa jengkal.

“Astaga, kakimu kenapa?” katanya tiba-tiba, matanya menatap kaki kananku yang kuangkat sedikit.

Aku menggigit bibir, berusaha mengalihkan rasa sakit. “Entahlah. Mungkin terkilir.”

Dia langsung melepas kemeja biru muda yang tadi dipakainya. Tenang saja, dia masih memakai kaus oblong di dalamnya. Kaos itu bertuliskan The Beatles yang sudah agak pudar.

“Kemeja ini basah, nggak banyak membantu,” katanya sambil menyodorkannya. “Tapi mungkin bisa sedikit mengurangi rasa sakit dari hujan yang mukul kepalamu.”

Aku memandangi kemeja itu. “Enggak usah. Sama aja, tetap basah.”

Tapi dia tidak peduli. Dia tetap menaruhnya di atas kepalaku, membentangkannya seperti tenda kecil. Kemeja itu menutupi wajahku sebagian. Hangatnya bukan dari bahan kainnya, tapi dari sikap yang janggal tapi tulus.

“Ayo pulang,” katanya sambil jongkok di sampingku.

Aku mengernyit. Dia bilang pulang, tapi kenapa malah jongkok?

“Naiklah.” Nada suaranya tenang. Tidak memaksa, tapi tegas.

Aku mematung. Baru kusadari, dia sedang menawarkan punggungnya. Untuk menggendongku?

“Serius?” desisku. “Hei! jangan aneh-aneh. Aku masih bisa jalan sendiri. Lagipula aku nggak minta bantuan!”

Dia tetap diam. Lalu, perlahan berdiri. Menatapku—bukan dengan wajah lucu seperti biasanya. Tatapannya tenang, jernih, dan serius.

“Kalau keras kepala jadi nama tengahmu, ya sudah. Tapi jangan salahkan aku kalau kau tambah parah nanti.”
Lalu dia berjalan. Tidak menoleh. Tidak menunggu.

Aku terpaku. Ada jeda. Lalu aku berdiri, berjalan tertatih di belakangnya, sambil tetap menahan hujan yang memukul wajahku dari sela-sela kemeja yang menempel di kepala.

Malam itu, aku berjalan di belakangnya. Hujan masih deras. Dia tidak bicara sepatah kata pun. Tapi entah kenapa, aku merasa dia sedang menahan sesuatu.

Apakah dia kecewa?
Marah?
Atau hanya lelah seperti aku?

Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, langkahnya cepat sekali. Sampai-sampai aku kehilangan bayangannya di tikungan terakhir.

Dan ya. Dia menghilang. Tidak menunggu. Tidak menemaniku sampai depan rumah.

Tapi aku bersyukur. Aku sampai di rumah dengan selamat. Meskipun kakiku sakit luar biasa.

Sesampainya di rumah, lampu teras masih menyala. Tapi tidak ada tanda-tanda ayah sudah pulang. Sepertinya beliau lembur atau mungkin sedang dalam perjalanan.

Aku membuka ponsel. Basah kuyup, tapi untungnya masih bisa menyala. Ada beberapa SMS dari Ayah, bilang bahwa dia pulang terlambat.

Satu pesan lainnya dari Brian. Katanya dia sudah menemukan ide untuk tugas kesenian.

Aku tersenyum kecil. Lucu sekali. Di tengah semua kekacauan ini, hal kecil seperti itu bisa membuatku tenang.

Aku masuk kamar. Tanpa pikir panjang, aku mandi air hangat, lalu merebahkan tubuhku di kasur.

Sambil menarik selimut, aku menutup mata dan berdoa dalam hati:

Semoga besok tidak sesakit hari ini. Dan kalaupun sakit, semoga aku punya cukup tenang untuk menerimanya.

***

 

Aku terbangun karena nyeri hebat di pergelangan kaki kananku. Rasanya seperti disayat—tajam dan berulang-ulang.

Begitu membuka mata, aku menatap kakiku yang membengkak seperti ditampar kenyataan.

Sungguh... pagi macam apa ini?

Belum sempat aku bangkit, suara ketukan pelan di pintu kamar terdengar.

"Tiara, bangun. Sudah hampir subuh," suara ayah dari luar.

Aku melirik jam. 04.45 pagi.
Rasanya baru lima menit aku terlelap.

Dengan berat hati aku bangkit dan menyeret tubuhku ke kamar mandi.

Di sana, aku hanya duduk di pinggiran bak, merendam kakiku ke dalam air hangat. Harapanku sederhana—nyeri ini menguap, meski hanya sebentar.

Dan benar saja. Nyeri itu reda. Tapi hanya sebentar. Begitu kakiku kuangkat, rasa itu datang lagi, lebih dalam. Lebih menusuk.

Aku menyerah. Tapi tetap berdiri. Tetap melanjutkan rutinitas seolah tidak terjadi apa-apa.

***

Di meja makan, aku duduk dengan wajah datar. Ayah sedang menyeduh kopi.

“Ayah, aku ikut bus ayah aja hari ini ya?”

“Boleh.”
Dia tak bertanya lebih jauh. Mungkin karena tahu, atau mungkin memang sedang terlalu sibuk untuk peduli.

Akhirnya, kami berangkat pagi-pagi sekali.

Setibanya di sekolah, pintu gerbang baru saja dibuka. Beberapa siswa tampak baru datang.

Tapi bagiku, perjuangan sebenarnya baru dimulai: menaiki puluhan anak tangga ke lantai tiga.

Setiap langkah terasa seperti ujian sabar. Kakiku mulai berdenyut hebat, tapi aku terus memaksakan naik.

Hingga akhirnya... di pertengahan tangga, aku menyerah.

Aku terduduk di anak tangga, menunduk, menahan napas panjang. Bukan hanya karena sakit. Tapi juga karena malu. Takut ada yang melihatku dalam keadaan begini.

Ketika aku mendongak untuk mengecek apakah ada yang melihat, aku justru menangkap tatapan... Kenan.

Dia berdiri di ujung tangga. Diam. Tidak berekspresi. Tapi... aku tahu dia memperhatikanku.

Aku segera berdiri. Menyembunyikan luka di pergelangan kakiku sebaik mungkin dan melanjutkan naik, pura-pura tidak terjadi apa-apa.

Kami berpapasan. Tidak ada sapa. Tidak ada salam. Hanya keheningan yang menggantung.

Tapi tiba-tiba—dia menarik lenganku. Tanpa sepatah kata.

Aku refleks terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan. Rasa nyeri mencuat lagi, membuatku menggertakkan gigi.

Dia mau apa? pikirku bingung. Aku ingin marah, tapi juga takut bicara. Otakku seperti sedang rapat darurat: harus bertanya dulu? Menolak? Atau... terima saja?

Dia membawaku menjauh dari arah kelas. Lalu membuka pintu sebuah ruangan.

Ruangan putih. Ada tempat tidur. Aroma antiseptik. Dan tulisan yang terbaca terbalik dari balik kaca:

UKS.

Aku menoleh cepat. “Kenapa kau bawa aku ke sini?” pikirku, tapi tak sempat terucap. Dia sudah memberi isyarat agar aku duduk di ranjang.

Aku bingung. Ragu. Tapi akhirnya menuruti.

Kenan berjalan ke sisi ruangan, membuka kotak bening di atas meja, lalu kembali menghampiriku dengan beberapa perlengkapan di tangan.

Aku masih berdiri, kaku.

“Kenapa masih berdiri?” tanyanya datar.

Dia meletakkan alat-alat di ranjang, lalu menarik kursi ke sisiku.

“Buka sepatumu,” lanjutnya.

“Eh... apa?” aku mengerutkan alis.

Dia menirukan ekspresiku. “Nggak ngerti?”

“Aku nyuruhmu duduk dan buka sepatumu,” ulangnya.

“Buat apa?”

Dia menghela napas panjang, menahan diri agar tidak kesal. “Turuti aja dulu. Nanti juga ngerti.”

Dengan canggung, aku duduk dan membuka sepatuku perlahan. Dia mengambil selimut tipis dan menaruhnya di pangkuanku.

Lalu, ia berjongkok di depan tempat tidur, menyuruhku membuka kaos kaki. Tangannya sigap menyiapkan perban dan kompres dingin.

“Sampai bengkak begini?” gumamnya lirih.

“Apa yang kau lakukan? Bagaimana bisa kau tahu—”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, dia mengangkat kakiku dengan hati-hati, lalu membalutnya dengan perban elastis. Sentuhannya cepat, efisien, tidak kasar, tapi juga tidak lembek.

“Masih nyeri?” tanyanya singkat.

Aku mengangguk.

Tanpa komentar tambahan, dia bangkit, berjalan ke kotak di dinding dan mengambil satu tablet obat.

“Ini direkomendasikan pembimbing dari rumah sakit. Lumayan untuk pereda nyeri ringan. Tapi kalau nyerinya bertahan lebih dari dua hari, lebih baik periksa ke klinik.”

Lalu, ia membereskan alat-alat yang tadi ia keluarkan. Rapi. Hening.

Sebelum keluar ruangan, dia berkata lagi, “Kalau keseleo, jangan langsung air hangat atau koyo. Harusnya kompres dingin dulu. Dan pakai ini.”

Dia menyodorkan tongkat jalan. “Gunakan ini selama beberapa hari. Jangan dipaksakan.”

Kemudian ia pergi. Tanpa pamit. Tanpa menunggu jawaban.

Aku hanya bisa duduk terpaku.

Kenapa dia seperti tahu semua ini? pikirku.

Aku turun dari ranjang perlahan, mengambil tongkat itu. Dan sebelum keluar dari UKS, mataku menangkap sesuatu di dinding: struktur organisasi sekolah.

Mataku membidik satu nama dan foto. Di sana, tertulis:

Kenan – Divisi Kesehatan, PMR.

Ah...
Pantas saja.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Taruhan
84      81     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
No Longer the Same
766      549     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
No Life, No Love
2164      1335     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Main Character
3109      1569     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Dalam Satu Ruang
205      145     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Sebelah Hati
1959      1023     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Warisan Tak Ternilai
877      399     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
79      70     1     
True Story
MANITO
2179      1288     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Our Perfect Times
2146      1151     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...