Loading...
Logo TinLit
Read Story - The First 6, 810 Day
MENU
About Us  

Aku duduk di sofa ruang tamu yang mengelap karena mendung. Hujan baru saja reda.

Suara tetes hujan yang masih menggantung di ujung daun menjadi latar belakang yang tenang. Banyak orang bilang hujan membawa rasa sendu, tapi bagiku hujan tidak lebih dari bunyi samar yang kadang justru menyesakkan. Aku tidak pernah berhasil mendapatkan "inspirasi hujan" seperti yang sering digembar-gemborkan penulis novel atau musisi. Suara hujan justru membuatku ingin menyerah pada kantuk yang datang perlahan.

Aku tertidur seperti seseorang yang sedang lelah berdamai dengan pikirannya sendiri. Hingga ketukan pintu memaksaku kembali ke dunia nyata. Masih setengah sadar, aku membuka pintu.

Lima anak perempuan berdiri di depanku. Senyuman mereka terlihat manis bagi siapa pun, tapi tidak bagiku. Empat di antaranya adalah orang yang kuharap tidak perlu kujumpai hari ini. Hanya Nube yang membuatku tidak menutup pintu kembali.

"Kau belum bersiap-siap!" seru Nube melihatku yang masih memakai baju rumah.

"Aku tidak merasa punya janji dengan siapa pun," kataku malas.

"Yakin nggak ke stadion? Makanannya gratis loh, bukan rewang-an lagi!" ujarnya menggoda. Aku sempat ingin menolak, tapi dia menyindir dengan nada setengah serius, "Ayolah, ini bagian dari acara desa. Kau bisa sekadar duduk, lihat pentas seni. Toh, kau butuh juga lihat dunia luar."

Pada akhirnya, aku ikut. Sebenarnya aku tidak suka acara ramai. Tapi aku juga tidak mau terus tenggelam di rumah, di antara pikiran yang terlalu sering memutar ulang hal-hal yang sudah lewat.

***

Di stadion, keramaian mulai meriah. Lampu-lampu tenda makanan menyala, anak-anak berlarian, musik lokal terdengar mengalun. Kami berjalan menyusuri jalur tenda-tenda, mencicipi makanan yang disediakan. Aku mengambil jagung rebus, kue lapis, dan minuman dingin, lalu duduk bersama teman-teman sekelasku.

Namun, tidak lama setelah itu, satu per satu dari mereka mulai mencar. Mura pergi menemui teman dari sekolah lamanya, dua lainnya ikut. Tinggal aku dan Nube. Tapi beberapa menit kemudian, ibunya memanggil. Ia diminta bantu-bantu di dekat panggung.

Nube menunjuk ke arah kaki tribun. "Tiara... itu... bisa minta tolong? Suruh dia jagain kamu sebentar ya? Aku harus bantu Ibu. Nanti aku balik lagi!" bisiknya cepat.

Belum sempat kutanya siapa yang dimaksud, dia sudah berlari. Aku mengikuti arah pandangnya. Di sana, berdiri seseorang yang kukira adalah Noah. Dia menatap ke sekeliling tribun, seperti mencari tempat duduk.

Dia menoleh dan melihatku. Lalu berjalan ke arahku. "Sendirian?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Yang lain sibuk masing-masing." kataku memberikan kode kearah teman-teman lain yang ku kenal.

"Boleh duduk di sini?" tanyanya sambil menunjuk kursi sebelahku.

Aku hanya bergeser sedikit. Dia duduk. Kami diam, hanya ditemani suara musik dari pentas seni dan obrolan orang-orang.

Setelah beberapa saat, dia mengeluarkan sebungkus permen. "Mau?"

Aku mengangguk. Kami duduk seperti itu cukup lama. Aneh, tapi tidak membuatku ingin pergi. Rasanya seperti ada ruang aman dalam diam itu.

"Mau ke mana mereka?" tanyanya tiba-tiba, matanya menangkap beberapa teman-teman sekelas yang ku kenal keluar dari deretan kursi.

"Katanya ketemu teman SMPnya..." jawabku, tak yakin.

Dia melirikku. "Kau nggak ikut?"

Aku geleng. "Tidak minat. Ramai-ramai begitu membuatku sesak."

Dia tersenyum simpul. "Aku juga begitu. Kadang lebih suka jadi penonton daripada terlibat dengan hal yang asing."

"Aku kira... kau sama seperti mereka, suka keramaian," gumamku.

"Tergatung situasi." katanya.

Aku menatap pertunjukan yang mulai menampilkan tarian kolosal. Anak-anak kecil dengan kostum adat terlihat begitu percaya diri.

"Aku juga sedang belajar... untuk tetap hadir meski tak selalu ikut," lanjutku, lebih pada diriku sendiri.

Dia mengangguk perlahan. "Berani datang dan duduk di sini saja sudah cukup. Kau nggak perlu jadi siapa-siapa hari ini. Cukup jadi dirimu. Dan itu sudah langkah besar bisa keluar dari rumah, mencari ruang baru dari pada bersembunyi terus."

Aku diam. Ada rasa lega. Barangkali, aku memang tak harus memaksakan diriku untuk menyatu dalam keramaian. Mungkin hadir, menyimak, dan mencoba terbuka sudah cukup hari ini.

Setelah itu, kami tak banyak berbicara lagi. Tapi jujur saja, aku tidak bisa benar-benar menikmati pertunjukan. Bukan karena acaranya membosankan, tapi karena pikiranku sendiri. Duduk di samping seseorang yang begitu tenang saat kepalaku dipenuhi hal-hal tak menentu rasanya seperti menahan napas di tengah badai.

Aku melirik Noah yang masih duduk tenang, seperti biasa. Sementara detak jantungku kacau. Bagaimana bisa dia begitu santai?

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, sulit. Apa aku perlu jujur bahwa kehadirannya justru membuat pikiranku tak karuan? Atau aku harus menyingkir sedikit supaya bisa berpikir jernih?

Setelah semua yang kuingat, setelah semua fragmen masa lalu perlahan mulai kembali ke tempatnya... bagaimana mungkin aku duduk di sini, di samping seseorang yang pernah tahu tentang kehancuranku, dan bertindak seolah semuanya biasa-biasa saja?

Dulu, surat darinya jadi cahaya di lorong panjang hidupku yang gelap. Di antara rasa kehilangan, dingin rumah sakit, dan kacaunya keluargaku yang entah bagaimana berubah jadi orang asing—tulisan tangannya adalah satu-satunya yang terasa hidup.

Dan sekarang, ia duduk di sini. Tak bertanya apa pun. Tak menyebut apa pun. Seperti seseorang yang tak punya masa lalu denganku.

Apa ini tandanya aku harus memaafkan diriku sendiri? Atau mungkin... aku belum benar-benar berdamai dengan semua luka itu, hingga duduk bersamanya membuatku takut. Takut jika semuanya akan kembali. Takut jika semuanya tak pernah menjadi baik-baik saja. 

Aku memejamkan mata sebentar. Menyentuh sisi dalam diriku yang selama ini tak ingin kuhadapi.

Mungkin inilah caranya Tuhan mengajariku: bahwa penyembuhan bukan berarti melupakan, tapi mampu hadir tanpa gemetar.

Aku membuka mata perlahan. Noah masih di sana. Diam. Menatap ke depan, seperti tidak sedang membawa apa-apa.

Tapi aku tahu... kadang orang yang terlihat paling tenang, justru yang paling banyak menyimpan pertanyaan.

“Kenapa?” tanyanya mendadak. “Pertunjukannya membosankan? Atau kau mau pergi?”

Pertanyaan bertubi-tubi itu membuatku bingung. Aku hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Hanya belum terbiasa...”

“Belum terbiasa denganku?” tanyanya, tersenyum. Tapi tidak seperti godaan, lebih seperti menenangkan.

“Kau terlalu percaya diri,” sahutku, mencoba tersenyum kembali. “Bukankah kita sering bertemu di sekolah?”

“Tetap saja berbeda.” Dia mengorek saku jaketnya dan mengeluarkan dua bungkus permen. “Mau?”

Aku menerimanya dan berterima kasih. Tanganku sedikit gemetar, entah karena gugup atau udara yang mulai dingin.

Kami membuka bungkus permen secara bersamaan, lalu tertawa kecil karena bunyi plastiknya bersamaan.

“Eh...” kata kami serempak. Lalu terdiam.

“Kau tahu jalanan menuju pantai di selatan? Yang lewat depan gereja dan ada dua pohon besar saling berhadapan seperti gerbang?” tanyaku mencoba mengalihkan suasanya yang tampak canggung ini.

“Ya, aku tahu. Kenapa?” matanya masih menatap ke lapangan.

“Kurasa keren sekali. Kayak... pintu menuju dunia lain.”

Dia tersenyum. “Orang bilang, itu peninggalan jaman Belanda. Ada mitos juga, katanya kalau kau jalan mundur sambil komat-kamit doa tertentu, bisa nyasar ke dimensi lain.”

Aku tertawa kecil. “Itu terdengar konyol, tapi juga menyeramkan.”

“Menurutku, justru itu simbol. Kita memang sering nyasar ke dunia kita sendiri... karena takut, atau karena kita nggak siap dengan dunia nyata.”

Aku terdiam. Perkataannya terasa aneh dan dalam sekali.

“Si Kenan pernah nekat coba semacam pemanggilan arwah di dekat situ,” ucap Noah tiba-tiba. Suaranya datar, tapi ada sesuatu yang menggantung di antara jeda katanya.

Aku menoleh. “Serius?”

Noah mengangguk, lalu menatap ke arah tribun yang mulai kosong. “Entah kenapa... mungkin dia cuma ngerasa sendiri.”

Aku mengernyit. “Sendiri sampai harus manggil... sesuatu?”

“Ya... Kadang orang begitu kalau mereka nggak tahu harus bicara sama siapa. Atau kalau mereka ngerasa... nggak ada yang bakal denger.”

Aku menunduk. Ada sesuatu dari kalimat itu yang... terlalu dekat. Terlalu familiar.

Hening sebentar.

“Kenapa dia sampai seputus asa itu?” tanyaku akhirnya, lebih ke diriku sendiri daripada padanya.

Noah tidak langsung menjawab. Tapi akhirnya dia berkata pelan, “Mungkin bukan soal arwahnya. Tapi soal harapan yang udah habis... dan dia cuma pengin tahu, masih ada yang bisa dengar atau tidak.”

Aku menoleh. Matanya lurus menatap ke depan, ke arah panggung.

“Kau sedang bercanda kan?” 

Dia hanya menahan tawanya, sepertinya dia ingin mengerjaiku lagi.

Aku menatap langit di atas stadion. Awan sudah benar-benar bubar. Bintang mulai tampak satu per satu.

“Ngomong-ngomong,” katanya, mengalihkan suasana. “Ada sebuah seleksi untuk karya seni di luar daerah, menurutmu apa aku harus pergi?”

“Lalu kenapa kau bilang padaku?” tanyaku cepat. Suaraku agak meninggi karena gugup.

Dia tersenyum lalu menatap ke tengah-tengah lapangan lagi. Saat itu penari kolosal daerah mulai memasuki lapangan. Kami terdiam cukup lama, dia tidak lagi memancing pembicaraan. Benar-benar diam, menikmati acara sampai selesai. Saat acara selesai, aku dan Noah memutuskan untuk turun dari tribun saat mulai sepi. Hanya saja karena tidak ingin berdesak-desakkan saat keluar.

Aku menoleh mencari Nube dan lainnya, tapi sepertinya mereka sudah pulang lebih dulu.

Beberapa anak dari kelasku melewati kami sambil tertawa kecil. “Kalian serasi banget. Kelihatan cocok.”

Aku tertegun. Sempat ingin menyangkal, tapi Noah hanya tersenyum kecil.

“Sudah malam,” katanya pelan, mendekat sedikit agar suaranya terdengar. “Ayo, kita pulang.”

Aku mengangguk. Dan anehnya, langkahku terasa lebih ringan dari sebelumnya. Mungkin karena malam ini, aku merasa tidak benar-benar sendirian.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bisikan yang Hilang
70      63     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
405      291     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
FaraDigma
1353      679     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Yang Tertinggal dari Rika
2303      1099     11     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Dalam Satu Ruang
157      106     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
No Longer the Same
420      315     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Sweet Like Bubble Gum
1359      916     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Batas Sunyi
1961      894     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
550      417     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Metanoia
53      45     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...