Sebuah awal yang kulupakan
Aku pulang ke rumah dengan sekelebat rasa penasaran. Aku membongkar kotak-kotakku. Namun, aku sama sekali tidak menemukan selembar surat pun dari Noah. Hanya ada diary dari tahun ke tahun. Tentu saja dalam catatan harian itu ada saja nama Noah, dan setumpuk pemikiranku tentangnya. Dan sialnya, kenapa seakan-akan aku seperti anak-anak yang larut dalam khayalan yang belum sempat diuji kenyataan. Aku tidak bisa menyangkal bahwa dalam tulisan-tulisan yang sudah lama tidak pernah kubaca itu mengandung unsur yang membuatku mual setengah mati.
Hei aku yang berada di masa lalu, tidakkah kau bisa bersikap lebih realistis? Kenapa begitu konyol sekali! Kenapa begitu mudahnya percaya pada bayang-bayang?
Malam semakin sunyi, aku mencoba mengirim pesan ke Brian. Barangkali dia belum tidur. Ada hal yang ingin kutanyakan padanya.
Aku: [Brian, sudah tidur?] Brian: [Belum, aku masih mengerjakan sesuatu. Ada apa?] Aku: [Aku mengganggu ya? Hanya ingin bertanya.] Brian: [Tentang di rumah sakit?] Aku: [Ya, jika tidak keberatan.] Brian: [Tentu saja. Jika itu membantumu, dengan senang hati.]
Akhirnya aku menelepon Brian. Kami bicara cukup lama. Aku menanyakan dari mana pertemuan kami bermula... dan perlahan-lahan, ingatanku mulai kembali. Semuanya terasa sangat jelas.
Waktu itu, Brian tidak setinggi sekarang. Aku bertemu dengannya di lorong rumah sakit saat hendak kabur dengan kursi rodaku karena frustrasi harus dirawat begitu lama. Ternyata Brian juga seorang pasien—hal yang dulu tidak kuingat sama sekali. Mungkin Tuhan sengaja menghapus bagian itu dari ingatanku, mungkin untuk melindungi kami berdua dari luka yang terlalu dalam.
Brian tidak pernah bercerita soal penyakitnya, bahkan malam ini. Kami hanya mengingat momen-momen pertemanan singkat di rumah sakit. Di masa-masa tergelapku, Brian adalah teman yang setia, yang mengajakku tertawa, dan yang menuntunku berdoa ke taman belakang rumah sakit. Tempat itu katanya istimewa, karena ada mata air kecil di sana dan banyak orang percaya doa mereka dikabulkan di sana.
Aku tertawa kecil saat kami membahasnya. Aku juga meminta maaf karena baru mengingatnya sekarang. Padahal dulu, saat kami sama-sama sakit, kami punya kenangan konyol dan tulus sebagai anak-anak yang sedang belajar bertahan.
Setelah keluar dari rumah sakit, Brian sempat kembali ke negara asalnya untuk melanjutkan pengobatan. Beberapa tahun kemudian, ia tinggal di pulau ini karena ayahnya mendapat penugasan dinas di daerah yang sama.
Obrolan kami mulai menyinggung inti dari rasa penasaran yang kupendam sejak tadi.
“Brian, waktu itu... kenapa aku bisa sangat ingin bertemu dengan Noah?”
“Kau sendiri yang cerita,” jawabnya pelan. “Katamu dia ikut pameran seni yang lokasinya sama dengan tempat audisimu. Kau mendaftar audisi bukan hanya untuk tampil, tapi juga karena ada hal penting yang belum selesai.”
Aku menggigit bibir. “Lucu sekali ya kalau dipikir sekarang.”
“Tidak juga,” sahut Brian. “Itu membuatmu kuat saat itu.”
Hari itu aku gagal datang karena kecelakaan. Kecelakaan yang merenggut banyak hal dariku. Tapi... kenapa aku begitu yakin akan sesuatu yang bahkan tak sempat kujelaskan hingga tuntas?
Brian menjawab tanpa aku bertanya. Ia bilang, Noah cukup dekat dengan ayahku. Ia sering membantu pekerjaan rumah, kadang menemani ayah mengurus hal-hal kecil yang tak sempat diselesaikan sendiri. Mungkin, dari kedekatan itulah awal perkenalanku dengannya bermula. Hubungan kami pun perlahan tumbuh melalui surat-surat yang kami tukar diam-diam—sebuah upaya mencari makna dalam keramaian dunia yang sunyi.
Saat itu, hubungan dengan orang tuaku sangatlah canggung. Aku terlalu keras kepala, terlalu ambisius, dan menjauh dari mereka. Aku menjalani hidupku sendiri seolah kami tinggal di atap yang berbeda. Tapi Noah, entah bagaimana, bisa mengisi celah di antara kami. Ia menjembatani komunikasi kami yang kaku dan penuh diam.
Aku menarik napas pelan, merenung. Yang Brian ingat saat itu, aku pernah menceritakan bahwa aku tahu dari seorang perawat bahwa ada anak laki-laki yang sering datang diam-diam, menungguiku terbangun di ruang perawatan. Ia menitipkan sebuah surat kepada perawat yang baik hati itu—sebuah pesan sederhana yang sempat kubaca saat kondisiku mulai pulih. Pertemuan singkatku dengan perawat itu terjadi di masa-masa paling sulit: masa di mana aku merasa kehilangan arah dan sedang berusaha menemukan kembali kepercayaan bahwa hidup ini memang pantas untuk diperjuangkan.
Perawat itu tak memberi banyak penjelasan, hanya menyampaikan bahwa ada seseorang yang hadir tanpa diminta, yang diam-diam mendoakan dari jauh. Dan surat itulah yang diam-diam menyentuh sisi terdalam hatiku, menghadirkan kembali kesadaran bahwa keberadaan kita, sekecil apapun, bisa berarti bagi orang lain.
Jadi, itulah mulanya aku mendapat surat terakhir darinya, melalui perawat itu. Sayangnya, entah kenapa aku tidak begitu peduli dengan apapun lagi dan aku tidak tahu dari mana mulai melupakan segalanya.
Mungkin saat itu aku terlalu lelah secara emosional. Tapi kini, perlahan-lahan, aku mencoba menyusun kembali kepingan yang hilang. Dan semoga, di antara luka dan keraguan, aku bisa mengerti bahwa tidak semua hal perlu dikenang untuk bisa disyukuri. Kadang, cukup dengan menyadari bahwa hidup pernah disentuh oleh niat baik dan perhatian yang tulus—itu sudah cukup.