Ayah sedang mengurus taman kecil di depan rumah saat aku bersiap pergi melihat matahari terbenam di pantai. Di pulau ini, tidak sulit menemukan pantai—jelas saja, pulau ini sangat kecil. Ke mana pun kau berjalan, cepat atau lambat pasti akan bertemu dengan laut.
Kali ini aku memilih pantai yang tak jauh dari rumah. Jaraknya mungkin hanya satu setengah kilometer, atau bahkan kurang. Tidak terlalu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki.
Ayah sempat terlihat ragu mengizinkanku keluar rumah, terlebih lagi karena kondisiku belum stabil dan alat bantu dengarku masih rusak. Tapi akhirnya, dia mengizinkan dengan syarat aku harus selalu mengaktifkan ponselku dan pulang sebelum langit gelap.
Di pulau ini, malam datang lebih lambat dibanding tempat tinggalku yang lama. Di sini, pukul setengah tujuh masih terang, sedangkan dulu jam lima saja sudah gelap. Jadi, aku masih punya waktu sekitar satu setengah jam untuk menikmati sore.
Jalan yang kulalui sangat sepi. Hanya satu-dua kendaraan yang melintas, dan beberapa keluarga terlihat duduk-duduk di teras rumah. Sesekali ada yang menyapaku ramah, namun itu terasa aneh. Beberapa bahkan mengajakku mampir ke rumah mereka, padahal aku sama sekali tidak mengenal mereka. Tapi dari semua sapaan itu, tidak satu pun menyadari bahwa aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan.
Saat menuruni jalan menuju pantai, seorang anak perempuan yang mengendarai motor tiba-tiba berhenti di sampingku.
“Hei, Tiara!” sapanya riang. Suaranya masih bisa kudengar samar.
Satu hal yang membuatku kesal—aku tidak terlalu peduli atau tertarik berkenalan dengan siapa pun di pulau ini. Tapi sekarang, bagaimana mungkin gadis yang tampak modis, dengan rambut dicepol tinggi, bandana bunga-bunga mencolok, dan pakaian minim, tiba-tiba mengenaliku?
“Tiara!” serunya lagi dengan ekspresi heboh. Ia masih duduk di atas motornya yang menyala. Lalu, ia mulai menggerakkan tangannya dengan bahasa isyarat—yang cukup jelas untuk kupahami. Aku memandangnya bingung. Kenapa anak ini tiba-tiba bicara pakai bahasa isyarat?
“A-k-u, N-u-b-e. T-i-d-a-k i-n-g-a-t?” ucapnya lewat gerakan tangan dan bibirnya.
“Nube?” gumamku pelan. Memangnya ada anak bernama—“Ah!” Aku tersentak. Aku mengingatnya. Dia teman sekelasku. Kesan pertamaku dengannya sangat baik, tapi entah kenapa aku tidak langsung mengenalinya tadi.
“Kau tidak perlu bicara seperti itu. Aku masih bisa mendengar, selama jaraknya tidak terlalu jauh,” jelasku.
Dia mengangguk cepat. “Tahu kenapa aku tahu kau tidak bisa mendengar?” tanyanya sambil tersenyum. “Aku yang memberi tahu anak-anak kalau alat yang kau pakai itu alat bantu dengar. Aku juga yang bilang kalau harganya mahal. Untuk hal begituan, aku sudah khatam,” katanya, sedikit menyombongkan diri.
“Kau bisa bahasa isyarat?” tanyaku.
Dia mengangguk kuat-kuat, seolah ingin menegaskan kehebatannya.
Sebenarnya aku ingin bertanya kenapa dia bisa, tapi dia malah lebih dulu mengambil alih pembicaraan. “Ngomong-ngomong, kau mau ke mana?”
Aku menunjuk ke arah pantai di ujung tikungan, yang jelas terlihat dari tempat kami berdiri, sedikit lebih rendah dari jalan utama.
“Mau kuantar?” tawarnya.
“Tidak usah,” tolakku halus.
Tapi dia menatapku memelas. Akhirnya, aku menyerah dan naik ke motornya.
“Kau tidak bawa helm?” tanyaku, memperhatikan motornya yang tak ada helm sama sekali.
Dia menggeleng. Aku segera turun.
“Baiklah, aku jalan kaki saja.”
“Eh? Kenapa? Kenapa?” Ia panik.
“Kau tahu kenapa aku kehilangan pendengaran? Aku sudah pernah mengalami kecelakaan. Aku tidak ingin itu terjadi padamu hanya karena kau tidak mau merusak gaya rambutmu yang indah dan menolak pakai helm.”
Dia menghela napas. “Tunggu di sini ya. Aku ambil helm dulu. Rumahku dekat, dua menit aja!” katanya, lalu memutar stang dan pergi.
Aku tidak pernah berteman lebih dari dua minggu. Aku juga tidak tahu apakah anak ini mengira aku akan menjadikannya teman. Tapi biarlah. Setidaknya biarkan aku melupakan diriku untuk sesaat. Lagi pula, senja selalu sama—indah sejenak, lalu pergi diam-diam.
***
“Apa aku sudah boleh bicara?” tanya Nube dengan bahasa isyarat, saat kami berjongkok di tepi pantai. Aku sedang merekam suara debur ombak dengan alat rekam milikku.
Sudah setengah jam kami bersama, tapi belum ada percakapan sejak tadi. Setelah tahu aku sedang merekam, dia tidak banyak bicara. Dia hanya bilang ingin menemaniku karena bosan dan daripada buang-buang bensin muter-muter pulau sendirian.
Aku menekan tombol stop, menyimpan hasil rekaman, lalu mengangguk.
Kami pun berdiri dan mulai berjalan menyusuri bibir pantai.
“Kapan kau mengalami kecelakaan itu? Bagaimana kondisi…” ia memberi isyarat ke arah telingaku.
Aku memandang laut, tersenyum kecil. “Kelas satu, semester awal. Telinga kanan rusak total tanpa alat bantu. Telinga kiri... masih bisa dengar, tapi hanya jika dekat. Di atas satu meter, sudah sulit.”
“Sepertinya kecelakaannya cukup parah. Tapi... kenapa kau belajar bahasa isyarat, padahal masih bisa mendengar?”
“Jaga-jaga saja. Aku pernah mengalami saat-saat... benar-benar tidak bisa mendengar apa pun.”
Dia menggigit bibir bawahnya. “Kau tersinggung aku tanya ini, ya? Maaf kalau aku terlalu penasaran.”
Aku tersenyum, menepuk lengannya. “Tidak juga. Tak ada yang pernah tanya begini sebelumnya. Lebih banyak yang menghina.”
Dia menunduk, tersenyum malu-malu. “Kau janji gak cerita ke siapa pun?”
Aku menaikkan alis. “Kau pikir aku orang seperti itu?”
“Aku hanya malu. Orang-orang pasti mengejek kalau tahu. Tapi... kau ingin tahu alasannya?”
“Kalau kau tidak nyaman, tak apa.”
Dia tiba-tiba memegang lenganku dengan dua tangan. “Aku pengen cerita. Tapi selama ini, tak ada yang bisa mengerti. Aku suka seseorang… dia tuli sejak kecil.”
“Serius?” seruku terkejut.
“Waktu aku cerita ke sahabatku, dia malah bilang aku aneh. Memangnya salah?”
“Lalu gimana hubunganmu sama dia?”
“Aku belajar bahasa isyarat saat jadi relawan. Tapi setelah kegiatan itu selesai, semuanya berakhir.”
“Kalian pacaran?”
Dia menggeleng. “Dia langsung menjauh setelah tahu aku suka. Katanya... dia gak pantas untukku. Itu pertama kalinya aku ditolak cowok, biasanya aku yang ditaksir.”
Aku menghela napas.
“Kenapa?” tanyanya, menyenggol tanganku. “Masa gak punya cinta pertama?”
Aku menggeleng, sambil memandang geli. “Belum pernah.”
“Ah, masa sih? Atau jangan-jangan... kau lagi berantem sama ‘dia’ karena pindah ke sini?”
“‘Dia’?”
“Pacar, dong. Aku juga putus gara-gara LDR.”
“Eh? Tadi kau bilang ditolak... sekarang bilang putus?” tanyaku bingung.
Dia tertawa kecil. “Aku dulu tinggal di luar pulau ini. Pindah karena orang tua tugas.”
“Tugas?”
“Dokter. Ayah-Ibu dokter. Nanti aku kasih nomor mereka, siapa tahu kau butuh.”
“Kirain di sini gak ada dokter.”
“Jangan remehkan pulau ini. Cowok cakep aja ada kok,” ujarnya genit. “Pacar terakhirku putus pas aku pindah. Tapi cowok yang kutaksir itu... aku ketemu di yayasan nenek. Nenek punya yayasan untuk orang tuli. Setiap liburan aku ke sana.”
“Dia kuliah sekarang?”
“Ya. Katanya sih gitu.”
“Orang tuli bisa kuliah?” tanyaku tanpa berpikir.
Nube menggeleng tegas. “Yang rusak pendengarannya, bukan otaknya. Tentu bisa. Eh, jangan bilang kau juga merasa rusak?”
Aku diam.
“Jangan kasih sugesti buruk ke dirimu sendiri. Percaya deh, pasti ada yang menyukaimu, walau diam-diam.”
“Karena kau tidak mengalaminya,” ujarku dingin. Aku berjalan menjauhinya.
“What?” serunya mengejarku. “Yang mana maksudmu?”
“Kau belum pernah mengalami kecelakaan.”
Dia menggoyangkan jari telunjuk di depanku. “Kau terlalu naif, Tiara. Aku pernah hampir mati. Aku bersyukur, Tuhan kasih aku kesempatan lagi.”
Aku mengerutkan dahi. “Kecelakaan apa?”
“Lihat sana.” Ia menunjuk ke tengah laut. “Speed boat yang membawaku pertama kali ke pulau ini... karam di sana.”
Ia tersenyum, menepuk pundakku.
“Kalau hari itu aku mati, mungkin mayatku gak akan ditemukan. Kau... setidaknya punya makam. Jadi, siapa yang lebih beruntung?”
Aku terdiam.
Nube menatapku lama, matanya tenang seperti laut di hadapan kami. Lalu ia berkata, pelan tapi dalam,
“Tiara, kau bukan satu-satunya yang terluka. Luka itu tak disembuhkan dengan pelarian. Ia butuh dirawat, dihadapi. Mungkin bekasnya tak akan pernah hilang, tapi dari sanalah kau belajar—bagaimana bertahan, bagaimana menghindar dari luka yang sama, dan bagaimana melindungi dirimu sendiri. Karena berdamai juga adalah bentuk kekuatan. Dan rasa takutmu... itu bukan musuh. Takut adalah respons alami tubuh untuk melindungimu dari bahaya—tapi kalau kau membiarkannya mengendalikan segalanya, ia bisa menahanmu dari hal-hal baik yang sebenarnya layak kau dapatkan.”
Aku berhenti. Menatapnya.
Lucu sekali. Baru pertama kali ada yang seberani ini bicara padaku. Tepat di bagian hati yang paling rapuh.
Aku tak menjawab. Tapi kata-kata Nube seperti membuka jendela di ruangan yang lama kututup. Belum ada cahaya masuk, tapi aku tahu… aku ingin tahu seperti apa rasanya udara luar itu.
Aku tersenyum kecil. “Masih mau jalan-jalan di pantai?”
“Tentu. Tapi lihat tuh,” katanya menunjuk langit jingga yang mulai redup, “Langit udah nyuruh kita pulang.”