Lomba
Lapangan sekolah pagi ini dipenuhi oleh murid-murid yang berbaris rapi. Mereka adalah peserta lomba yang akan berlangsung hari ini dan besok. Suasana tampak meriah namun teratur. Setiap kelas berdiri dalam barisan masing-masing, menghadap ke panggung kecil di depan mereka. Sebuah spanduk besar bertuliskan "Pekan Lomba Sekolah!" membentang di belakang panggung, memberi warna dan semangat pada suasana.
Dua buah speaker besar diletakkan di sisi kanan dan kiri panggung, dan beberapa panitia terlihat sibuk mengatur posisi mikrofon, mengetes sound system, memastikan semuanya siap.
Jam menunjukkan pukul 07.13. Tinggal dua menit lagi sebelum acara dimulai. Tapi anak-anak ini… sudah tak sabar. Sejak pukul 07.10, mereka sudah memenuhi lapangan. Barisan sudah terbentuk rapi, suara obrolan kecil dan tawa pelan sesekali terdengar di antara mereka. Ada yang berdiri dengan cemas karena lomba individu, ada yang tertawa-tawa bersama teman satu tim, dan ada juga yang diam menatap panggung... menunggu.
Meski acara belum dimulai, semangat mereka sudah mendidih.
Naln berdiri di barisan paling belakang kelasnya. Ia tak banyak bicara. Pandangannya perlahan menyapu sekitar, mengamati segala hal yang terjadi di lapangan pagi ini. Murid-murid ramai berbincang, beberapa tertawa, sebagian terlihat tegang. Tapi Naln… hanya diam. Ia menoleh ke arah barisan kelas empat. Mencari sosok yang ia kenal. Lenard.
Tak lama, kepala kecil itu muncul di balik kerumunan. Lenard melompat-lompat, sepertinya mencari kakaknya juga. Dan saat pandangan mereka bertemu, tangan Lenard langsung melambai-lambai penuh semangat. Senyum lebar tergambar jelas di wajahnya. Naln membalasnya dengan senyuman tenang. Ia hampir terkekeh, melihat tingkah adiknya yang antusias seperti itu, tapi urung… takut dianggap aneh oleh murid yang kebetulan berdiri di dekatnya.
Tiba-tiba...
Ngiiiing!
Suara nyaring dari mikrofon yang terlalu dekat dengan speaker membuat sebagian murid langsung menutup telinga. Beberapa mengeluh pelan, ekspresi mereka meringis karena suara itu terlalu menyayat. Naln tetap diam. Tidak bereaksi secara berlebihan. Ia hanya menunduk sedikit dan menunggu, berharap suara itu cepat hilang dari udara.
Perlahan, suara nyaring dari mikrofon itu akhirnya menghilang. Murid-murid langsung menurunkan tangan mereka, berhenti menutup telinga. Beberapa masih terdengar mengomel kecil, terutama anak-anak cewek yang memang cerewet kalau soal hal-hal nyebelin begitu.
Naln memperhatikan mereka sejenak, ekspresinya datar. Lalu matanya bergerak ke arah jam dinding yang tergantung di dinding kelas, tak jauh dari tempatnya berdiri. Jarum panjang dan pendeknya menunjuk tepat pada pukul 07.15. Sudah waktunya.
Dan benar saja. Baru beberapa detik setelah ia menyadari itu, dua orang murid dari kelas enam maju ke depan panggung kecil. Mereka membawa selembar kertas di tangan masing-masing. Naln bisa menebak, itu pasti naskah acara. Keduanya berdiri berdampingan, lalu salah satu dari mereka memegang mikrofon yang sudah diperbaiki suaranya barusan.
"Selamat pagi semuanya!" Suara lantang terdengar, membuat sebagian murid yang masih ngobrol langsung diam.
"Selamat datang di acara perlombaan tahunan sekolah kita!" Disambut tepuk tangan dari beberapa kelas. Ada yang semangat, ada juga yang sekadar formalitas.
Naln tetap diam. Ia mendengarkan, tapi pikirannya sedikit mengembara ke tempat lain. Sementara suasana semakin hidup di lapangan, dalam hati kecilnya, Naln tahu... ia punya urusan yang lebih besar dari sekadar lomba.
Tapi pagi ini, untuk sekarang., dia hanya murid biasa yang berdiri di barisan belakang. Dan Naln memilih untuk diam di tempatnya.
Dua MC yang berdiri di atas panggung mulai memandu acara. Suara mereka kini terdengar lebih jelas, tidak ada lagi gangguan dari sound system.
“Baik, untuk membuka acara hari ini, mari kita mulai dengan pembukaan!” Salah satu dari mereka berkata lantang, disambut tepuk tangan dari para murid dan guru.
Setelah itu, mereka bergantian membacakan susunan acara yang akan berlangsung selama dua hari ke depan.
"Berikut adalah urutan acara perlombaan hari ini." Mereka mulai membacakan susunan acara.
Suara mereka terdengar antusias, seolah ikut bersemangat dalam keramaian ini. Beberapa murid mencatat jadwal lomba mereka, yang lain hanya mendengarkan sambil berdesakan di barisan masing-masing.
“Selanjutnya, sambutan dari Bapak Kepala Sekolah. Kepada Bapak, waktu dan tempat kami persilakan,” ucap salah satu MC dengan suara lantang, disambut anggukan dari rekannya.
Keduanya menuruni panggung kecil, sambil menyerahkan salah satu mikrofon kepada Pak Kepala Sekolah yang baru saja berjalan mendekat dari arah berlawanan. Langkah beliau tenang, rapi, penuh wibawa seperti biasanya.
Sesampainya di atas panggung, beliau berdiri sejenak, memandang ke arah murid-murid yang berbaris rapi. Sekilas, sorot matanya menyapu lapangan seperti sedang menilai suasana.
"Selamat pagi, anak-anak!” Sapa pak kepala sekolah.
“Pagi pak!”
“Wah, Bapak senang sekali lihat kalian semua sudah rapi, semangat, dan... sebagian udah keringetan padahal lombanya belum mulai ya?”
“Hari ini dan besok, kita akan lomba. Tapi ingat, ini bukan lomba siapa yang paling banyak makan gorengan di kantin, ya. Ini lomba yang seru-seru, dan Bapak yakin kalian semua sudah siap.”
“Bapak cuma mau titip tiga hal bukan makanan tapi. Pertama, jangan curang. Kalian boleh menang, boleh kalah, tapi jangan sampai menang karena nyontek, apalagi nyontek dari lomba yang bukan bidang kalian. Misalnya: lomba lari, eh kalian naik sepeda. Heh, itu bukan lomba lari namanya, itu kabur dari kenyataan!” Semua murid tertawa, termasuk guru dan panitia lomba.
“Kedua, jangan sedih kalau kalah. Kalah itu bukan akhir dari segalanya. Bapak juga dulu sering kalah, tapi sekarang bisa berdiri di sini... meski rambut tinggal separuh. Jadi santai aja!”
“Dan yang ketiga, jaga teman kalian. Kalau temennya gugup, semangatin. Kalau jatuh, bantu bangun. Jangan malah ketawa duluan ya, nanti karma jatuh bareng!” Pecah sudah tawa mereka.
“Oke, itu aja dari Bapak. Selamat berlomba, jaga semangat, dan ingat, yang penting bukan medali, tapi kenangan dan kebersamaan, Eaaa. Eh tapi… kalau bisa menang ya, lebih bagus dong! Sekian dari Bapak. Babaay!” Ucap pak kepala sekolah seraya melambaikan tangan saat mengatakan ‘Babaay!’ Semuanya bertepuk tangan, Sebagian masih tertawa karna lelucon yang pak kepala sekolah buat.
***
Setelah rangkaian acara pembukaan lomba selesai di lapangan sekolah, para peserta mulai bergerak menuju lokasi lomba mereka masing-masing. Suara langkah kaki dan teriakan panitia terdengar ramai bersahut-sahutan di segala arah.
“Peserta lomba menggambar ke ruang seni, ya! Jangan salah masuk, nanti gambarnya malah jadi denah sekolah!”
Naln berdiri di tempatnya sejenak. Ia sebenarnya ingin langsung ke kelas saja, kelasnya kebetulan tidak digunakan untuk lomba apapun hari ini, jadi tempat itu akan sepi dan nyaman untuk menyendiri. Tapi… pikirannya melayang ke satu tempat lain.
Aula.
Itu adalah lokasi lomba LCC, Lomba Cerdas Cermat, dan salah satu peserta dari kelas empat adalah Lenard, adiknya sendiri.
Naln mendesah pelan, lalu melangkah pelan meninggalkan barisan. Ia mengubah arah langkahnya menuju aula. Tak ada yang memanggil atau memperhatikan, dan itu lebih baik. Ia hanya ingin menjadi penonton. Bukan sebagai kakak yang khawatir atau penasaran. Hanya ingin... melihat.
Melihat bagaimana Lenard akan melangkah lebih jauh dari yang ia sendiri pernah lakukan. Lenard itu pintar, tak heran jika ia mengikuti lomba LCC, yang dominan pesertanya adalah orang-orang pintar dari setiap kelas.
Naln duduk di pojok aula, tepatnya, di balik tembok koridor yang menghadap ke dalam ruangan itu. Ia terlihat seperti sedang mengintip. Wajar saja, yang terlihat dari dirinya hanya kepala. Sisa tubuhnya masih tersembunyi di balik dinding.
Matanya menyapu seluruh aula, mengamati deretan peserta LCC yang duduk rapi. Tentu saja, Naln sedang mencari satu wajah yang ia kenal, Lenard.
Adiknya itu duduk di barisan paling depan bersama kelompoknya. Dua orang lainnya, sesuai dengan batas maksimal anggota tim yang telah diumumkan saat pendaftaran lomba kemarin. Yaitu satu kelompok berisi tiga orang. Naln tersenyum kecil. Lenard tampak serius, tapi tetap membawa semangat seperti biasanya.
Empat puluh menit berlalu. Naln masih berada di tempat yang sama, tersembunyi di balik tembok koridor yang menghadap ke aula. Untung saja, tidak ada guru atau murid yang lewat selama itu. Tempatnya aman, walau agak gerah, dan membuat pegal.
Selama waktu itu, lomba berjalan sengit. Satu per satu pertanyaan dilemparkan, dan satu per satu kelompok tersaring.
Hingga akhirnya, terpilihlah lima kelompok dengan skor tertinggi. Mereka lah yang akan melaju ke babak final.
Dan kalian tahu?
Kelompok Lenard termasuk salah satunya.
Naln tersenyum lebar di tempatnya, senyuman yang penuh rasa bangga. Meski ia sadar dirinya tak sepintar Lenard, hari ini ia merasa cukup hanya dengan melihat adiknya bersinar. Seolah kebanggaan itu bisa menular lewat dinding dan jarak.
Mata Naln dan Lenard tak sengaja bertemu. Hanya sekejap, tapi cukup untuk menyalakan sesuatu.
Senyuman Lenard langsung melebar. Tanpa pikir panjang, ia berdiri dan setengah berlari menghampiri kakaknya, yang kini sudah bangkit dan berdiri menyambutnya di ujung koridor.
"Kakak! Kakak!" panggil Lenard, suaranya penuh semangat. Matanya berbinar seperti bintang kecil yang berkedip antusias.
"Aku masuk final!" serunya, sambil meloncat-loncat kegirangan. Wajahnya merah karena senang, tapi tetap lucu seperti biasanya.
Naln terkekeh menyaksikan tingkah adiknya. Ada rasa bangga yang hangat menelusup pelan ke dadanya, rasanya seperti lupa sebentar bahwa hidupnya rumit.
Hari ini, melihat Lenard bahagia... cukup membuat dunia terasa lebih ringan.
“Iya, iya, Kakak udah tau kok, tadi kakak denger pengumumannya langsung, finalnya mulai jam 08.20 ya?” Lenard mengangguk dengan semangat, ada waktu sepuluh menit untuknya belajar seblum perlombaan di mulai Kembali.
“Kakak lombanya udah?” Tanya Lenard dengan nada penasaran.
“Gak, kakak ga ikut lomba.” Lenard mengangkat kedua alisnya.
“Kenapa? Padahal seru loh lomba-lomba yang lain.”
“Kakak males ikut lomba.” Lenard ber-Nyeh, sambil melipat tangannya. Ia tahu, dari semester kemarin, kemarin, dan kemarin sebelumnya, sang kakak hampir tak pernah ikut lomba apapun. Selalu begitu. Dan meski hal itu sudah jadi pemandangan biasa baginya, tetap saja… dalam hati kecil Lenard, itu patut dipertanyakan.
***
Sepuluh menit berlalu... Jam dinding menunjukkan pukul 08.20. Itu tandanya, final lomba LCC resmi dimulai.
Naln kembali menyaksikan Lenard dari tempatnya pojok aula, tempat favorit pengamat diam-diam. Tapi sekarang suasananya berbeda. Ia tidak sendiri lagi.
Banyak murid lain juga ikut menonton. Pojok aula yang tadinya sepi kini dipenuhi kerumunan kecil. Kebanyakan dari mereka? Ya… dominan sih demi melihat crush-nya masing-masing yang sedang tampil di final. Ada yang bisik-bisik sambil senyum-senyum, ada juga yang sibuk merekam pakai HP. Sekalian nambahin mukasi dia di galeri.
Naln sendiri tetap diam, matanya tak lepas dari Lenard. Senyum tipis kembali terukir di wajahnya. Bukan karena naksir siapa-siapa. Tapi karena dia punya alasan yang jauh lebih tulus, kakaknya sedang bangga melihat adiknya bersinar.
Final berjalan begitu sengit. Beberapa kelompok saling kejar skor, dan suasananya… jangan ditanya. Riuh!
Setiap kali ada peserta yang hampir menjawab benar, sebagian penonton sampai berteriak karena greget. Ada yang melongo, tapi tetap memperhatikan serius. Deg-degan. Ada juga yang malah semangat banget menyemangati kelompok dari kelasnya. Tapi bukannya tambah fokus, peserta yang disemangatin justru kelihatan makin gugup.
Naln? Ia tetap diam. Duduk di pojok dengan tenang, matanya menyimak setiap pertanyaan dan jawaban yang terlontar. Walau ia tak mengerti. Hehe.
Entah kenapa, meskipun bukan dia yang ikut lomba, dadanya ikut berdebar setiap kali giliran kelompok Lenard menjawab.
Dan tanpa terasa... waktu pun habis.