Seperti Guru dan Murid
Esoknya, di sekolah…
Seperti biasa, Naln dan Lenard berpisah di koridor yang sama. Rutinitas itu seperti tak berubah, tapi langkah Naln terasa lebih berat dari biasanya.
Langkah-langkahnya diiringi suara-suara bisikan yang seolah menghantuinya. Sesekali, ia membenarkan topi yang ia pakai, berharap bisa menutupi retakan di keningnya. Retakan itu... bertambah bercabang sejak kejadian semalam.
Sesampainya di kelas, Naln duduk di bangkunya. Seperti biasa, paling pojok. Paling jauh dari semua orang. Begitu ia duduk, kelas yang tadi ramai langsung berubah… jadi lebih ramai. Tapi bukan dalam cara yang nyaman.
"Itu dia yang bikin Bu Tia membeku, kan?" Bisikan itu terdengar jelas. Naln tak perlu menoleh. Ia tau, suara itu ditujukan padanya.
Bu Tia?
Naln membeku sejenak. Ya… Bu Tia. Ibu-ibu yang Naln temui saat ia bermain ayunan di TK Bersama Lenard. Ibu-ibu itu… Yang tak sengaja Naln hipnotis karna saat itu saking emosi dengan perkataannya.
Berita itu ternyata sudah terlintas di telinga para penduduk. Maklum saja, itu sudah 3 hari yg lalu. Dan sekarang Naln punya masalah baru.
"Katanya Bu Tia masih diem gitu sampe sekarang. Kaya patung. Padahal udah beberapa hari…"
"Serem banget…"
Naln menggigit bibirnya. Ia merasa bersalah, walau kejadian itu tidak disengaja. Saat itu Naln bahkan belum tahu kalau ia punya kekuatan, apalagi tahu cara mengendalikannya.
Kini…
Semua orang mulai melihatnya dengan pandangan berbeda. Pandangan menantang, tapi Naln tahu, masih ada rasa takut pada diri mereka.
Aku ingin mengembalikan Bu Tia... Tapi bagaimana?
Naln menggigit bibir bawahnya.
Masa aku bilang ke Ibu?
Ia memejamkan mata sesaat, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi yang muncul justru pertanyaan baru,
Bagaimana ini...?
KRIIING!
Bel berbunyi, tanda pelajaran pertama akan dimulai. Murid-murid yang sedari tadi di luar kelas, kini berhamburan masuk, buru-buru duduk di tempat masing-masing. Guru mereka Pelajaran mereka hari ini, Pak Ubin, sudah terlihat di ujung koridor.
Pak Ubin, guru sejarah di sekolah ini, masuk ke dalam kelas dengan langkah tenang.
"Selamat pagi, anak-anak."
"Pagi, Pak!" Jawab murid-murid serempak. Pak Ubin tersenyum kecil lalu berkata,
"Baik, sebelum kita mulai pelajaran hari ini, Bapak mau umumkan sesuatu dulu. Ini soal agenda hari Jumat dan Sabtu." Suara kursi bergeser, semua mulai duduk lebih tegap.
"Eh, kalian semua udah daftar lomba, kan?"
"Sudah!" seru semua murid.
Kecuali Naln. Saat pendaftaran lomba di waktu istirahat minggu lalu, Naln pura-pura izin ke kamar mandi. Ia tidak minat. Lomba individu saja enggan, apalagi lomba kelompok. Ia tak ingin jadi pusat perhatian. Lagi.
Pak Ubin melanjutkan,
"Jadi begini. Hari Jumat dan Sabtu, kalian tetap datang sebelum jam tujuh lewat lima belas menit. Pulangnya jam sebelas siang. Dan hasil lomba akan diumumkan hari Senin depan, saat upacara. Mengerti?"
"Mengerti, Pak!"
"Baiklah, sekarang buka buku sejarah kalian, halaman lima puluh dua." Satu per satu murid mengeluarkan buku mereka. Suara halaman dibalik terdengar bersahutan.
Tapi Naln…
Ia hanya duduk diam. Kepalanya berpaling ke luar jendela, matanya kosong menatap langit.
Pikirannya masih di tempat lain. Bukan di sekolah. Bukan di halaman lima puluh dua. Tapi di taman TK. Di ayunan. Di tempat Bu Tia masih berdiri kaku… tak bergerak. Karena dirinya.
***
Suara burung dari atas batang pohon terdengar merdu, seakan ikut menyapa siang yang cerah. Langit membentang biru tanpa awan. Angin berhembus pelan, menyejukkan kulit.
Saat itu, hanya suara langkah sepatu Naln dan Lenard yang terdengar, berirama pelan di perjalanan pulang setelah setengah hari belajar di sekolah.
Tiba-tiba Naln menghentikan langkahnya. Lenard yang berjalan di sebelahnya ikut berhenti, refleks. Ia menoleh ke arah kakaknya dengan dahi berkerut.
"Kenapa, Kak?" tanyanya pelan.Naln menunduk sebentar, lalu memutar badannya, membelakangi Lenard.
"Kamu duluan aja ke rumah. Kakak ada urusan sebentar." Lenard semakin bingung.
"Emang Kakak mau ke mana?" Naln terdiam sesaat. Ia tidak menoleh, hanya menjawab dengan suara rendah,
"Ke suatu tempat."
"Aku mau i-"
"Gak usah. Kamu di rumah aja sama Ibu." Potong Naln. Hening. Lenard menunduk. Ada rasa kecewa yang tak bisa ia sembunyikan. Tapi ia menurut.
"Yaudah... hati-hati, Kak."
Naln tersenyum kecil. Tapi Lenard tidak melihatnya. Dengan seragam sekolah yang masih rapi di tubuh, dan tas gendong yang tergantung di punggung, Naln melangkah pergi meninggalkan Lenard sendiri, yang kini masih menatapnya dengan cemas.
***
Tas hitam kusam milik Naln yang warnanya sudah agak kusam, dijatuhkan begitu saja ke tanah. Kini, ia berdiri di tengah hutan. Hutan yang sama seperti kemarin. Tempat di mana ia dan Lenard hampir kehilangan nyawa… dan tempat di mana seorang pria bernama Dareth datang sebagai penyelamat.
Ini bukan tempat rahasia, seperti yang Naln bilang ke Lenard tadi. Tapi… entah kenapa, hutan ini terasa seperti tempat yang tepat. Tempat yang sesuai untuk memulai sesuatu.
Naln menarik napas pelan. Angin hutan menyentuh wajahnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Suara burung dari kejauhan terdengar samar, bersatu dengan desir angin yang menggerakkan dedaunan.
Ia teringat kata-kata Dareth. Bahwa Naln harus terus berlatih. Bahwa ia harus belajar cara menggunakannya, bukan hanya saat terluka…tapi untuk hal yang lebih dari itu.
Maka itulah kenapa ia tiba-tiba berhenti di tangah perjalanan pulang tadi. Karena ia ingin mencoba. Karna ia harus mencoba.
Bukan hanya untuk dirinya sendiri… tapi untuk orang-orang di sekitarnya.
Untuk Lenard. Untuk Bu Tia. Untuk siapa pun yang kelak akan membutuhkan bantuannya.
Naln mengepalkan tangannya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana, tapi ia tahu satu hal, Ia tidak ingin di pandang buruk oleh orang lain lagi.
"Kau mau berlatih apa, Naln?" Suara itu muncul begitu saja, menggema lembut di antara pepohonan. Naln terlonjak kecil, lalu buru-buru menyapu pandangan ke sekitar. Oh iya… Ia hampir lupa. Ia bisa berbicara dengan Alam.
"Umm… Hipnotis dan Teleport," jawab Naln ragu-ragu.
"Hah… Hei, kau ini bodoh atau bagaimana sih?" Nada suara Alam terdengar setengah kesal, setengah geli. Naln membeku. Dia baru saja dibilang bodoh sama…Alam?
"Apa maksudmu?" tanya Naln, agak tersinggung.
"Kalau kau mau melatih kekuatan hipnotismu, kau butuh korban, Naln. Mana bisa kau menghipnotis udara?" Naln terdiam. Kemudian ia menepuk dahinya sendiri.
Ya ampun, iya juga… Kenapa dia nggak kepikiran?
Ternyata ia memang tidak sepintar Lenard. Lenard pasti sudah menyusun rencana kalau dia yang punya kekuatan ini. Paling tidak, Lenard nggak akan lupa kalau hipnotis itu butuh orang lain sebagai target.
Naln menghela napas panjang, lalu mendongak ke langit yang tampak biru bersih dari celah-celah daun.
"Terus… aku harus cari siapa? Masa aku pulang lagi cuma buat hipnotis ayam tetangga?"
“Ngak gitu juga, Naln. Kalau kamu lapar, bisa-bisa kamu nyuruh ayam itu masuk panci sendiri, lengkap sama air mendidihnya.” Naln mematung sejenak, lalu nyengir.
“Kasian juga sih…”
“Itu ayam tetangga kamu, bukan ular api. Ayam biasa, bukan makhluk sihir. Nggak cocok buat jadi tumbal hipnotismu.” Naln tertawa kecil, ngebayangin ayam masuk panci sambil jalan sendiri, dengan mata kosong karena kena hipnotis. Gila juga itu.
“Jadi aku latihan apa dong sekarang?”
“Teleportasi. Jauh lebih masuk akal. Tanpa tumbal. Lagian siapa tau... kamu bisa melampaui Dareth.” Naln mengangkat alis.
“Melampaui Dareth? Om teleport, penyembuhan itu?”
“Ya. Tapi jangan ngarep bisa langsung kayak dia. Kalo kamu asal nekat, bisa-bisa badanmu nyangkut setengah di pohon.” Naln spontan mundur setapak.
“Eh… bisa gitu?”
“Ya bisa lah. Bisa jadi kamu mau teleport ke dekat batu malah ngebayangin isinya. Ini bukan sulap anak TK, Naln. Ini sihir. Kalau setengah badanmu nyangkut di batu, jangan bilang aku nggak ngingetin.” Naln menelan ludah. Tiba-tiba latihan ini terasa jauh lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.
“Hei, walaupun teleportasi kedengarannya gampang… ya gampang sih—kalau udah bisa.” Naln tersenyum kecut. Semakin lama ia ngobrol sama Alam, semakin naik juga tekanan darahnya. Tapi ya mau gimana? Cuma Alam satu-satunya yang bisa ngasih arahan soal kekuatannya sekarang. Untuk sementara, Alam jadi semacam guru darurat.
Sementara, ya. Kalau nanti Naln ketemu orang yang lebih mendingan, bisa jelasin tanpa bikin emosi naik, dia pasti bakal ganti guru.
“Soalnya kalo terus sama kamu, bisa stroke ringan tiap latihan,” gumamnya pelan.
“Apa tadi?”
“Enggak, enggak, aku bilang ‘Oke, sip, siap latihan.’”
“Kamu jangan sampai keliru bayangin lokasi teleportasi. Salah-salah, bisa nyangkut di batu. Atau lebih parah, setengah badan di sini, setengah lagi di sana.” Naln menelan ludah.
“Okey understand…I know it's very, very scary”
“Terus, selain belajar supaya enggak salah tujuan, kamu juga harus latih jarak teleportasinya. Misal, sekarang kamu cuma bisa pindah maksimal sepuluh meter. Nah, kalau kamu rajin latihan, bisa nambah jadi dua puluh meter, tiga puluh, bahkan lebih.” Naln melongo.
“Waww…”
Emosi yang tadi udah mulai naik perlahan lenyap, diganti rasa kagum dan semangat.
Naln menatap pohon besar di kejauhan. Bayangin aja kalau nanti dia bisa teleport sejauh itu, bahkan tanpa harus lari… Dia bakal jadi manusia tercepat di dunia. Halu dulu gapapa lah.
"Coba kau teleport ke batu yang kira-kira jaraknya sepuluh meter dari tempat kamu berdiri." Naln diam sejenak. Matanya menyapu sekitar, lalu berhenti pada sebuah batu besar yang berdiri angkuh di antara semak dan akar-akar pohon.
"Bagaimana caranya?" tanya Naln, tanpa menoleh. Naln tahu, Alam hanya mengeluarkan suara tanpa wujud. Kalau Alam punya kepala, Naln yakin sekarang pasti lagi geleng-geleng.
"Lihat batu itu. Nah, teleport ke sana." Naln menelan ludah. Deg-degan.
“Jadi, aku harus... ngebayangin tempatnya gitu?”
"Iyaa, Naln. Ya ampun, gimana sih kamu. Itu batunya masih kelihatan di depan mata. Gimana nanti kalau teleportnya ke tempat yang cuma bisa kamu ingat lewat ingatan? Mau nangis?"
Naln nyengir. “Hehe…”
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan mata. Di balik kelopaknya yang tertutup, ia membentuk bayangan jelas, tekstur kasar batu, warna abu kehijauan, semak di sampingnya, dan pantulan cahaya yang memecah di permukaannya.
"Aku berdiri di depan batu itu. Udara sama. Suara angin sama. Langkah pertama... teleport!"
Splash!
Angin seakan terisap ke satu titik.
Naln muncul di sisi batu, agak goyah. Tumitnya nyaris menginjak semak berduri. Ia langsung melompat kecil ke belakang. “WOH! Hahaha… Gila!”
"Yaah… gagal ya?" gumamnya pelan, tangannya menepuk lutut.
"Tidak. Justru itu berhasil," sahut Alam.
"Hah? Tapi aku enggak tepat di atasnya."
"Batu itu kan punya sisi. Samping juga masih bagian dari 'sana'. Lagi pula kau muncul tanpa nabrak pohon, tanpa nyasar ke pohon durian, dan... yang penting: kamu nggak kejedot." Naln menatap tangannya, tersenyum tipis. Ada rasa hangat yang naik ke dada. Rasa bangga, meski kecil, muncul juga.
"Berarti aku... bisa."
"Ya. Tapi jangan langsung berkhayal bisa teleport ke negeri sebelah. Sebenarnyak amu tidak perlu mengeluarkan kata-kata. Seperti tadi, ‘Teleport!’ Itu tidak perlu, dan juga, saat kau tiba, kau perlu berlatih mengerem dengan sempurna, jangan sampai goyah, apalagi jatoh." Naln mendengus, geli sendiri.
“Ulang lagi sampai kau bisa mendarat dengan sempurna. Itu termasuk hal yang penting, soalnya, kalo kamu teleport sambil bawa orang terus jatoh, udah ma orang nya terluka atau sekarat, malah mati, nanti kau juga yang salah." Bukannya merasa harus terus berlatih. Naln malah nyegir.
“Jangan nyengir mulu, Latihan yang bener. Aku copotin juga gigimu."
“Hehe…maap,maap. Jangan jahat gitu dong.”
“Huft…Lupakan saja lah. Cepat ulang lagi, balik ke posisi awal. Ingat, harus mendarat dengan sempurna. Kunci nya kamu harus tenang, jangan deg-degan terus, biasain.” Naln sebenarnya ingin mengeluh, namun dalam hatinya yang paling dalam, ia ingin menghargai Alam yang sudah membantunya berlatih dengan sungguh-sungguh, ya…Walau bikin darah naik.
Naln menghela napas. Dalam-dalam. Ia tahu, latihan belum selesai. Baru awal. Sekarang waktunya lebih serius, lebih fokus.
Tatapannya bergeser, tertuju ke tempat awal ia berdiri sebelum berteleportasi ke samping batu. Rumputnya masih terinjak. Jejak kecil sepatunya masih jelas.
Ia memejamkan mata. Di benaknya, ia membayangkan posisi tubuhnya tadi, arah angin, tekstur tanah, bau lembab hutan, dan suara daun yang gemerisik. Kali ini ia tidak mengeluarkan kata-kata.
Splash!
Dalam satu kedipan, Naln menghilang. Dan muncul lagi tepat di titik awal. Tubuhnya mendarat mulus dalam posisi jongkok, satu lutut menempel tanah, dan kedua tangan menjadi tumpuan seperti seorang pejuang yang baru mendarat dari langit.
Sunyi sebentar. Lalu—
"Mantap." Suara Alam terdengar datar, tapi ada nada puas di baliknya.
Naln tersenyum. Bukan senyum lebar. Tapi senyum kecil yang penuh arti. Senyum bangga. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa... ia punya kendali.
“Jangan bangga dulu,” sambung Alam, cepat-cepat mematahkan euforia.
“Kamu harus tetap berlatih. Jarak maksimalmu masih 10 meter. Itu belum cukup.”
Namun, kali ini senyum Naln tidak memudar. Tidak seperti biasanya saat ditegur. Ada cahaya kecil yang menyala dalam hatinya. Keyakinan. Ia tahu, ia bisa menjadi kuat.
Dengan bantuan Alam, Naln merasa yakin.
Yakin bahwa suatu hari nanti, ia akan bisa menguasai kekuatannya sepenuhnya. Yakin bahwa semua ini... bukan sia-sia.
Entah sejak kapan, suara yang ia dengar itu... sudah terasa seperti sosok orang tua. Bukan manusia. Tapi tetap terasa dekat. Mungkin karena ia yang selalu ada saat Naln butuh arahan, atau mungkin karena... Alam tak pernah meninggalkannya sendirian.
"Kalau saja kau punya wujud..." pikir Naln dalam hati.
"Mungkin kau akan terlihat seperti Dareth. Tenang. Kuat. Tapi kadang... nyebelin juga sih."
Namun itu bukan masalah. Tidak besar, setidaknya. Karena faktanya, Alam mau membantu Naln. Dan itu cukup.
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya suara itu, terdengar datar, tapi jelas. Naln masih tersenyum, tatapannya menerawang ke dedaunan di atas.
“Gak apa-apa,” jawabnya pelan.
“Aku cuma merasa...” Naln diam sejenak, gengsi mengatakan,bahwa Naln sudah menganggap Alam sebagai orang tua sendiri,
“aku bisa…Kalau terus berlatih. Teleport, pemulihan diri, hipnotis... Aku harap kekuatan ini bisa berguna. Untuk orang-orang. Untuk kebaikan.”
“Semoga.” Hutan hening sejenak. Hanya suara angin lewat di sela-sela pohon. Naln mengangguk pelan.
“Bantu aku latihan lagi ya, Alam. Kau udah kayak... guru sendiri buatku.”
Alam terkekeh. “Terserah kau lah.”
Naln ikut tertawa kecil. Entah kenapa, rasanya... menyenangkan. Mereka sudah seperti guru dan murid yang lama akrab. Padahal, satu di antaranya hanya suara. Dan satu lainnya... manusia dengan kekuatan luar biasa.
Alam itu... besar. Terlalu besar untuk dibayangkan. Jika ia punya bentuk, entah seperti apa jadinya makhluk sebesar itu bercanda dengan anak seperti Naln.
“Aku harap kau bisa bermanfaat bagi orang lain, Naln…” Pikir Alam, seperti doa yang jatuh dari langit.
Dan tanpa disadari, retakan hitam di kening Naln kembali bercabang. Pelan-pelan, memanjang.
Satu... dua... tiga helaian rambut hitamnya ikut berubah. Menjadi putih.
Angin berembus pelan. Tapi di dalam diri Naln, badai sedang tumbuh.