Kok tau?
Hutan terasa sunyi. Angin berhembus lembut. Tersisa suara aura hijau penyembuhan dari pria itu, dan sesekali terdengar desisan ular serta tubrukan mereka pada dinding transparan berbentuk bulat itu.
Pandangan Naln beralih ke arah ular-ular yang masih berusaha menghancurkan penjara tersebut. Tiba-tiba, salah satu dari mereka menyemburkan api.
WUUUSHHH!
Namun sekarang, semburan itu hanya membuat mereka terluka sendiri. Seperti kata pepatah, senjata bisa saja memakan tuannya sendiri.
Seketika, setelah melihat kejadian itu, muncul satu pertanyaan di benak Lenard. Pandangannya kini beralih ke sosok pria di hadapannya yang masih fokus menyembuhkan luka gigitan di lengan Naln.
“Umm... Boleh aku bertanya?” Lenard sebenarnya sedikit ragu. Tapi karena rasa penasarannya jauh lebih besar daripada rasa ragu, akhirnya ia bertanya juga.
"Tentu, adik kecil, mau bertanya apa?" Pria itu spontan menoleh ke arah Lenard saat mengatakannya.
"Anu... Ular itu... sebenarnya ular apa? Sepertinya bukan ular biasa, soalnya bisa ngeluarin api dari mulutnya?"
Pria itu tersenyum. "Itu ular api."
Mata Lenard melebar mendengar jawaban pria itu. Alisnya mengangkat tinggi. "Ular api? Memangnya ada?"
Pria itu mengangguk pelan. "Ada. Dunia ini banyak hal ajaib yang berhubungan dengan sihir. Kakakmu salah satunya. Dan juga ular itu. Tapi bukan cuma itu aja..." Ia menarik napas sebentar, matanya menatap ke pepohonan yang bergoyang pelan.
"Dunia ini sebenernya jauh lebih luas dan rumit dari yang kita kira. Ada orang-orang yang punya sihir, dan ada yang nggak. Ada makhluk-makhluk aneh yang hidup tersembunyi di balik bayang-bayang. Kadang hal-hal ajaib itu muncul di tempat yang paling nggak kita sangka. Jadi, dunia ini bukan cuma yang kita lihat setiap hari, tapi ada lapisan-lapisan rahasia yang penuh misteri.” Lenard mengerutkan dahi, matanya penuh rasa ingin tahu.
“Ada yang punya ada yang ngak?” Rasa cemas perlahan memenuhi pikiran Lenard.
“Aku punya sihir ga, om?” Pria itu terkekeh dengan pertanyaan Lenard. Apalagi saat Lenard memanggilnya dengan sebutan “Om”
“Kenapa emangnya kamu nanya begitu? Kamu pengen punya sihir?” Lenad mengangguk. Ia masih merasa cemas dengan kemungkinan ia tak memiliki kekuatan atau sihir seperti kakaknya.
“Mungkin kamu akan punya. Tapi di waktu tertentu. Waktu dimana kekuatan mu akan aktif.” Pria itu tersenyum. Pandangannya kini beralih Kembali ke luka gigitan di lengan Naln.
Lenard menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Matanya masih terpaku pada pria yang kini tengah fokus menyembuhkan luka Naln.
Naln sendiri melamun, matanya tak lepas memperhatikan tangan pria itu yang memancarkan aura hijau lembut dari telapak tangannya. Awalnya, rasa sakit yang menusuk dari gigitan ular itu semakin tajam ketika aura hijau itu menyentuh lukanya. Tapi seiring waktu, rasa sakit itu perlahan berubah jadi hangat nyaman yang merayap ke seluruh tubuhnya. Naln mulai merasa tenang, bahkan senang, sejak saat itu.
Perlahan, aura hijau itu memudar, menandakan bahwa pria itu telah selesai menyembuhkan luka gigitan di lengan Naln. Tangan kiri Naln reflek terangkat, menyentuh bagian yang tadi terluka. Kulitnya kini mulus kembali, tak ada bekas luka, seolah tak pernah digigit sama sekali. Racunnya pun menghilang.
Naln mendongak. Matanya kini bertemu dengan mata pria itu.
“T-terima kasih...” ucapnya pelan. Pria itu tersenyum lembut.
“Sama-sama. Tapi jangan lupa, ucapkan juga terima kasih pada dirimu sendiri.” Naln mengerutkan kening, alisnya terangkat.
“Maksudnya...?” Pria itu terkekeh ringan.
“Kamu belum sadar, ya? Sebenarnya, aku nggak terlalu banyak bantu soal racunnya. Justru, tubuhmu sendiri yang dari tadi bekerja keras melawan racun itu.” Naln membisu. Masih tak sepenuhnya paham.
“Begini,” pria itu melanjutkan, suaranya tenang.
“Racun dari gigitan ular itu... bisa dibilang mematikan. Dalam hitungan detik, racunnya bisa menyebar ke seluruh tubuh dan menghabisi nyawa korbannya. Tapi kamu, kamu masih bisa bertahan lebih dari satu menit sebelum aku datang. Kenapa bisa? Karena tubuhmu ternyata sedang mencoba menyembuhkan diri sendiri. Darahmu keluar membawa racunnya, bukan menyebarkannya ke dalam. Sihir penyembuhan alami, bisa dibilang begitu. Tapi prosesnya lambat. Makanya kamu masih sempat merasakan sakit luar biasa tadi. Mungkin butuh waktu berjam-jam sampai racunnya benar-benar bersih... kalau aku nggak bantu.”
Mulut Naln menganga. Sulit percaya bahwa tubuhnya sendiri melakukan penyembuhan seperti itu.
“Itu berarti... aku punya kekuatan penyembuhan juga? Seperti Tuan?” Pria itu tersenyum lebar.
“Mirip, tapi beda. Kalau aku bisa menyalurkan sihir penyembuhan ke orang lain dan diriku sendiri, kamu hanya bisa ke dirimu sendiri. Tapi itu pun... tetap luar biasa.” Naln terdiam. Mulutnya tak berhenti menganga, matanya membesar dan tampak berbinar.
“Kekuatanmu bisa jadi keuntungan besar buat dirimu sendiri,” lanjut pria itu sambil tersenyum tipis.
“Soalnya, kalau kau terus melatih kemampuan menyembuhkan dirimu sendiri, kekuatan itu bakal makin kuat. Lama-kelamaan kamu bisa sembuhin luka dalam waktu yang jauh lebih cepat dan efisien.” Ia mengangkat satu jari, seperti guru yang sedang memberi peringatan.
“Tapi ingat, berlatih bukan berarti kamu harus sengaja melukai dirimu dulu, terus menyembuhkannya. Itu bukan latihan. Itu namanya menyiksa diri sendiri. Nggak sehat, ngak baik, dan nggak ada gunanya juga.” Naln mengangguk pelan, masih mencerna semuanya.
“Yang perlu kau lakukan, dengan melatih kekuatan lainmu. Kalau sewaktu-waktu kamu terluka karena itu, nah... saat itulah kamu bisa latih kemampuan penyembuhanmu. Misalnya, bayangkan saja kamu sedang menjahit luka-lukanya dari dalam. Atau, membayangkan tulang yang retak tersambung lagi. Intinya begitu.” Pria itu sempat diam sejenak, lalu menyambung lagi dengan nada lembut.
“Kau hanya bisa fokus untuk menyembuhkan dirimu sendiri, dan itu... justru bisa jadi kelebihan. Karena fokusmu nggak terbagi. Sementara aku, aku harus bagi energi ke dua arah, untuk orang lain dan juga diriku sendiri. Kalau kamu tekun, kekuatanmu bisa jauh lebih besar dibanding punyaku.” Naln tersenyum lebar.
“Serius?” Naln tampak sangat antusias. Karna, ia melihat bagaimana cara pria itu membantu menyembuhkan lukanya saja itu sudah luar biasa. Apalagi jika ia melampauinya. Mungkin bukan luar biasa lagi. Tapi sangat luar biasa!
Pria itu terkekeh pelan. Ada nada gemas dalam tawanya, seolah geli melihat reaksi Naln yang begitu antusias mengetahui bahwa dirinya punya potensi yang bahkan bisa melampaui dirinya, yang jelas-jelas sudah terlihat seperti ahli dalam sihir penyembuhan.
Naln sendiri membeku beberapa detik, lalu mengepalkan tangannya. Ada semangat baru yang tumbuh di dalam dirinya. Tatapannya tajam mengarah ke depan, seolah sudah berjanji dalam hati.
Ia tahu sekarang, bahwa dirinya punya potensi besar. Bahwa ia tidak bisa terus bergantung pada keberuntungan atau bantuan orang lain. Ia harus bersungguh-sungguh. Harus berlatih lebih sering. Lebih serius.
Bukan hanya agar kekuatannya berkembang...Tapi juga agar bisa melindungi orang-orang di sekitarnya.Terutama Lenard. Orang yang ada di daftar teratas yang harus Naln lindungi, apapun yang terjadi.
"Tuan ini... siapa?" Naln akhirnya bertanya. Rasa penasarannya memuncak—siapa sebenarnya pria yang menyelamatkan mereka, dan menyembuhkan lukanya?
Pria itu terkekeh pelan. "Hmm... sepertinya kalian benar-benar ingin tahu siapa aku?"
Naln dan Lenard spontan mengangguk bersamaan. Gerakan mereka sinkron, terlihat kompak sekali.
"Panggil saja aku Dareth. Aku kebetulan lewat di sini. Mungkin... sama seperti kalian, sedang mencari kayu bakar." Dareth tersenyum.
"Tapi tadi pas aku yang nanya, Om malah jawab 'kau tak perlu tahu siapa aku. Aku cuma kebetulan lewat.' Sekarang kakak yang nanya, eh malah dikasih tau. Namanya dapet, alasannya dapet juga. Gak adil!" Lenard cemberut sambil merengek. Naln tertawa kecil melihat tingkah adiknya.
"Kakakmu tadi belum pulih sepenuhnya," jawab Dareth ringan.
"Siapa tahu dia butuh tahu juga siapa aku. Jadi aku kasih tau sekarang. Tapi jujur aja, kalau dia gak nanya, aku juga gak bakal ngasih tau."
"Cih..." Lenard menyilangkan tangan di dada, wajahnya cemberut... tapi justru terlihat makin menggemaskan. Dareth tertawa melihat ekspresi itu.
Dareth perlahan bangkit. Lenard yang menyadari Dareth telah bangkit. Ekspresinya yang tadinya cemberut, sekarang berubah jadi muram.
"Om mau ke mana?" tanyanya dengan ekspresi sedih. Jelas, ia berat ditinggal orang yang baru saja menyelamatkan mereka.
"Pulang," jawab Dareth sambil tersenyum.
"Urusanku di sini sudah selesai. Mungkin aku juga akan bawa ular-ular itu." Dareth menoleh ke arah sepuluh ular yang masih sibuk mencoba melepaskan diri dari penjara hijau transparan.
"Memangnya ular-ular itu Om mau apain?"
"Masak, terus makan." Dareth tertawa kecil, jelas bercanda. Tapi tidak untuk Lenard.
Lenard langsung bengong. Ia membayangkan apa jadinya kalau Om Dareth makan ular beracun itu, terlebih lagi
"Haha, enggak lah Lenard. Palingan Om kurung aja," Dareth menambahkan, menahan tawa. Lenard mengangguk pelan,
"Oh..." Dikira serius, panik duluan. Naln ikut berdiri. Tatapannya kini tertuju pada Dareth.
"Eh... Om, makasih ya. Atas bantuannya." Dareth menoleh, tapi malah tertawa pelan saat mendengarnya.
"Jangan panggil Tuan, terdengar aneh. Panggil saja Om, seperti adikmu ini."
Ia lalu mengulurkan tangan, membelai rambut Naln yang berantakan. Jemarinya pelan menyapu helaian hitam... dan beberapa helai putih di antaranya.
Dibalik senyuman hangatnya, sebenarnya Dareth sedari tadi sudah memperhatikan hal-hal itu. Rambut putih yang tidak wajar di usia semuda Naln... dan juga retakan hitam di keningnya yang kini mulai bercabang, semakin merayap. Dareth menarik tangannya, berhenti membelai.
"Kalau begitu, Om pergi dulu ya." Lenard semakin cemberut. Tapi kali ini bukan karena kesal… wajahnya jelas-jelas sedih.
"Om… makasih ya udah bantu kita. Aku kira aku bakal mati sama Kakak waktu di atas pohon tadi..." Dareth terkekeh. Tangannya terangkat, bukan untuk membelai, tapi malah mengacak-acak rambut Lenard sampai makin berantakan.
"Jaga diri kalian, ya." Tatapannya lalu beralih ke Naln, lebih serius.
"Kamu. Terus berlatih sungguh-sungguh. Bisa jadi, kau akan jadi pemilik kekuatan paling kuat di dunia ini. Tapi ingat, jangan lukai dirimu sendiri hanya demi melatih sihir penyembuhanmu. Dan satu lagi..." Suara Dareth kini tenang, tapi tegas.
"Gunakan kekuatanmu untuk kebaikan. Bukan untuk keburukan." Lenard berhenti manyun. Tatapannya masih mengikuti Dareth yang berbalik badan, siap pergi.
"Dadah, Om..." Lenard melambaikan tangan. Dareth tidak menoleh, tapi senyum masih terlukis di wajahnya.
"Ya... semoga kita bertemu lagi, Naln dan Lenard."
Splash! Splash!
Seketika, Dareth menghilang. Bersama dengan ular-ular api yang tadi masih terkurung.
Lenard bengong.
"Sugoi..." katanya pelan, masih ternganga melihat teleportasi itu. Hening. Beberapa detik kemudian, mata Lenard tiba-tiba membesar.
"Kak… Kak!" serunya, menarik baju Naln.
"Apa?" Naln menoleh.
"Om Dareth tadi nyebut nama kita?"
"Iya, kenapa?" Lenard menatap kakaknya, ekspresi bingung.
"Kakak tadi ngasih tau nama kita enggak?”Naln langsung menggeleng.
"Pas pulih, aku langsung bilang terimakasih, belum sempet kenalan.” Naln gantian bertanya,
"Kamu?" Lenard juga menggeleng pelan. Mereka saling menatap selama beberapa detik.
"...Terus, kok Om Dareth bisa tau nama kita?" tanya Lenard sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Naln hanya mengangkat bahu.
Iya juga, pikirnya. Dari mana Dareth tau nama kita...?