Setelah menyimpan tas di dalam loker ruang klub, aku tidak langsung beranjak dari sana. Menyerong ke kiri, aku berhadapan dengan misteri yang mengganjal pikiranku.
Sudah sebulan berlalu, tapi masih belum ada penjelasan lebih lanjut mengenai loker biru dan ungu itu. Apa yang disimpan di sana dan kapan digunakan, para senior itu tidak pernah lagi membahasnya. Seolah mereka membiarkanku memelototinya sampai loker itu sendiri yang berbicara.
Pernah suatu siang, ketika aku menemani Arya menjaga ruangan, kami berdiskusi.
“Kurasa ada benda rahasia di dalamnya, dan kita belum boleh mengetahuinya karena kita masih belum bisa dipercaya,” kata Arya dengan sok serius.
“Memangnya benda rahasia seperti apa yang mungkin dimiliki klub ini?” sahutku.
“Kalau aku tahu, Win, berarti namanya bukan rahasia lagi.”
Aku mencebik kesal, walaupun yang dikatakan Arya tidak salah.
Saking lelahnya menduga-duga, aku jadi asal menyebutkan apa saja yang terlintas. “Jangan-jangan ada peri kecil yang bisa menghapus ingatan.”
Arya menggeleng mendengar dugaanku. Katanya, “Aku yakin bagian dalam loker ungu adalah portal menuju masa depan.”
“Mungkin di salah satu loker biru ada kaca pembesar yang dapat menemukan benda apa saja.”
“Atau, loker itu mungkin semacam kotak telepon umum yang menghubungkan kita dengan alien.”
Lalu kami pun saling bertukar tebakan penuh khayalan itu sampai bel mengingatkan kami untuk segera kembali ke kelas masing-masing.
Tepukan lembut di bahuku mengalihkan atensiku dari loker-loker bisu yang enggan memberikan jawaban. Kak Mela baru saja meletakkan bawaannya di dalam lokernya.
Sekilas, aku melihat mata Kak Mela melirik ke arah loker-loker yang tadinya kupandangi. “Ayo kita menyusun laporan kegiatan ekstrakurikuler,” katanya kemudian.
Kak Mela berjalan lebih dulu, lalu duduk di salah satu bangku dan membuka laptop milik klub. Aku menyusul, duduk di sebelahnya dan menyimak. Bang Jovin dan Bang Damian sedang menyisiri sekolah di Jumat sore ini, sedangkan Arya punya jadwal sendiri dengan klub futsalnya.
“Laporan kegiatan ekstrakurikuler harus dikumpulkan setiap bulan, bisa di akhir bulan atau di awal bulan berikutnya. Selain untuk melaporkan kegiatan apa saja yang dilakukan suatu klub atau ekskul, laporan ini juga akan menjadi pertimbangan untuk menetapkan uang bulanan yang diberikan sekolah,” jelas Kak Mela.
“Berarti, uang bulanan bisa ditambah dan dikurangi, ya, Kak?”
“Betul,” sahut Kak Mela. “Laporan kegiatan ini juga akan jadi salah satu faktor penentu dalam memberikan nilai kegiatan individu di rapor nanti.”
Telingaku refleks berkedut mendengar kata-kata “nilai kegiatan di rapor”, satu-satunya alasanku masuk ke klub ini.
Dengan agak was-was, aku bertanya, “Memangnya, ada apa saja dalam laporan kegiatan ekstrakurikuler ini? Dan bagian mananya yang akan jadi faktor penentu nilai kegiatan individu?”
Tidak langsung menjawab, Kak Mela justru sibuk dengan laptopnya. Suara ‘klik, klik’ dari tetikus mengisi keheningan di ruangan untuk beberapa jenak.
Tidak lama kemudian, Kak Mela menunjuk layar laptop. “Laporan kegiatan ekstrakurikuler dari setiap klub atau ekskul punya format yang berbeda-beda, karena pihak sekolah tidak memberikan ketentuan tertentu. Yang penting, ada lampiran pengeluaran, daftar kegiatan yang dilakukan selama sebulan, daftar kehadiran anggota, dan hal-hal lain yang sekiranya perlu dilampirkan.”
Kek Mela diam sebentar dan meraih botol minumnya. Sambil menunggu Kak Mela meneguk minumannya, aku mencoba memahami penjelasannya tadi pelan-pelan.
“Nah,” lanjutnya, “daftar kehadiran dapat menunjukkan seberapa disiplin murid-murid mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sesuai jadwalnya. Dalam daftar kegiatan biasanya juga dituliskan nama-nama anggota yang berpartisipasi. Dua hal itu jadi salah satu faktor dalam menetapkan nilai kegiatan individu dalam rapor.”
Artinya, asalkan aku rajin datang dan melakukan aktifitas klub dengan baik, maka nilai kegiatanku akan aman. Dan kenaikan kelasku di semester genap nanti akan terjamin.
Kukepalkan tanganku diam-diam untuk menyemangati diri. Demi nilai rapor!
Kemudian, tanpa kuduga, sensasi menyenangkan yang datang setelah mengembalikan cincin yang kutemukan kepada pemiliknya dan sesudah berhasil menemukan hiasan pena yang berharga, melintas di benakku. Perasaan yang hangat itu.
Demi nilai rapor, kataku. Demi membantu menemukan yang hilang dan mengembalikannya kepada pemiliknya, tambahku.
“Aku akan mencetak laporan beserta lampirannya, kemudian hasil cetakannya tolong kamu rapikan dan disatukan dengan stapler ya, Win.”
“Oke, Kak Mela!”
***
Selama menyatukan lampiran tabel benda temuan, selain fakta bahwa alat tulis memiliki jenis terbanyak, aku juga mendapati bahwa benda yang ditemukan setiap harinya sebenarnya itu-itu saja.
Kalau tidak pena atau pensil, ya gantungan kunci. Kalau tidak penghapus dan penggaris, ya gelang dan cincin. Buku catatan, tas kecil tempat alat tulis, dan telepon jarang ditemukan tapi sebulan sekali pasti ada salah satunya.
“Kak Mela,” panggilku. “Ada, tidak, benda temuan paling aneh yang pernah klub ini temukan?”
Meregangkan tangannya, Kak Mela akhirnya selesai mencetak semua dokumen yang diperlukan. Setelah meneguk air dari botol minumnya, dia akhirnya menoleh ke arahku.
“Benda paling aneh, ya? Hmm....” Kak Mela menerawang sambil mengerutkan dahinya, sampai beberapa jenak kemudian. “Oh! Waktu aku kelas dua, aku menemukan gembok cinta.”
“Gembok cinta?” Kepalaku meneleng seraya membayangkan bentuknya akan tampak seperti gembok pada umumnya, tetapi dengan bentuk hati dan berwarna merah atau merah muda.
“Iya. Bukan hanya bentuknya yang seperti hati, tapi gembok itu benar-benar bisa menyatukan dua hati.”
Aku semakin meneleng. “Maksudnya, gembok itu punya kekuatan untuk menyatukan cinta dua orang?”
“Bisa dibilang begitu,” jawab Kak Mela dengan ambigu. “Lalu, pernah juga ditemukan kotak musik. Setiap kali kunci diputar, kotaknya akan mengeluarkan suara merdu dan membuat boneka di dalamnya menari sungguhan.”
Setahuku, boneka di dalam kotak musik memang bisa berputar, tapi tidak lantas menari sendiri dengan bebas.
Dua benda itu, apakah benaran ada?
“Gembok yang menyatukan dua hati dan kotak musik dengan boneka yang menari, pasti terdengar mustahil, ya?” Kak Mela menampilkan senyum yang misterius. “Tapi, itulah benda-benda aneh yang pernah ditemukan klub ini, dan itu belum semuanya. Suatu saat nanti, kamu dan Arya pasti juga akan menemukan benda aneh seperti itu.”
Oke, sekarang bertambah satu lagi kemisteriusan dari Klub Lost & Found setelah loker tiga warna itu.
Selesai dengan tabel benda temuan, kini aku merapikan hasil cetakan dari formulir pengembalian barang selama sebulan terakhir.
Jumlah benda temuan yang kembali pada pemiliknya ternyata tidak sebanyak jumlah benda yang ditemukan. Kira-kira, dalam sehari dapat ditemukan lima benda dari kegiatan menyisir, tapi hanya ada satu atau dua orang yang datang untuk mengambilnya.
Aku menoleh ke arah meja panjang yang menjadi tempat kardus-kardus berisi berbagai benda temuan. Beberapa kardus kelihatan sudah hampir penuh.
Sambil menunjuk kardus yang sudah penuh itu, aku kembali bertanya pada Kak Mela. “Apa yang terjadi pada benda-benda yang tidak kunjung diambil oleh pemiliknya?”
“Pertanyaan bagus!” sahut Kak Mela. “Jadi, setiap benda sebenarnya diberi waktu menetap selama dua bulan. Kalau sudah lewat dua bulan dan tidak ada yang mencarinya sama sekali, maka benda-benda itu akan diperlakukan tergantung pada jenisnya.”
“Tergantung jenisnya?” ulangku.
“Alat tulis yang jadi terlantar itu akan masuk ke dalam inventaris klub. Perhiasan dan jenis benda lainnya, meskipun jarang berada di sini sampai selama itu, kalau sudah lewat dua bulan maka akan dibuat pengumuman. Kalau masih belum ada yang datang mencarinya, benda itu akan disumbangkan.”
“Lebih baik dimanfaatkan, ya, daripada langsung dibuang,” simpulku.
“Benar, Win. Lumayan menghemat uang bulanan juga,” sahut Kak Mela.
Kira-kira sekitar sepuluh menit kemudian, kami telah selesai menyusun dan merapikan laporan kegiatan klub.
Sembari memastikan semuanya sudah lengkap, Kak Mela bersiap berdiri. “Kamu tunggu di sini dulu, ya, Win. Aku mau mengantarkan laporannya ke bagian administrasi ekstrakurikuler. Tolong jaga ruangan klub, ya!”
Selepas Kak Mela pergi, aku pun menghabiskan sebungkus roti isi keju sambil menunggu senior lain yang sedang menyisiri sekolah kembali. Sore itu pikiranku kembali diisi dengan berbagai teka-teki mengenai klub aneh yang kumasuki ini.