Aku meregangkan tangan dan memutar pergelangan kaki beberapa kali. Pemanasan sebelum melakukan kegiatan menyisir yang kesekian kali.
Akhir-akhir ini, aku hampir tidak pernah lagi berjalan ke ruang klub bersama Shila setiap sepulang sekolah. Kadang dia pergi lebih cepat, kadang lebih lambat, dan kadang-kadang dia pergi ke tempat lain bersama anggota klubnya. Sepertinya, klub menulisnya sedang ada di fase sibuk. Kudengar, ada kompetisi menulis artikel dan cerita pendek, dan Shila berniat untuk mengikuti keduanya.
Walau sibuk begitu, dia tetap menepati janjinya untuk berlari pagi bersamaku pada akhir pekan. Karena itu, tubuhku kini sudah tidak selelah dulu. Malah rasanya menjadi lebih ringan. Aku harus mentraktirnya sesuatu sebagai rasa terima kasihku.
Seseorang sedang berjalan kemari, suara sepatunya terdengar jelas. Ketika langkahnya semakin dekat, aku berbalik dan mendapati Bang Damian sudah berdiri di belakangku. Rambut semi gondrongnya diikat separuh.
“Hati-hati, ya, Win. Jangan—”
“Jangan asal memanjat sesuatu yang tinggi, jangan sembarangan mengambil benda dari bawah kolong, dan panggil anggota lain kalau menemukan benda di tempat yang sulit dijangkau,” potongku dengan nada bosan. “Aku sampai hapal gara-gara Bang Damian selalu mengatakannya.”
Kulihat senior satu itu tertawa. “Kukira kamu sudah lupa.”
Bagaimana bisa aku lupa kalau dia selalu mengucapkan itu setiap kali aku akan menyisiri sekolah? Padahal aku juga sudah tidak lagi memanjat apa pun setelah jatuh waktu itu. Meskipun aku paham kekhawatirannya sebagai seorang senior, tapi menurutku dia terlalu berlebihan.
Ketika melihatnya lagi, aku baru sadar kalau Bang Damian dari tadi meletakkan tangan kanannya di belakang punggung, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Aku menatapnya dengan curiga, dan kurasa dia menangkap tatapan itu.
Bang Damian mengayunkan tangannya ke hadapanku, menunjukkan benda yang disembunyikannya. Sebuah cupcake dengan krim vanila tipis yang bertabur keju. Dia memberikannya kepadaku tanpa mengatakan apa-apa.
“Tiba-tiba banget?” komentarku sambil keheranan. “Tapi, terima kasih, Bang.” Lagi pula, ini kelihatan enak. Aku jadi ingin mencobanya.
Tidak menanggapi celetukanku barusan, Bang Damian justru menanyakan hal lain. “Kamu mau menyisir di mana?”
“Di gedung A,” jawabku. “Bang Damian di mana?”
“Ini, di depanmu,” jawabnya dengan santai.
Aku spontan membuka mulut, ingin mengucapkan sesuatu seperti teriakan protes, tetapi langsung kubungkam. Menarik napas, aku mencoba untuk tidak membiarkan kekesalan sesaatku mendominasi.
Lalu, dengan senyum yang jelas dipaksakan, aku mengoreksi kalimatku. “Maksudku, Bang Damian sore ini menyisiri daerah mana?”
Seperti yang sudah bisa kuduga, dia tertawa. Dia selalu tertawa setiap kali berhasil mengusiliku. “Di gedung C,” akhirnya dia menjawab. “Aku duluan, ya. Dimakan cupcake-nya, terus jangan lupa kasih reviu nanti.”
Setelah Bang Damian pergi, aku segera menuju ke gedung A. Sambil berjalan, aku menggigit sedikit cupcake di bagian tepi atasnya. Dan ternyata enak!
Rasanya lembut dan manisnya pas. Krimnya juga tidak bikin eneg karena jumlahnya tidak terlalu tebal. Aku harus menanyakan toko kue yang menjualnya kepada Bang Damian nanti.
Ketika cupcake itu habis, aku sudah sampai di lobi gedung. Beberapa murid tampak melewati koridor, tapi dibandingkan saat jam pelajaran, gedung tempat ruang kelas berada selalu lebih sepi di sore hari. Karena itulah aku pun bisa berjalan santai di area yang tidak sering kudatangi.
Lobi kelihatan bersih. Sepertinya murid piket sudah selesai melakukan tugas bersih-bersihnya. Aku tidak menemukan apa pun di sini.
Naik tangga, aku sampai di lantai dua tempat kelas sepuluh jurusan IPA berada. Masih ada murid yang sedang menyapu lantai, membuatku segan untuk mencari benda-benda yang mungkin kehilangan pemiliknya. Tidak ada juga yang kukenal di sini, jadi aku memutuskan untuk langsung naik ke lantai selanjutnya. Aku bisa melihat-lihat lagi saat turun ke bawah nanti.
Kalau dipikir-pikir, selain anggota Klub Lost & Found, aku tidak punya kenalan di luar teman sekelasku. Dulu, aku memang tidak peduli pada hal ini, karena pada akhirnya teman sekelasku pun bakalan berganti dengan orang baru.
Tapi, sekarang setelah aku menjadi anggota klub dan bertemu dengan teman kelas seperti Shila, aku ingin setidaknya mencoba untuk mempertahankan hubungan baik dengan mereka. Dan kalau ada kesempatan, aku juga ingin berkenalan dengan orang baru, tapi jangan banyak-banyak.
Sayangnya, aku tidak pandai berteman.
Sepertinya aku agak melamun dan sudah berjalan dengan setengah sadar, sebab aku tidak melihat kehadiran benda yang kini tertabrak oleh ujung sepatuku.
Aku melihat sekeliling, mencari petunjuk akan kehadiran orang yang mungkin tidak sengaja menjatuhkannya. Tapi koridor itu sepi, hanya ada suara percakapan pelan dari ruang kelas paling ujung.
Setelah memastikan bahwa benda itu telah kehilangan pemiliknya, aku akhirnya berani untuk memfoto lalu mengambilnya.
“Sebuah peti imitasi?” gumamku.
Bentuknya persis dengan peti kayu yang pernah kulihat di komik, hanya saja ukurannya seukuran telapak tangan. Kayunya mengilap dan halus, tampaknya dibuat dari bahan berkualitas tinggi. Ketika aku membukanya, bagian dalamnya dilapisi dengan kain beludru merah yang lembut. Lalu di atas kain pelapis itu, terbaring nyaman sepasang gigi taring yang ujungnya sangat tajam.
“Apa mungkin ini milik klub teater, ya?” Aku memang tidak tahu pertunjukan seperti apa yang mereka lakukan, tapi kupikir mereka pasti memiliki berbagai perlengkapan untuk pertunjukan mereka itu.
Setelah mengamatinya selama beberapa detik, aku menyimpan benda itu dalam kantong rok. Masih ada satu lantai lagi yang harus kuperiksa, kemudian aku akan kembali melihat-lihat lantai dua sebelum kembali ke ruang klub.
***
“Kalian tidak merasakan sesuatu dari benda ini?” adalah pertanyaan yang dilontarkan Bang Jovin setelah menerima peti mati imitasi seukuran telapak tangan yang menjadi tempat pembaringan sepasang gigi taring. Ternyata hanya itu yang kutemukan di gedung A.
Bang Jovin bertanya kepadaku dan Arya, tapi kami justru saling bertukar pandang dan menanyakan hal yang sama, yang membuat kami sama-sama bingung. Kami akhirnya menoleh kembali pada Bang Jovin dan menggeleng.
“Sepertinya mereka masih belum bisa melihatnya, Jovin,” sela Kak Mela. “Ini juga benda yang pertama dalam semester ini, mereka pasti baru kali ini melihatnya.”
Bang Jovin mengangguk. “Iya, aku tahu. Aku hanya bertanya saja.”
Ucapan Kak Mela kedengarannya membela kami, tapi itu justru membuat kami semakin bingung. Aku dan Arya jadi tampak seperti anak kembar yang terus-terusan melemparkan sinyal dengan wajah melongo.
“Memangnya ada apa dengan benda ini?” tanya Arya akhirnya.
Namun, alih-alih mendapat jawaban, Bang Damian malah menanggapinya dengan pertanyaan lain. “Menurut kalian, ini apa?” Walau senyum jenakanya tetap terpampang, matanya kelihatan sedikit lebih seirus daripada biasanya.
“Gigi taring palsu, kan?” jawabku. Keraguan merayapi hatiku perlahan-lahan. “Atau, jangan-jangan itu gigi taring sungguhan?”
Kak Mela tertawa mendengar jawabanku. “Benar gigi taring palsu, kok. Bukan asli.”
Aku mengembuskan napas lega, dan sepertinya Arya juga melakukan yang sama.
“Tapi ini bukan gigi taring biasa,” sahut Bang Damian lagi dengan sok misterius. Kemudian, dia sedikit menunduk dan memelankan suaranya untuk memberikan efek dramatis, lalu berkata, “dan bukan benda yang berasal dari dunia ini.”
Aku sedikit merinding mendengarnya, walau kalau dipikir-pikir, hal itu terdengar tidak nyata.
“Ma-maksudnya?” pekik Arya. Dia pasti terbawa suasana.
“Maksudnya,” Bang Damian menggantung ucapannya seraya menatapku dan Arya satu-satu, membuatku mau tidak mau jadi menanti dengan cemas.
“Kalian bakalan tahu nanti.” Tapi, Bang Jovin lebih dulu menyela sebelum Bang Damian melanjutkan ucapannya, membuatku diam-diam merasa kesal.
Lagi-lagi ciri khas senior di klub ini. Mengatakan banyak hal kecuali menjelaskan langsung apa yang sebenarnya sedang terjadi, dan membiarkan juniornya tahu dengan sendirinya.
Mengabaikan kekecewaan para juniornya, Bang Jovin menyuruh kami untuk menyimpan benda-benda yang ditemukan hari ini ke dalam plastik klip dan meletakkannya ke dalam kardus sesuai jenisnya.
Aku berdiri di depan meja panjang, membaca label setiap kardus dengan cermat meskipun sudah menghapalnya. Semuanya sudah disimpan ke tempat yang tepat, kecuali peti mati ini. Aku tidak yakin yang satu itu harus diletakkan di mana.
Ketika aku ingin berbalik untuk bertanya, ternyata Kak Mela sudah berdiri di sebelahku. Sambil menunjuk ke loker, dia berkata, “Yang ini disimpan di loker biru, ya, Win.”
Jawaban itu sangat tidak terduga sampai-sampai aku sempat lupa di mana keberadaan loker itu. Setelah berminggu-minggu, akhirnya aku mendengar salah satu senior menyebutkan loker berwarna itu.
Kesadaranku akhirnya kembali bekerja, kakiku membawaku menuju loker biru yang belum pernah kusentuh. Kata Bang Jovin, loker biru digunakan sebagai penyimpanan khusus. Kata Bang Damian, taring palsu di dalam peti mati kecil ini bukanlah benda biasa dan asalnya bukan dari dunia ini. Kata Kak Mela, salah dua benda aneh yang pernah ditemukan klub ini adalah gembok yang menyatukan dua hati dan kotak musik dengan boneka yang menari.
Aku mematung di depan loker. Dari sudut mata, terlihat Arya yang sedang memikirkan sesuatu dengan dahi mengerut. Benakku seperti melayang-layang memikirkan hal-hal yang di luar batas logika.
Aku tahu tangan kananku kini membuka pintu loker biru, merasakan permukaan dinginnya yang terasa sama seperti loker lain yang pernah kusentuh. Tanganku yang lain memasukkan peti mati kecil dengan hati-hati ke dalam ruang kecil yang tidak tampak berbeda dengan loker-loker lainnya. Sampai aku menutup kembali lokernya, aku kembali menanyakan sebenarnya klub macam apa yang sudah kumasuki.