Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lost & Found Club
MENU
About Us  

“Melayani orang yang datang ke klub” artinya membantu mempertemukan mereka dengan benda yang mereka cari. Dimulai dari menyambut mereka, menanyakan informasi mengenai benda yang hilang, mencocokkan informasi tersebut dengan data yang ada, dan mengembalikan benda kepada pemiliknya.

Kedengarannya cukup mudah, tapi aku tetap perlu melihatnya langsung sebelum bisa mempraktikkannya. Maka itu, Bang Damian dan aku kini sedang menunggu murid yang mungkin akan datang sambil memakan camilan yang tersedia.

Bicara soal camilan, aku paling suka dengan roti kemasan isi keju. Sekarang saja aku sudah menghabiskan tiga bungkus. Tidak ada yang menjual roti seperti ini di kedai sekolah, jadi aku yakin ini dibeli dari luar.

Kulirik Bang Damian yang sedari tadi diam dan fokus menulis sesuatu di bukunya. Sepertinya sedang mengerjakan PR, mengingat Bang Jovin pernah menegurnya gara-gara keseringan datang ke ruang klub untuk mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan di hari itu juga. Tidak ada camilan apa-apa di hadapannya, tetapi ada segelas teh yang tadi dia seduh dengan air panas.

Aku melihat jam tanganku. Masih ada kira-kira sepuluh menit sebelum jam istirahat pertama berakhir.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Aku dan Bang Damian bertukar pandang sebentar, saling menduga siapa yang datang, lalu kami melihat ke arah pintu dengan serempak.

Aku mengira si pengetuk pintu mungkin adalah Bang Jovin atau Kak Mela yang ingin mampir mengecek keadaan. Tapi, ketika pintu bergeser, yang muncul adalah seorang perempuan tinggi berambut sebahu yang diikat ekor kuda.

“Oh, ternyata Mbak Sekretaris,” sahut Bang Damian. “Kenapa, Dhea? Mencariku, ya?”

Kurasa mereka adalah teman sekelas.

Kak Dhea mendekati meja tengah sambil menggeleng, sedangkan raut mukanya kelihatan penuh harap. “Kemarin, aku kehilangan scrunchie motif bunga-bunga. Apa mungkin kalian menemukannya?”

Bang Damian melirikku, memberikan kode bahwa saat ini adalah waktunya mempelajari secara langsung bagaimana melayani murid yang datang untuk mencari barangnya yang hilang. Aku mengangguk, memperhatikan interaksi mereka dalam diam.

“Kehilangan apa tadi? Scrunchie?”

Melihat kebingungan Bang Damian, Kak Dhea pun menunjukkan foto benda tersebut yang ditampilkan pada layar ponselnya.

“Oh, ikat rambut.” Setelah melihatnya, Bang Damian langsung membuka tabel barang temuan dan mengetikkan ‘ikat rambut’ pada fitur pencarian. Ketika hasil pencariannya muncul, dia menelusuri tabel dengan membandingkan foto yang tertera dengan foto yang ditunjukkan Kak Dhea.

Bang Damian memutar laptop menghadap Kak Dhea, kemudian menunjuk satu tabel menggunakan kursor. “Coba lihat, Dhe. Yang ini, bukan?”

Kak Dhea lalu mengangguk antusias. Raut wajahnya berubah menjadi lebih ceria. “Benar, yang itu!”

Setelah dikonfirmasi, Bang Damian membalikkan badan dan pergi menuju meja panjang di dekat jendela. Dia mendatangi kardus berlabel perhiasan, kemudian kembali dengan ikat rambut kain bermotif bunga-bunga yang dibungkus di dalam plastik klip ukuran kecil. Lalu diserahkannya plastik itu kepada Kak Dhea.

“Terima kasih banget, Ian! Ini, tuh, ikat rambut yang aku dapat dari pra-pesan di toko daring langgananku. Aku suka banget sama motifnya, makanya ketika ikat rambutnya hilang, aku sedih banget. Untunglah, kalian menemukannya.”

Aku dapat merasakan betapa leganya Kak Dhea. Senyumnya terukir cerah, tidak seperti saat dia masuk ke sini tadi.

“Sekali lagi terima kasih, ya! Ngomong-ngomong, ini plastik klipnya boleh dibawa atau bagaimana?”

“Sama-sama, Dhea. Kalau mau dibawa boleh, kalau tidak dibawa juga boleh. Yang penting jangan dibuang sembarangan saja.”

Setelah itu, Bang Damian membuka formulir pengembalian barang dan mulai mengisinya dengan cepat. Dia memperlihatkannya pada Kak Dhea sebagai konfirmasi bahwa barang temuan telah kembali kepada pemiliknya.

Kak Dhea pun akhirnya pergi dari ruangan dengan semringah. Kuciran ekor kudanya berayun mengikuti langkahnya. Aku ikut senang melihatnya mendapatkan kembali barang yang dicarinya.

“Bagaimana?” Bang Damian kembali duduk di bangkunya, matanya menatapku. “Ada yang mau ditanyakan?”

“Sejauh ini tidak ada. Aku sudah lumayan paham sama semua penjelasan Bang Damian.”

“Bagus! Itu artinya kamu sudah siap mengemban misi mulia Klub Lost & Found,” katanya dengan semangat.

Misi, katanya. Aku tertawa garing saja mendengar celetukannya yang terkadang tidak bisa kuprediksi itu.

 

***

Hari ini berjalan agak cepat. Baru tadi aku menyimak penjelasan Bang Damian saat jam istirahat pertama. Sekarang sudah masuk jam aktif ekskul saja. Rasa perih di siku dan lututku pun sedikit terlupakan karena aku sibuk bolak-balik dari kelas ke ruang klub dan sebaliknya.

Rasanya bosan juga berdiam di ruang klub sendiri. Bang Jovin dan Arya sedang menelusuri sekolah, Bang Damian mengikuti ekskul lain, dan Kak Mela yang seharusnya ada di sini bersamaku sedang kembali ke kelasnya untuk mengambil tempat alat tulisnya yang tertinggal.

Aku pun mengirim pesan pada Arya, menanyakan bagaimana kegiatannya. Tapi dia justru mengajakku untuk menggunakan panggilan video.

Aman, Win. Aku tidak akan terjerembap dari pohon, kok.”

Belum apa-apa, Arya langsung berkata seperti itu dengan nada iseng. Sepertinya dia memang sejenis dengan Bang Damian, hanya saja masih belum kelihatan sepenuhnya.

Aku memutar bola mata, sedangkan kudengar Arya tertawa. “Kamu sudah dapat apa saja?” Aku mengalihkan topik.

Dari layar ponsel, kulihat Arya menunjukkan beberapa barang temuannya. “Ada pena, gelang tali, gelang manik-manik, dan gantungan kunci.”

“Banyak, ya,” kataku, “Aku hanya dapat satu cincin kemarin.”

Mungkin karena aku mencari di dalam gedung. Murid-murid, kan, lebih sering melewati koridor daripada lapangan,” sahut Arya. Dia sekarang mulai berjalan, sekali-sekali matanya berpaling dari layar untuk mencari benda lainnya.

“Benar juga. Besok aku mau menyisir di gedung juga, deh.” Meskipun aku harus naik-turun tangga, setidaknya di dalam gedung aku juga tidak akan kepanasan.

Arya mengangguk-angguk, lalu berkata, “Betul, di sini kamu tidak perlu memanjat apa-apa.”

Aku melayangkan pelototan super tajam, sedangkan Arya tertawa keras. Sepertinya peristiwa memanjat pohon dan terjatuh gara-gara tersangkut itu akan terus dibahas sampai seminggu ke depan.

Baru saja ingin membalas Arya, suara ketukan pintu tiga kali mengalihkan perhatianku. Seingatku, Kak Mela akan langsung masuk ke ruang klub tanpa mengetuknya. Jadi, si pengetuk itu kemungkinan adalah murid lain.

“Sudah dulu, Arya. Ada murid yang datang.” Setelah Arya merespons, aku menutup panggilan video.

Aku bangkit dari dudukku setelah menyimpan ponsel, bertepatan dengan digesernya pintu ruangan. Seorang murid perempuan berperawakan mungil masuk ke ruang klub.

“Selamat datang.”

Ternyata melakukannya sendirian membuatku cukup gugup. Aku jarang berinteraksi dengan orang yang tidak kukenal, dan sekarang jantungku berdegup kencang. Walau begitu, aku berusaha tesenyum ramah.

“Ada yang bisa dibantu?” Padahal sudah jelas kalau dia datang ke sini untuk mencari barangnya yang hilang. Tapi karena gugup, aku pun bertanya seperti itu.

Murid perempuan itu melihat seisi ruangan klub sekilas, kemudian barulah dia menjawab. “Aku kehilangan sebuah cincin.”

Aku mulai membuka tabel barang temuan dan menelusuri kolom bagian perhiasan. “Cincinnya seperti apa, ya? Dan kapan terakhir kali Kakak melihatnya?”

Sebenarnya, aku tidak yakin apakah murid di hadapanku adalah senior atau bukan. Tapi, karena aku pun tidak tahu siapa namanya, kurasa tidak masalah memanggilnya dengan “Kakak” selagi orang tersebut tidak merasa keberatan.

Masih dengan ketenangan yang sama, murid itu menjawab, “Itu cincin permata. Ada berlian bulat di tengahnya. Kurasa aku kehilangan cincin itu sekitar dua hari yang lalu.”

Aku membeku ketika mendengar jawaban tersebut. Dari deskripsinya, aku sepertinya tahu benda yang dimaksud.

“Apa mungkin,” aku menatap murid di hadapanku dan bertanya dengan agak ragu, “Kakak pernah memanjat pohon mangga yang ada di samping lapangan upacara dua hari yang lalu itu?”

Ekspresi tenang di wajah murid itu kontan berubah menjadi keterkejutan. “Bagaimana kamu bisa tahu? Apakah kamu cenayang?”

“Bu-bukan!” Aku langsung melambaikan tanganku dengan cepat, tidak menyangkan dia akan mengira aku cenayang. “Dua hari yang lalu, aku menemukan cincin dengan deskripsi yang sama di dalam sarang burung di pohon mangga. Sebentar.”

Dengan secepat mungkin, aku mengetikkan tanggal cincin itu ditemukan dan segera menemukan informasinya di tabel. “Cincinnya yang ini bukan?” Aku menunjukkannya kepada murid itu.

Setelah melihatnya, murid itu mengangguk beberapa kali dengan cepat. Matanya menjadi berkaca-kaca dan wajahnya memerah. Aku lumayan kaget melihat perubahan itu.

“Tunggu sebentar,” kataku. Aku mendekatkan sebuah bangku ke dekat murid itu, mempersilakannya untuk duduk. Setelahnya, aku pergi ke barisan kardus untuk mengambilkan benda yang dicarinya.

Begitu menemukannya, aku berbalik dan segera menyerahkan cincin yang terbungkus aman di dalam plastik klip mini dengan hati-hati kepada pemiliknya.

“Ah, akhirnya!” Murid itu tersenyum dengan sangat lebar. “Ini cincin yang sangat berharga, hadiah dari orang tuaku ketika aku berhasil masuk ke SMA Mentari setahun yang lalu. Aku merasa sangat terpukul ketika menyadari bahwa cincinnya tidak ada lagi di jariku.”

Aku duduk di bangku lain yang tidak jauh darinya. “Kalau boleh tahu, kenapa cincinnya bisa ada di dalam sarang burung, Kak?” Mungkin agak tidak sopan untuk menanyakannya, tapi aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.

Untungnya, senior itu tertawa, artinya dia tidak keberatan dengan pertanyaanku.

“Oh, itu! Aku penasaran dengan sarang yang sedang dibangun oleh seekor burung kecil yang sering bolak-balik setiap kali aku duduk di sekitar lapangan. Dua hari yang lalu, aku nekat memanjat pohon untuk melihatnya. Cincin ini sedikit kebesaran, jadi mungkin terlepas saat aku berpegangan dari dahan satu ke dahan yang lain. Tapi syukurlah cincin ini jatuh di sarang burung itu.”

Aku terkagum-kagum mendengar cerita itu. Sepertinya, Kakak ini menyukai binatang dan lebih pandai memanjat dariku. Dia pasti tidak terjatuh saat menuruni pohon.

“Kamu hebat banget, bisa menemukan cincin ini. Padahal benda ini ada di tempat yang sulit dijangkau. Kurasa ucapan terima kasih saja belum cukup.”

“Tidak, kok. Kebetulan saja aku melihat kilauan cincin itu saat sedang duduk di bangku di seberangnya,” sangkalku, karena memang itulah yang terjadi. “Terima kasih saja sudah cukup, Kak. Karena ini memang sudah jadi tugasku sebagai anggota Klub Lost & Found.”

“Aku percaya tidak ada yang kebetulan. Sejak cincin ini hilang, aku meyakini kalau dia bakalan kembali padaku jika memang cincin ini untukku. Tapi, aku tetap ingin mencarinya dan tidak mau menyerah bagitu saja. Lalu, ternyata cincin ini memang untukku, dan dia kembali melalui kamu. Jadi aku sangat-sangat berterima kasih karena kamu sudah menemukannya.”

Aku tidak tahu bahwa senior yang tadinya terlihat tenang dan menjawab seperlunya itu dapat menjadi seekspresif ini dan suka bercerita begitu barang berharganya kembali padanya.

Ungkapan terima kasihnya itu memunculkan percikan aneh yang menyenangkan sekaligus melegakan dalam diriku. Bahkan sampai aku selesai mengisi formulir pengembalian barang dan senior itu meninggalkan ruangan setelah sekian kali berterima kasih, percikan itu masih belum menghilang. Padahal, aku tidak merasa seperti ini saat melihat Bang Damian mengembalikan ikat rambut milik teman sekelasnya tadi.

Perlahan, percikan aneh itu menjalar memenuhi hati, pikiran, dan tubuhku, membuatku merasakan semangat yang membara tapi juga menenangkan. Aku tidak tahu apa sebutan dari sesuatu yang kurasakan ini. Yang pasti, luka lecet di lutut dan sikuku tidak lagi terasa perih. Dan demam serta pegal-pegal yang membuatku berbaring seharian kemarin terlupakan begitu saja.

Tanpa berpikir panjang, aku segera mengirimkan pesan kepada Shila. Kukatakan bahwa aku akan ikut olahraga pagi dengannya di akhir pekan ini dengan sukarela, bahkan aku tidak masalah kalau dia mengajakku untuk senam aerobik atau lari maraton. Aku ingin sampai di level di mana aku bisa mengelilingi seluruh sekolah untuk menemukan benda-benda yang kehilangan pemiliknya tanpa harus kelelahan sampai demam.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Anak-Anak Dunia Mangkuk
506      300     6     
Fantasy
Dunia ini seperti mangkuk yang biasa kalian pakai untuk makan dan minum. Kalian yang tinggal di lembah hidup di dasarnya, dan pegunungan batu yang mengelilingi lembah adalah dindingnya.
Imperfect Rotation
180      159     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
130      107     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Unframed
701      473     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Denganmu Berbeda
11183      2864     1     
Romance
Harapan Varen saat ini dan selamanya adalah mendapatkan Lana—gadis dingin berperingai unik nan amat spesial baginya. Hanya saja, mendapatkan Lana tak semudah mengatakan cinta; terlebih gadis itu memiliki ‘pendamping setia’ yang tak lain tak bukan merupakan Candra. Namun meski harus menciptakan tiga ratus ribu candi, ataupun membuat perahu dan sepuluh telaga dengan jaminan akan mendapat hati...
Aku Benci Hujan
7346      1934     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Unexpectedly Survived
117      104     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Diary of Rana
207      178     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Simfoni Rindu Zindy
782      555     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
TENTANG WAKTU
2100      895     6     
Romance
Elrama adalah bintang paling terang di jagat raya, yang selalu memancarkan sinarnya yang gemilang tanpa perlu susah payah berusaha. Elrama tidak pernah tahu betapa sulitnya bagi Rima untuk mengeluarkan cahayanya sendiri, untuk menjadi bintang yang sepadan dengan Elrama hingga bisa berpendar bersama-sama.